Mobil berhenti tepat di depan pagar sebuah rumah sederhana di salah satu area komplek. perumahan. Dinar yang sebelumnya sudah melarang Ardian berhenti di gapura depan, terpaksa menurut ketika lelaki itu tetap ingin mengantarnya pulang.
"Ibuku akan curiga kalau begini," ucap Dinar menatap Ardian sebal.
"Tidak akan. Bilang aja kalau aku teman kuliah kamu juga."
"Hei! Apa kamu pikir ibuku akan percaya? Lagian, tidur di rumah teman yang ternyata laki-laki? Bisa digorok leherku ini."
"Haha!" Sontak Ardian tertawa melihat ekspresi panik yang tampak di wajah Dinar.
Entah untuk ke berapa kalinya ekspresi judes dan dingin Dinar membuat Ardian terpesona. Meski aneh, memang itulah yang lelaki itu alami.
"Kalau gitu kamu enggak usah turun. Cukup sampai di sini aja!"
"Eh, enggak gitu. Aku bilang aku mau kenalan sama ibu dan adik kamu." Ardian berusaha mencegah gerakan Dinar yang hendak membuka pintu dan keluar mobil.
"Ya Tuhan! Kita ini bukan siapa-siapa. Kita kenal karena hubungan kita semalam. Jadi, aku pikir enggak ada yang harus kenal mengenal segala." Dinar sudah di ujung kesabarannya.
Namun, hal itu sama sekali tidak mempengaruhi niat Ardian untuk tetap ingin menemui Ranti, ibunya Dinar.
"Baiklah. Kalau begitu, kembalikan kartu identitasku sekarang," ucap Ardian seraya mengulurkan tangan ke depan Dinar.
"Hah! Apa? Itu 'kan sebagai jaminan aku kalau kamu enggak akan kabur nanti."
Ardian tergelak mendengar ucapan perempuan di sebelahnya itu.
"Kamu ini gimana. Tadi katanya enggak perlu ada kenal mengenal. Lalu, kenapa sekarang kamu khawatir kalau aku kabur. Toh, kita 'kan enggak perlu menikah bukan?"
Dinar menatap Ardian tak mengerti. Kenapa lelaki itu semakin membuatnya bingung dan semakin kesal saja.
"Rencana awal tetap berjalan. Jangan coba mengelak terus!"
"Loh! Siapa yang mengelak. Sekarang kamu pikir sendiri deh, selama ini kita enggak saling kenal. Apalagi ibu dan adik kamu. Terus masa tiba-tiba kita menikah tanpa aku kenalan terlebih dulu sama keluarga kamu. Itu gimana konsepnya?"
Dinar sadar sekarang. Apa yang Ardian katakan memang benar. Tapi, bagaimana reaksi ibunya kalau melihat laki-laki alias calon suaminya itu datang memakai mobil mewah. Ibunya pasti akan menyangka kalau calon menantunya itu adalah seorang anak keluarga kaya raya. Ya, meski Dinar pun berharap demikian. Tapi ....
"Ngomong-ngomong, selain nama dan umur, hal lain tentang kamu aku belum tahu."
"Apa yang kamu mau tahu?"
Dinar diam sejenak. Sebetulnya ia tidak begitu ingin tahu atau peduli. Lagipula pernikahan mereka hanya akan berjalan sementara bukan. Tapi, di sisi lain ia juga merasa perlu sebab seandainya janin yang tidak ia harapkan itu hadir, bukankah pernikahan mereka akan berjalan lebih lama dari perjanjian yang disepakati.
"Apa pekerjaan kamu? Apakah mobil ini adalah milik kamu?"
Ardian sepertinya tahu apa saja yang mau Dinar tanyakan kepadanya. Sebab hal itu tampak di wajahnya yang santai.
"Ini mobil majikan aku. Sementara ini pekerjaan aku adalah seorang supir pribadi. Tapi, aku baru melamar pekerjaan di salah satu perusahaan. Doakan saja semoga aku diterima dan bisa menjadi karyawan kantoran."
"Melamar sebagai apa?"
"Ehm, aku belum tahu akan ditempatkan di bagian apa. Kenapa, apakah ada masalah?" Ardian bertanya sebab melihat ekspresi tak semangat yang tampak di wajah Dinar.
'Tentu saja. Jabatanku sekarang adalah manajer keuangan. Aku tentu berharap mendapatkan laki-laki yang memiliki jabatan di atas aku, minimal sama. Tapi, kalau cuma karyawan biasa, ya ... tahu apa masalahnya,' batin Dinar bersuara tanpa bermaksud untuk mengatakan langsung pada laki-laki di sebelahnya itu.
"Kesenjangan ekonomi? Apakah kamu perempuan matre?"
Tiba-tiba Ardian bisa menebak ke arah mana maksud dan tujuan pertanyaan Dinar barusan. Gadis itu menatapnya marah. Ia tak terima ketika dikatakan sebagai perempuan matre olehnya.
"Apakah salah?"
"Menurutku tidak. Bagiku itu hal wajar dan sah-sah saja. Sejauh bukan karena bertujuan untuk pamer atau membanggakan diri."
"Lalu, apakah kekhawatiranku juga salah menurut kamu?"
Ardian diam sejenak. Seperti ada hal lain yang ia pikirkan.
"Tergantung kebutuhanmu. Aku tak akan memaksa kalau kamu tidak mau."
Setelah berkata demikian, Ardian pun keluar dan membukakan pintu mobil bagian Dinar. Membuat perempuan itu terkejut, lalu kemudian memilih untuk keluar.
'Setidaknya kita tidak akan berada di satu tempat kerja yang sama,' batin Dinar yang cukup khawatir akan status pekerjaan keduanya yang berbeda.
Kini keduanya sudah jalan memasuki pagar rumah.
"Jangan ngomong apa-apa kalau aku enggak minta atau kalau ibuku enggak nanya!" ucap Dinar memperingati Ardian yang santai berjalan di belakangnya.
"Siap! Apapun menurutmu."
"Jangan asal bicara atau berlebih-lebihan ketika berbicara dengan ibuku. Beliau orangnya sering salah paham dan kadang enggak nyambung."
"Benarkah?"
Ardian melihat Dinar mengangguk. "Awas saja kalau kamu sengaja melanggar semua ucapanku!" ancam Dinar lagi karena melihat Ardian yang tersenyum seolah tampak di mukanya ada kata jahil.
Keduanya kini memasuki gerbang, lalu melewati garasi yang tak ada kendaraan roda empat kecuali sebuah sepeda motor berwarna merah terparkir rapi.
"Assalamu'alaikum!" Dinar mengetuk pintu rumah sembari mengucap salam.
Tak lama terdengar suara langkah kaki mendekat. Setelah melihat ada sebuah motor matik di garasi, Dinar sangat yakin kalau adiknya juga ada di rumah.
'Benar saja!' batin Dinar bicara sembari melihat ekspresi Yoga yang aneh.
"Wa'alaikumussalam. Kak Dinar!" seru Yoga yang cukup dibuat kaget sebab keberadaan Dinar di depan pintu rumah bersama seorang laki-laki keren dan tampan.
Hal yang sangat jarang terjadi ketika melihat Dinar bersama seorang laki-laki, adalah sesuatu yang Yoga anggap istimewa kini.
"Aku pulang!" ucap Dinar yang tak ambil peduli dengan ekspresi Yoga yang menurutnya menyebalkan.
"Ya ... aku tahu. Masa mau pergi, orang dari kemarin enggak pulang." Kalimat Yoga membuat Dinar semakin kesal.
Namun, perempuan itu memilih berlalu dan pergi meninggalkan sang adik yang kini terlihat antusias dengan menyapa Ardian.
"Mas ini teman atau pacarnya Kak Dinar?"
Pertanyaan itu masih bisa Dinar dengar sampai ia tak tahu lagi apa yang adik dan Ardian obrolkan sebab dirinya sudah masuk ke dalam rumah untuk menemui ibunya.
"Bu! Aku pulang!"
"Eh, kamu udah pulang? Sama siapa? Miranda?" tanya Ranti bertubi-tubi. Penampilannya terlihat kotor dengan tepung di tangan.
Dinar yang sudah meletakkan tas di kursi makan, seketika membantu ibunya dengan mencuci tangan terlebih dahulu.
"Mau bikin kue yah? Pesanan siapa?"
"Eh, enggak usah. Biar ibu aja. Kamu bisa istirahat, Din." Ranti mengambil alih gerakan Dinar yang sudah akan mengaduk adonan di dalam wadah besar.
"Enggak apa-apa, Bu. Lagian aku belum mau istirahat. Ada teman yang datang, yang antar aku pulang. Enggak enak kalau langsung ditinggalin tidur."
Ranti menatap Dinar serius. "Teman? Miranda maksudnya?"
"Bukan." Dinar menggeleng. Jujur saja ia kesal ketika sang ibu terus menyebut nama temannya tersebut. Bayangan akan terampasnya mahkota yang paling berharga miliknya, jelas membuatnya menuduh perempuan itu.
"Terus? Perempuan atau laki-laki?"
"Laki-laki."
Seketika gerakan Ranti pun terhenti. Setelah kabar yang mengatakan bahwa sang putri menginap semalam, tahunya pulang bersama seorang laki-laki —meski menyebut teman, membuat perempuan paruh baya itu curiga.
"Kamu nginep di tempat siapa sebenarnya?"
Dinar tidak langsung menjawab. Pertanyaan ibunya sebetulnya sudah ia jawab semalam. Tapi, demi mengetahui kedatangan seorang laki-laki yang mengantarnya pulang, kecurigaan sang ibu kini kembali hadir.
"Bu, aku 'kan udah bilang untuk enggak banyak-banyak ambil pesanan kue. Nanti Ibu kecapean."
"Jangan mengalihkan pembicaraan! Kamu belum jawab pertanyaan Ibu."
Dinar tampak menghela napas. Ia tahu sang ibu akan terus bertanya sampai semua pertanyaan yang diajukan membuatnya puas.
"Aku udah bilang kalau aku nginep di rumah Miranda." Tampaknya Dinar mau muntah ketika mulutnya menyebut nama teman yang sudah ia anggap sebagai pengkhianat tersebut.
"Terus, kenapa yang antar kamu pulang malah laki-laki?"
Lagi, Dinar seperti enggan menjawab. Bukan apa, ia hanya tak mau kalau sang ibu berpikiran ke mana-mana, sedangkan saat ini saja ia malah ragu akan keputusannya untuk meminta pertanggung jawaban lelaki itu.
Di saat Dinar yang tak kunjung menjawab pertanyaan ibunya, tiba-tiba Yoga muncul dengan wajah sumringah.
"Bu! Ada calon mantu."
"Apa!" Ranti dan Dinar berseru kaget.
Sikap terkejut yang Dinar tunjukkan membuat Ranti dan Yoga melirik kompak.
"Kenapa sih, Kak? Kok kaya yang kaget gitu!"
"Ah, eh. Enggak apa-apa. Aku kaget aja waktu kamu bilang apa tadi? Calon mantu."
"Iya." Yoga terlihat mengangguk. Kembali wajahnya beralih ke mode senang ketika menatap sang ibu.
"Maksud kamu apa, Yoga?" Dengan masih memegang adonan kue di tangannya, Ranti bertanya pada sang putra bungsu.
"Itu, Bu. Kak Dinar diantar pulang sama pacarnya."
Informasi yang Yoga sampaikan membuat Dinar melongo. Tak terkecuali Ranti yang kemudian menoleh pada putri sulungnya itu.
"Benarkah, Din?"
"Eh, i-itu."
Yoga bisa melihat ekspresi canggung yang Dinar tunjukkan. Tapi, seolah tak mau peduli, ia malah menarik tangan sang ibu supaya ikut bersamanya ke depan.
"Tunggu, Yoga! Ibu cuci tangan dulu."
Perempuan paruh baya itu kemudian mengelap tangannya yang basah pada selembar kain lap. Lalu, melepas kain apron yang menutupi bagian depan tubuhnya ke atas kursi makan.
Di belakangnya, Dinar terlihat merutuk kesal. Ia tak mengerti dengan apa yang sudah Ardian lalukan. Apa saja yang sudah dikatakan lelaki itu kepada Yoga, adiknya.
'Lelaki bodoh! Apa saja yang ia katakan tanpa izin dariku!' batin Dinar kesal, yang kemudian melangkahkan kakinya menyusul adik dan ibunya ke ruang tamu.
Di sana, Ardian terlihat bisa membaur dengan sifat dan sikap adik juga ibunya yang menurut Dinar luar biasa. Tak ada batas atau jarak seolah mereka sudah mengenal lama.
"Nak Ardian ini supir pribadi? Mobilnya apa yang dibawa?" tanya Ranti yang tampak berbeda ketika ia menginterogasi Dinar waktu di ruang makan tadi.
"Ih, Ibu ini apaan sih. Masa nanyain mobil. Lagian itu 'kan punya orang, kenapa Ibu yang heboh." Yoga menyenggol lengan ibunya cuek.
"Ya, kali aja. Kapan-kapan kita bisa naik gitu."
"Ibu! Ibu malu-maluin aja deh!" Kali ini giliran Dinar yang protes.
Dinar lantas mengambil tempat duduk di sebelah Ardian sembari mencubit pinggul lelaki itu sebab kesal dengan sikap lancangnya.
"Aw!"
"Eh, kenapa, Nak Ardian?" tanya Ranti yang khawatir saat mendengar rintihan Ardian.
Sontak Dinar memasang ekspresi kesal. Ia menatap Ardian sembari melotot. Membuat Ardian hampir tertawa karena menganggap lucu akan sikap perempuan itu.
"Enggak ada apa-apa kok, Bu."
"Oh, iya."
Ranti pun tersenyum, lalu menatap Yoga begitu gembira. Entah apa yang membuat wanita itu berekspresi demikian, yang malah membuat Dinar heran sekaligus khawatir.
'Kamu bilang apa ke Yoga?' bisik Dinar dekat telinga Ardian.
Laki-laki itu hanya menggeleng dengan tampang tak bersalah.
'Aku cuma menjawab apa yang adikmu tanyakan.'
'Dengan bilang kalau aku calon istri kamu, iya?'
'Tidak.' Lagi Ardian menyangkal.
'Aku cuma bilang kalau aku teman kamu. Tapi, adik kamu kayanya enggak percaya dan langsung lari ke dalam,' lanjut Ardian.
'Ah, bohong!' Dinar sama sekali tak percaya dengan ucapan Ardian. Masih dengan bibir cemberut, perempuan itu kini menatap sang ibu yang melotot padanya.
"Kalian ngomong apa? Kok bisik-bisik."
"Siapa yang bisik-bisik." Dinar menyambar pertanyaan Ranti.
Namun, wanita itu seperti tahu bagaimana sifat anaknya, sehingga ia pun kemudian mengatakan hal yang membuat Dinar keki.
"Nak Ardian, enggak usah dengerin atau takut sama Dinar. Dia keliatannya aja galak, tapi sebetulnya dia penakut dan cengeng. Kalau ada apa-apa sama kamu, tinggal bilang aja sama Ibu. Biar Ibu yang marahin Dinar nanti."
"Ih, Ibu apaan sih. Anak Ibu itu siapa sebenarnya? Kok malah belain orang lain dan mau marahin anak sendiri."
Tak terima dengan ucapan ibunya, rasa kesal Dinar pada Ardian semakin menjadi.
'Semua gara-gara kamu,' gumam Dinar pada Ardian.
'Loh kok aku?'
'Tahu ah!'
Di tengah pertikaian kecil yang terjadi antara Dinar dan Ardian, tiba-tiba Ranti mengajukan pertanyaan yang membuat dua orang di depannya itu terkejut.
"Terus kapan rencananya kalian mau menikah?"
***