Dinar tampak menunggu Ardian yang sekarang sedang membersihkan diri di kamar mandi. Perempuan itu terlihat memainkan ponselnya dan cukup kaget ketika melihat banyak notifikasi yang tertera di layar.
Dua belas panggilan tak terjawab dari Yoga, adiknya, juga lima panggilan tak terjawab dari ibunya sejak semalam. Lalu, ada puluhan pesan masuk ke nomor pribadi atau pun grup, yang akhirnya Dinar buka dan baca satu per satu.
Tampak nomor Toni juga, laki-laki yang adalah teman satu kampusnya dulu, yang juga sudah membuatnya terjebak bersama laki-laki bernama Ardian semalam. Toni menghubunginya beberapa kali. Termasuk mengirim pesan dengan permintaan maaf yang tak henti-hentinya.
'Laki-laki gila! Aku enggak akan pernah maafin kamu!'
Sebuah balasan pesan Dinar kirimkan ke nomor Toni. Tidak menunggu pesan itu dibaca apalagi dibalas, Dinar langsung mem-blokir nomor Toni dari kontak teleponnya.
Wajah segar Dinar yang sebelumnya terlihat setelah mandi, kini kembali keruh dan emosi. Ia kesal, juga marah kepada Toni serta teman-teman satu kampusnya yang lain. Reuni teman satu jurusan, telah membuatnya harus kehilangan hal paling berharga miliknya di tangan laki-laki tampan yang tidak ia kenal. Bahkan, sisa keganasan mereka semalam, masih bisa Dinar rasakan di area pangkal paha dan area dadanya —yang ternyata sudah berubah. Tadinya putih mulus, kini memiliki motif merah dengan beberapa titik keunguan. Permukaan kulit tubuhnya tak jauh berbeda seperti corak anjing Dalmation.
"Ini cuma seru-seruan aja, Dinar!"
"Kita udah dewasa kali. Enggak usah berlebihan dong responnya."
"Maafin aku, yah, Din. Tapi, kita cuma becanda kok. Kan biar seru aja. Tapi, kamunya malah lari."
Beberapa teman mengirimkannya pesan. Pesan-pesan yang dikirim dengan kata-kata aneh dan bodoh, menurutnya. Bukan permintaan maaf tulus yang mereka sampaikan, tapi malah menyalahkan dirinya seolah perbuatan mereka semalam hanya sebuah candaan yang seharusnya ia tanggapi biasa.
'Apakah mereka sudah gila? Memasukkan obat perangsang di minumanku, mereka anggap seru-seruan,' gumam Dinar marah. Ia benar-benar emosi pada semua temannya yang membuat rencana jahat semalam.
Ya, Dinar baru mengetahui kalau teman-temannya memiliki rencana busuk setelah salah satu temannya memberitahukan hal tersebut.
"Toni itu udah suka sama kamu dari dulu, tetapi kamunya cuek terus, Din. Jadi, dia dan teman-teman yang lain bikin rencana kaya gitu."
Miranda memberi tahu rencana jahat yang teman-teman kuliahnya buat. Tapi, hal tersebut tetap tidak membuat Dinar mau memaafkan Miranda meski perempuan itu memberi tahu kebenarannya. Sebab karena bungkamnya Miranda, justru sudah membuat Dinar kehilangan kesuciannya di tangan laki-laki yang tidak ia kenal.
'Kamu sama brengseknya sama mereka,' gumam Dinar, yang kini memblokir nomor Miranda dan semua nomor kontak orang-orang yang ada di acara reuni semalam.
"Siapa yang b******k? Apa kamu lagi ngomongin aku?"
Suara Ardian dari arah kamar mandi, membuat Dinar menoleh. Sekali lagi, ia harus dibuat terpesona dengan penampilan Ardian yang kini tampak begitu segar dan pastinya sangat tampan.
'Sial!' rutuk Dinar dalam hati, yang terpaksa menatap ke arah lain biar tidak mengulangi kebodohan yang sama untuk ke sekian kalinya.
"Bukan urusan kamu!" sahut perempuan itu dengan tidak menatap Ardian. Ia kemudian membiarkan Ardian duduk di sebelahnya.
"Ehm, ok. Kalau begitu apa yang jadi urusanku?"
Dinar akhirnya menatap Ardian saat lelaki itu menanyakan kepentingannya.
"Seperti yang sudah aku bilang ke sebelumnya, kamu harus bertanggung jawab."
"Caranya?" Seolah memancing suasana, Ardian menanyakan hal yang sebetulnya ia sudah tahu jawabannya.
"Nikahi aku!"
***
Entah apakah keputusan meminta tanggung jawab Ardian adalah sebuah keputusan benar atau justru sebuah kebodohan, Dinar masih belum bisa berpikir jernih.
Setelah menyampaikan hal tersebut, perempuan itu pun memilih untuk pergi meninggalkan hotel di mana ia berada sejak semalam. Sebuah kamar hotel yang tidak sama sekali ia rencanakan sebelumnya akan masuk ke dalamnya dan bertemu dengan lelaki tak dikenal.
Bahkan, ketika Dinar ditawari untuk makan terlebih dahulu sebelum pulang, perempuan itu menolak dengan alasan terlampau siang. Ia tak mau ibunya khawatir sebab dirinya yang tak kunjung pulang. Alhasil, ia mampir ke salah satu makanan cepat saji demi mengganjal perutnya yang kosong minta diisi. Ia sangat kelaparan setelah —entah berapa ronde ia dan Ardian 'bertani' semalam.
Ah, membayangkan apa yang terjadi padanya dan Ardian, hanya membuat Dinar frustrasi. Perempuan itu yang masih merasakan nyeri di area kewanitaannya, begitu ingin melupakan semuanya. Namun, bayangan akan hadirnya janin di dalam perutnya di bulan depan nanti, membuatnya mau tak mau berpikir waras dengan tetap mengawasi Ardian supaya tidak kabur.
"Setidaknya sampai tak ada sisa dari benihmu itu di dalam sini, saat itu kita bisa menyudahi semua perjanjian ini."
Ya, perjanjian. Sebuah perjanjian yang Dinar putuskan harus Ardian setujui setelah semalam mereka saling bertukar air di milik mereka masing-masing.
"Berikan nomor teleponmu. Satu lagi, kartu identitas kamu harus aku sita. Setidaknya sampai kita benar-benar menikah."
Setelahnya, ia pun meledek Ardian karena usia lelaki itu yang tahunya juga seusianya, tetapi masih berstatus single.
"Meledekku sama dengan membiarkan aku lepas tanggung jawab!" Ejekan Ardian membuat Dinar bungkam.
Dinar merasa kalah dan ia merasa menjadi perempuan paling bodoh sekarang. Memutuskan menikah dengan laki-laki yang tidak ia kenal sebelumnya, setelah sekian lama ia menjomlo di sepanjang hidupnya, akankah membuat orang-orang percaya bahwa semua itu bukan karena rencananya membungkam mulut para tetangga yang mengatainya perawan tua.
'Minimal aku bisa membuat ibu tersenyum dan tidak bersedih lagi. Ya, walau jika nanti kenyataannya aku tidak hamil malah akan membuat ibu kembali bersedih sebab otomatis kami harus berpisah.'
Dinar menghabiskan Mochacino panas miliknya setelah dua potong Sandwich masuk ke dalam mulut, yang akhirnya berhasil membuat perutnya kenyang.
Setelah itu ia pun memutuskan untuk pergi dari restoran tersebut dan pulang. Meski sudah menghubungi sang ibu dengan alasan menginap di rumah teman, Dinar merasa jika ibunya tak akan percaya begitu saja karena tahu kalau selama ini dirinya tak pernah tidur di rumah siapa pun sebab hubungan pertemanannya yang tidak akrab satu atau dengan dua teman.
Di saat Dinar sedang menunggu taksi online di halte depan restoran, tiba-tiba sebuah mobil sedan hitam mewah berhenti di depannya. Membuat perempuan itu terkejut, tetapi juga kesal.
Perlahan kaca mobil bagian penumpang bergerak turun. Tampak Ardian yang duduk di balik kemudi, tersenyum ke arah Dinar.
Sedikit heran dan tak menyangka sebab sosok laki-laki yang sudah bersama dengannya semalam berada dalam sebuah mobil mewah, membuat Dinar diam.
"Mari aku antar," ucap Ardian.
Interaksi yang terjadi antara Dinar dan Ardian, membuat beberapa orang yang ada di halte menatap iri pada mereka, terutama Dinar yang tampak istimewa sebab dijemput oleh laki-laki tampan dengan kendaraan mewah yang menyertai.
Seolah kembali tersadar, Dinar pun mundur dan merespon dingin.
"Aku bilang enggak usah. Kenapa kamu masih ngeyel?"
"Bukan ngeyel, aku cuma enggak mau calon istri aku kenapa-kenapa di jalan!" seru Ardian menggoda.
Tak ayal, ucapan Ardian yang dilontarkan dengan suara agak kencang, membuat Dinar buru-buru membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya.
"Tutup kacanya!" seru Dinar lagi-lagi judes.
Ardian pun menurut. Masih dengan senyum di bibirnya yang seperti bahagia sebab bisa menggoda Dinar, Ardian pun sudah akan memajukan mobilnya. Tapi, langsung dicegah oleh Dinar yang sepertinya ingat akan sesuatu.
"Kenapa?" tanya Ardian.
"Aku udah pesan taksi online. Jadi, tunggu mobil itu datang dulu."
"Terus mau ngapain? Enggak jadi aku anter?"
Dinar memutar bola matanya jengah. Di tengah rasa kesalnya kepada Ardian yang bisa-bisanya santai di tengah kecemasan yang Dinar rasakan, perempuan itu kembali membalas dengan sikap kesal.
"Kamu bayarin dulu argonya. Kasihan!"
"Oooh!"
Tak lama setelah Ardian ber-oh ria, sebuah mobil minibus muncul di belakang mobilnya. Dinar yang memastikan nomor plat mobil itu sama dengan yang tertera di aplikasi, segera meminta lelaki itu untuk turun.
"Aku?" tanya Ardian menunjuk mukanya sendiri.
"Kamu pikir siapa lagi? Aku gitu ... setelah kamu bikin aku malu waktu teriak dengan bilang kalau aku calon istri kamu tadi!"
Bibir cemberut Dinar, sontak membuat Ardian tertawa.
"Haha, ok, ok! Tapi, jangan cemberut gitu?"
"Kenapa memangnya? Suka-suka akulah!"
Ardian menghentikan tawanya. Sedikit mendekat dan membungkuk ke depan wajah Dinar, lelaki itu bicara.
"Kamu tahu, lihat bibir kamu begitu aku jadi ingat semalam. Ehm, jadi pingin nyobain lagi!" seru Ardian seraya keluar mobil tanpa menunggu respon balasan yang mungkin akan ia terima dalam bentuk kemarahan perempuan tersebut.
"Argh! Sebenarnya apa aja sih yang udah kita lakuin semalam? Kenapa aku enggak ingat bagian itunya!"
***