Namanya Dinar Artiyasa. Tiga puluh tahun, cantik, dan belum menikah. Pribadinya cuek sedikit dingin. Tidak akrab dengan laki-laki karena latar belakang keluarganya yang membuat ia demikian.
Dinar bekerja di salah satu perusahaan terkenal dan bonafit dengan posisinya sekarang sebagai seorang manajer keuangan. Tentunya bukan sebuah pencapaian mudah setelah ia berusaha dan berjuang sejak bergabung di perusahaan tersebut sejak lulus kuliah hingga akhirnya berada di posisi tersebut.
Sedikit mengenalkan sosok gadis tersebut yang kini terlihat diam membisu di atas ranjang sebab peristiwa tak mengenakan di waktu pagi menjelang siang saat weekend seharusnya menjadi hari yang paling membahagiakan baginya.
Bersamanya berdiri seorang laki-laki yang Dinar lihat saat ia membuka mata. Laki-laki yang katanya sudah bercinta dengannya semalam, terlihat sedang menenggak air mineral dalam botol yang ada di kamar tersebut.
"Apakah kamu masih belum mengingatnya?" tanya lelaki itu setelah menghabiskan satu botol air dalam sekali teguk.
Dinar menengok, menatap laki-laki yang tadi sudah memperkenalkan dirinya bernama Ardian. Entah siapa nama belakangnya, Dinar tak tahu dan tak mau tahu. Baginya mendapati kenyataan bahwa ia terbangun di dalam kamar hotel dengan seorang laki-laki yang tidak ia kenal, sudah membuatnya begitu menyedihkan.
Mendapat pertanyaan itu, ingin Dinar berkata 'sudah'. Tapi, apakah hal tersebut bisa membantu? Padahal kenyataannya, dirinyalah yang salah. Justru, ia malah akan mendapat ejekan dari lelaki itu karena kesalahannya.
"Aku ingin kamu bertanggung jawab!"
"Apa?"
Minuman sudah habis dan berhasil lolos melewati kerongkongan, tetapi pernyataan yang terlontar dari mulut Dinar sontak membuat Ardian tersedak.
"Apa yang kamu katakan? Tanggung jawab?"
"Iya! Kamu sudah mengambil mahkota yang paling berharga milikku. Tentu saja aku mau kamu bertanggung jawab."
Entah apa maksud dari perkataan Dinar barusan dengan meminta laki-laki yang tidak ia kenal sebelumnya itu bertanggung jawab atas kesalahan yang katanya sudah ia perbuat.
Tampak lelaki itu tertawa. Kalimat Dinar seperti dianggap sesuatu yang lucu baginya.
"Kalau kamu masih belum ingat juga, aku tidak sungkan untuk memberi tahu. Seharusnya aku yang meminta pertanggung jawaban kamu, bukan kamu."
"Apa? Apakah kamu sudah gila? Mana ada perempuan yang bertanggung jawab terhadap laki-laki."
Dinar merasa perkataan Ardian itu sangat konyol. Sejak kapan ada laki-laki yang meminta pertanggung jawaban seorang perempuan? Bukankah itu kebalik namanya. Konsep apa yang sedang Ardian ingin tunjukan kepadanya?
"Ada kalau situasinya seperti semalam."
"Enggak masuk akal!" Dinar merasa kalau Ardian hanya mau lari dari tanggung jawab dengan mengatakan hal aneh tersebut.
"Enggak masuk akal katamu? Apakah aku harus mengatakan sekali lagi kalau semalam akulah yang sudah kamu paksa dan kamu lecehkan."
"Enggak! Jangan ngomong kaya gitu lagi." Dinar kembali menutup telinganya, tak mau mendengar.
Ardian tampak menyeringai. Ia seperti sengaja ingin mengerjai perempuan itu.
"Pokoknya kamu yang harus tanggung jawab. Kamu udah seenaknya ambil kesucian aku. Jadi, kamu jangan lari setelah melakukan aksi tak berperasaan semalam."
"Hei! Mau juga aku yang bilang kalau kamu yang udah ambil keperjakaan aku."
Dinar melotot tak percaya. Bagaimana ada laki-laki yang merasa sudah tak perjaka setelah ia sendiri yang sudah melakukannya ke si perempuan.
"Tunggu! Jangan-jangan kamu udah ingat apa yang terjadi semalam? Jadinya kamu mencari cara biar aku mau tanggung jawab. Padahal kenyataannya kamu sendirilah pelakunya."
"Arh! Kamu itu laki-laki atau bukan sih! Kok enggak mau tanggung jawab dan malah memutarbalikkan fakta."
"Memutarbalikkan fakta katamu?"
Ardian yang sebelumnya berdiri, kini perlahan mendekat dan mengambil area kosong di sisi ranjang. Sikapnya membuat Dinar kembali waspada.
"Aku udah bilang, enggak usah dekat-dekat. Jaga jarak!" bentak Dinar, antara waspada dan takut.
"Aku juga udah bilang, kita udah ngelakuin hal yang lebih dari kata luar biasa semalam. Aku dan kamu juga udah lihat tubuh kita satu sama lain. Jadi, enggak usah bersikap seolah aku mau ngapa-ngapain kamu padahal sebelumnya kita udah ngerasain hal yang lebih dari ini."
Dinar kembali melotot. Sungguh, perkataan Ardian yang keluar sangat lancar dari mulutnya, membuat Dinar begitu muak dan kesal.
"Bisakah kamu enggak bahas hal itu lagi. Apa kamu enggak kasihan sama aku yang masih syok atas apa yang udah terjadi?"
Kali ini Dinar benar-benar membuat Ardian tertawa terbahak-bahak. Lelaki itu menertawakan sikap perempuan di depannya tersebut yang sangat sulit ditebak. Di lain waktu ia akan bersikap galak dan jutek, tapi di detik berikutnya ia akan berubah menjelma menjadi anak kecil yang butuh rasa kasihan.
"Kamu yang memulai, tetapi kamu juga yang menyalahkan."
"Ya, ya, aku tahu. Tapi, tetap aku minta kamu bertanggung jawab dengan yang udah terjadi."
Melihat sikap jutek yang kembali Dinar tunjukkan, membuat Ardian akhirnya memilih untuk memutuskan sesuatu.
"Baiklah, aku akan bertanggung jawab. Tapi, aku mau mengajukan satu pertanyaan untukmu."
"Apa itu?" tanya Dinar seperti mendapat secercah kebahagiaan di saat hati dan otaknya sudah tak bisa lagi berpikir.
Ardian masih duduk di sisi ranjang sebelum kemudian ia mengajukan pertanyaan yang sudah membuatnya penasaran.
"Siapa laki-laki yang mengejar kamu semalam? Aku rasa kamu masih ingat dengan momen itu. Atau setidaknya kamu tahu apa yang tengah kamu lakukan di hotel ini sampai akhirnya kamu berada di lantai ini dan bertemu denganku."
Dinar tampak mengerjapkan kedua matanya. Ia yang sempat terpesona ketika menatap wajah Ardian yang tampan, kini memalingkan wajahnya ke arah lain. Ia khawatir bila harus kembali kepergok meneteskan air liur sebab ketampanan lelaki itu yang menurutnya tak masuk akal.
Ya, di sudut hatinya yang paling jauh, ada rasa beruntung sebab bisa berkenalan dengan seorang lelaki tampan seperti Ardian, bahkan keduanya bisa bercocok tanam di situasi yang sebetulnya menyedihkan. Tapi, sisi hatinya yang paling waras mengatakan kalau peristiwa di antara mereka adalah sesuatu yang harus mereka tebus dengan melakukan aksi pertobatan kepada Tuhan. Salah satu caranya adalah dengan bertanggung jawab sebab khawatir ada sesuatu yang hadir di kemudian hari, sisa akibat perbuatan mereka yang seharusnya tidak terjadi.
"Dia adalah teman kuliahku."
"Teman atau mantan pacar?"
"Teman. Aku belum pernah punya pacar."
Seketika jawaban Dinar membuat Ardian terkejut. "Benarkah?"
"I-iya." Dinar menjawab malu. "Lantas, kenapa memangnya kalau aku belum pernah berpacaran. Apakah masalah buat kamu?" lanjut Dinar dengan sikap judes, kembali ke sifat aslinya.
"Tidak. Sama sekali tidak. Aku cuma heran aja, di usia kamu yang sudah kepala tiga, tapi masih belum pernah pacaran."
"Dari mana kamu tahu usiaku?" Dinar bertanya dengan kedua alis yang bertaut. Perempuan itu seperti ingin mencari jawaban dari bola mata Ardian yang terlihat gelisah.
"Eh, itu. Eh ... aku sempat melihat isi tas kamu untuk mencari kartu identitas."
"Apa? Kamu memeriksa barang milik orang lain? Itu enggak sopan namanya!" Dinar sontak menengok ke kanan dan kiri. Mencoba mencari di mana tas miliknya tersebut yang ternyata ada di atas kursi.
"Jangan membahas sopan santun di sini kalau kamu enggak mau malu untuk ke sekian kalinya." Ardian benar-benar di atas angin. Ia selalu bisa membuat Dinar bungkam dengan kebenaran yang memang berada di pihaknya.
Dinar pun memilih diam akhirnya. Ia yang sudah ingat mengenai awal mula peristiwa semalam, tak mau lagi berdebat dengan Ardian selain meminta lelaki itu bertanggung jawab.
"Aku tak lagi peduli dengan apapun yang sudah terjadi di antara kita. Tapi, satu yang tetap aku minta, kamu harus bertanggung jawab. Kamu janji akan melakukan itu setelah kamu mengajukan pertanyaan ke aku tadi."
Ardian terlihat santai dan cuek ketika Dinar bicara. Ia memilih diam dan mendengarkan perkataan demi perkataan yang perempuan itu ucapkan.
"Sekarang, aku mau membersihkan diri sebelum kita kembali membahas hal yang penting lainnya. Lalu, setelahnya aku mau pulang karena hal ini sungguh di luar rencana. Aku yakin keluargaku sudah mengkhawatirkan aku karena aku tidak pulang ke rumah semalam."
Dinar kemudian mencoba membetulkan kain selimut untuk dibelitkan ke tubuhnya. Dengan tatapan waspada menatap Ardian, ia khawatir kalau kain itu melorot dan lelaki itu berhasil melihat tubuh polosnya.
"Aku sudah lihat semua."
"Diam!"
Respon jutek yang Dinar lontarkan, membuat Ardian lagi-lagi tertawa.
Namun, ketika ia masih belum berhenti menertawakan Dinar, perempuan itu tampak terjatuh ketika baru menginjakkan kedua kakinya ke lantai.
"Aw!" pekiknya yang berusaha kembali duduk di ranjang.
"Kenapa?" tanya Ardian yang tiba-tiba khawatir.
Namun, balasan Dinar sungguh tak bisa tidak membuat Ardian kembali tertawa. Bahkan begitu geli karenanya.
"Apa yang udah kamu lakuin semalam di bawah sini? Milikku sakit dan perih tahu!"
***