'Sebab, sampai kapan pun wanita akan meninggalkan bekas dan semoga tak ada hal buruk yang terjadi di kemudian hari.'
Kalimat yang Ardian ucapkan masih terngiang di benak Dinar sampai ia duduk di depan televisi setelah berbincang dengan ibunya sebentar setelah pulang lembur tadi. Hingga wanita yang telah melahirkannya ke dunia tiga puluh tahun lalu itu pamit pergi tidur, Dinar masih belum ingin menyusul.
"Biar nanti Yoga aku yang bukain pintu. Ibu tidur duluan aja," ucap Dinar ketika sang ibu masih mengkhawatirkan putranya yang belum pulang meski waktu sudah lewat malam.
Kini Dinar duduk sendiri sembari memainkan ponsel. Televisi yang tengah menayangkan acara atau program komedi, hanya menjadi latar suara baginya yang sebetulnya tidak terlalu antusias untuk menonton.
Saat acara sekilas berita dari salah satu stasiun televisi menayangkan satu peristiwa di satu daerah di Indonesia, perhatiannya mendadak berpaling dan menyaksikan berita yang seorang news anchor sampaikan.
'Seorang perempuan muda yang diduga seorang mahasiswi, ditemukan meninggal dunia bersama dengan janin bayi di salah satu praktek aborsi berkedok klinik kesehatan. Perempuan itu diduga hendak menggugurkan kandungannya sebab merasa malu atas kehamilan yang dialaminya. Saat ini bidan atau tenaga medis gadungan yang dicurigai sebagai pelaku yang membantu jalannya aborsi sudah ditahan untuk dimintai keterangan. Sedangkan laki-laki yang diduga sebagai pasangan dari perempuan tersebut saat ini tengah menjadi buronan kepolisian sebab diduga ikut andil dalam rencana pengguguran yang terjadi.'
Seketika Dinar menutup mulut seraya menggeleng tak percaya akan berita yang baru saja ia saksikan.
'Zaman semakin gila. Kalau enggak mau punya anak atau hamil, ngapain juga ngelakuin. Akhirnya bukan cuma calon anaknya yang meninggal, ibunya juga. Nah, kalo kaya gini, siapa yang seharusnya disalahin?' gumam Dinar tiba-tiba kesal sekaligus prihatin.
Namun, belum juga ia selesai membahas sendiri kasus peristiwa yang ia lihat dan dengar, mendadak mulutnya bungkam karena teringat sesuatu.
Ekspresi-nya begitu mudah dibaca. Jika ada seorang lain yang duduk dengannya saat ini, bisa dipastikan Dinar mendapatkan pertanyaan bertubi-tubi yang mengarah pada berubahnya raut wajahnya saat ini.
'Ya Tuhan! Apakah ini adalah tanda yang Engkau berikan setelah apa yang terjadi padaku? Hamil? Siapa yang mau hal itu terjadi? Tapi, kalau aku tidak seperti perempuan yang ada di berita itu, bukankah aku masih aman? Tak perlu aku susah-susah menikah dengan lelaki yang tidak aku cintai. Zaman sekarang banyak perempuan yang tidak lagi perawan dan masih bisa memiliki pasangan nantinya. Sebab tidak perawannya seorang perempuan, tidak melulu karena berhubungan seksual bukan?'
'Tapi, bagaimana seandainya kamu benar-benar hamil? Apakah kamu akan tetap sendiri dan membesarkan anakmu juga sendiri tanpa adanya seorang ayah? Lantas, apakah nanti akan ada keluarga yang mau menerima seorang perempuan untuk menjadi menantunya sedang ia sudah memiliki anak?'
Perang batin di hati Dinar pun terjadi. Masing-masing memiliki pendapat seolah saling mematahkan. Tak bisa dipungkiri semua yang dikatakan hatinya benar semua. Beberapa kemungkinan bisa saja terjadi dan ia harus bersiap untuk semuanya, apapun itu.
Di saat Dinar masih berkutat dengan pikiran yang mendadak membuat perutnya mual, suara ketukan di pintu depan terdengar.
'Itu pasti Yoga,' gumamnya.
Dinar pun beranjak untuk membukakan pintu yang sudah ia kunci sebelumnya. Berjalan melewati ruang tamu yang sudah gelap sebab lampu yang sudah dimatikan, membuat kakinya tersandung kaki kursi karena ia yang masih bisa-bisanya melamun.
"Aw!" Pekiknya tertahan.
Kesal karena kakinya merasa nyut-nyutan, Dinar pun melampiaskannya pada Yoga, tepat saat ia membuka pintu.
"Enggak pulang aja sekalian! Ini udah jam berapa? Mentang-mentang laki-laki. Ngerasa bebas gitu?"
Alih-alih membalas kekesalan Dinar, Yoga malah terdiam bengong. Mulutnya menganga karena mendapat serangan petasan bertubi-tubi. Letupan petasan itu menerjang wajahnya yang lelah, membuat ia tak berkutik sepersekian detik.
"Apaan sih, Kak? Malam-malam udah kaya ibu kos aja."
Yoga terlihat santai setelah bisa mengembalikan nyawanya yang terkaget sebab kemarahan Dinar. Lelaki itu lalu memilih masuk rumah dengan melenggang cuek melewati tubuh sang kakak yang tegak berdiri menghalangi pintu.
"Enggak tahu deh ibu udah bilang belum sama Kak Dinar kalo aku izin pulang malam, kok tiba-tiba malah marah-marah kaya gini."
Dinar seketika memejam seraya menghela napas panjang. Ya, ia memang tahu kalau adiknya itu akan pulang malam karena ada masalah dengan temannya, tetapi entah kenapa ia jadi kebablasan marah hanya karena kakinya tersandung.
'Ah, bukan itu sepertinya.' Hatinya mendadak protes. 'Ini semua pasti karena berita di TV tadi 'kan?' lanjut hatinya bicara.
Dinar melihat Yoga duduk di ruang keluarga yang juga berfungsi sebagai ruang makan. Ruangan yang terhubung langsung dengan dapur itu memang selalu menjadi tempat favorit keluarga Dinar untuk berbincang atau sekedar melepas lelah.
Dinar pun ikut duduk di dekat adiknya.
"Maafin Kakak deh! Kakak kesal karena tadi kesandung kaki kursi waktu mau bukain pintu," ucapnya membuat hati di dalam tubuhnya berteriak tak terima.
Nyatanya Yoga malah tersenyum saat melihat wajah penyesalan sang kakak. Waktu yang sudah malam seharusnya memang tidak menciptakan kegaduhan.
"Kakak kenapa belum tidur? Emang besok enggak ngantor?" tanya Yoga masih menatap kakaknya tersenyum.
"Ngantor. Tapi, Kakak belum ngantuk. Tadi baru pulang juga abis lembur. Ibu bilang kamu ada perlu dan pulang malam katanya. Kakak lihat ibu kaya yang udah ngantuk. Jadi, Kakak suruh ibu tidur duluan."
"Hem, hari ini emang ibu bikin pesenan kuenya lumayan banyak. Niatnya sih mau bantuin, tapi aku enggak enak juga waktu mau pulang duluan tadi."
"Emang ada masalah apa? Kok sampai enggak enak balik cepat dari kampus. Enggak enak sama siapa?"
"Sama-sama temen-temen yang lain."
Dinar masih diam. Ia menunggu Yoga menceritakan semua tanpa harus ia mengajukan pertanyaan lagi.
Adiknya lalu terlihat menghela napas dan mengeluarkannya pelan. Seolah ia hendak menceritakan masalah yang sangat berat, yang membuatnya tak berbicara selama sekian menit.
"Salah satu temenku hampir bunuh diri, Kak.".
"Ya Tuhan!" Dinar memekik kecil. "Kenapa?"
"Ia gagal nikah karena keluarga pacarnya tiba-tiba enggak setuju waktu ia ketahuan udah enggak perawan. Padahal pacarnya sih enggak masalah. Ya, mungkin karena cowoknya juga udah pernah begituan juga. Tapi, pihak keluarganya tetap enggak terima."
Dinar diam karena saking kagetnya. Perawan? Apakah kata itu sudah menjadi masalah yang sangat krusial?
"Kenapa harus sampai bunuh diri segala sih! Emang cowok di dunia ini cuma satu apa?" Dinar mendadak kesal dengan mental lemah yang dimiliki teman adiknya itu meski hatinya juga ketar ketir sebab khawatir akan berada di situasi yang sama.
"Ehm, masalahnya ini bukan yang pertama kalinya. Ia pernah juga diputusin cowoknya yang dulu gara-gara masalah itu."
"Ya, tapi tetap aja bunuh diri bukan jalan terbaik. Bukan sebuah penyelesaian satu masalah."
"Kak, masing-masing orang itu punya mental dan hati yang berbeda. Lagian, Kak Dinar bisa bilang gitu karena enggak ngalamin."
'Apa! Enggak ngalamin? Ya, emang sih aku belum ada di posisi cewek itu. Tapi, kondisi aku sama.'
Dinar hanya bicara dalam hati. Ia diam ketika Yoga melanjutkan kalimatnya.
"Itulah cowok. Enggak akan ada bekasnya, beda sama cewek yang selalu dipandang negatif sama para orang tua, dan anehnya kebanyakan para orang tua perempuanlah yang masih bersikap kolot, tidak mau mengerti keadaan sesamanya."
Yoga tampak menggeleng. Ia seperti tak mengerti dengan jalan pikiran para orang tua yang menganggap hal tersebut penting.
Lantas, bagaimana dengan kondisi seorang perempuan yang harus mengalami kejadian tersebut bukan karena kejadian seksual, tetapi karena kecelakaan seperti jatuh dari motor atau sepeda?
Mendadak kata perawan menjadi momok menakutkan di hati Dinar setelah mendengar cerita Yoga. Hati dan pikirannya tiba-tiba kepikiran pada sesuatu.
"Kakak tidur duluan, yah? Nanti kamu matiin lampu dan TV-nya." Dinar sudah bangkit berdiri, lalu menatap sang adik yang sudah pindah fokus menatap ponsel-nya.
"Hem."
**
Dinar tidak serta merta menutup mata, tidur. Niatnya masuk ke kamar karena ia mau melakukan sesuatu dengan ponsel-nya.
Ada nomor yang belum ia simpan, milik seorang lelaki yang sejak beberapa hari kemarin mengganggu ketentraman hatinya.
'Kalau penawaran tanggung jawab darimu masih berlaku, aku ingin hal itu tetap terjadi. Lamar aku pada ibu dan adikku sebelum perubahan fisik dan mentalku benar-benar terjadi.'
Satu buah pesan yang mungkin tidak akan mudah dipahami seandainya Dinar mengirimkannya pada orang lain, dan bukan pada Ardian. Namun, satu nomor yang sebelumnya mengirimkan pesan pada Dinar itu kini sudah masuk dalam daftar kontaknya. Mungkin akan tetap di sana selama beberapa waktu ke depan sampai tanggung jawab itu nantinya terlepas.
***
Bab selanjutnya, Guy! Apakah Ardian akan menerima permintaan Dinar setelah perempuan itu mengembalikan kartu identitasnya? Apakah tanggung jawab akan tetap Ardian lakukan?
***