Waktu menjelang jam bubar kantor, Dinar kedatangan seseorang dari balik ruangan kerjanya. Seseorang yang seharian ini coba ia abaikan tahu-tahu muncul dengan sebuah map di tangan.
"Selamat sore, Bu!" sapa Ardian, seseorang yang Dinar maksud.
"Sore. Ada apa?" Dinar terlihat jutek. Wajahnya seperti enggan untuk diajak bicara.
Ardian perlahan mendekat, lalu berdiri di depan Dinar dengan terhalang sebuah meja persegi, yakni alat penunjang bagi perempuan itu untuk mengerjakan tugas kantornya.
"Saya diminta Mbak Mufi untuk menyerahkan laporan ini," ucap Ardian seraya mengulurkan tangan. Map berwarna biru itu telah berpindah, diletakkan di atas meja oleh Ardian sebab Dinar yang enggan menerima langsung.
"Oh iya. Terima kasih."
Ekspresi Dinar begitu datar, membuat Ardian gemas karena ia merasa sekali diabaikan.
"Ada apa lagi?" tanya Dinar sebab melihat Ardian yang masih belum beranjak.
Lelaki itu tetap berdiri meski urusannya sudah selesai. Ia seperti penasaran dengan kondisi Dinar yang entah sejak kapan sudah mengalihkan dunianya.
"Apa ada masalah yang mengganggu kamu?" Tiba-tiba saja Ardian mengubah panggilannya. Ia yang sebelumnya bersikap resmi, kini berubah seolah tak ada jarak antara dirinya dengan Dinar.
Sontak saja Dinar mengernyit. Dua alisnya hampir menyatu sebab perasaan heran yang mendadak hadir.
"Kenapa kamu tanya hal itu? Apa urusannya sama kamu?"
Intonasi suara yang keluar dari mulut Dinar masih sama, sinis dan jutek. Meski tatapan yang Ardian berikan terlihat sekali perhatian dan penuh khawatir.
"Karena kamu calon istri saya. Setidaknya saya ingin tahu apa masalah yang sedang calon saya hadapi."
"Uhuk! Uhuk!"
Tidak sedang minum, tetapi Dinar terbatuk sebab ia tiba-tiba tersedak air liurnya sendiri. Kaget, itu yang ia rasakan saat mendengar perkataan Ardian.
"Jangan gila kamu! Siapa yang calon istri?"
"Ya, kamulah. Siapa lagi memangnya?"
Urat nadi kepala Dinar mendadak berdenyut. Kehadiran Ardian di kantornya pagi tadi saja sudah membuat ia senewen dan frustrasi. Sekarang, bisa-bisanya lelaki itu mengaku-aku sebagai calon suami dan ia adalah calon istrinya.
"Tolong jangan bikin aku tambah emosi dan stres." Dinar menarik napas panjang dan mengeluarkannya cepat.
"Jangan nambah masalah yang bikin aku semakin gila." Suara Dinar sudah mezzo sopran sekarang.
Jelas sekali lelaki di depannya sudah membuat suasana hati Dinar tak baik. Tapi, anehnya tak ada perasaan bersalah yang tampak. Justru ekspresi heran terlihat dari kedua mata Dinar.
"Memangnya aku ngelakuin apa sampai dituduh udah bikin kamu gila?"
"Hah! Kamu bilang aku gila?" Dinar tampak tak terima.
"Loh! Bukannya kamu sendiri yang bilang tadi."
Tak tahu apa lagi yang harus Dinar lakukan demi menghadapi sosok Ardian. Yang jelas sudah membuat harinya sepanjang pagi sampai sore itu kacau dan berantakan.
"Tolong kamu keluar aja deh dari ruangan saya. Dari pada suara saya makin tinggi dan bikin karyawan di luar masuk ke sini karena denger suara saya." Dinar sudah kembali ke mode resmi. Ia memilih untuk menahan diri. Dirinya yang merasa lebih waras, memilih untuk menyudahi dengan tidak melayani pertanyaan Ardian lagi.
"Saya cuma khawatir sama kamu. Tapi, kalau kamu enggak suka aku peduli, ya ... maaf." Ada raut kecewa yang tampak di wajah Ardian. Sikap yang seketika berubah dari beberapa menit yang lalu, yang kini membuat Dinar malah tak enak hati.
"Saya permisi."
Begitu pun Ardian, lelaki itu bisa dengan cepat mengubah sikapnya menjadi seseorang yang begitu menghormati atasan. Sedangkan Dinar tetap diam sampai pintu ruangannya tertutup dari luar. Saat itu juga, ia melempar pulpen di tangannya, tepat mengenai map yang tadi Ardian berikan.
'Apakah ia tidak tahu, setiap melihat mukanya bayangan ketika kita di hotel kembali menari-nari di pelupuk mataku,' gumam Dinar nelangsa.
Salah jika Ardian menyangka jika Dinar tidak trauma akan kebersamaan mereka weekend kemarin. Tidak mungkin bagi seorang perempuan akan menerima dengan senang hati keadaan di mana mahkota paling berharga satu-satunya yang selama ini dijaga direnggut secara tidak sadar. Bahkan, harus menerima kenyataan jika sosok yang telah merenggutnya ada di depan mata. Bekerja bersama dengannya di perusahaan yang sama.
'Tapi, aku melakukan hal itu sebab kamu yang memaksa!' Pembelaan Ardian masih jelas di telinga Dinar. Tapi, tetap saja tidak mudah bagi perempuan itu menerima kondisinya yang sudah tidak lagi perawan.
'Toni b******k! Kurang ajar!' teriak Dinar yang hanya mampu ia ucapkan di dalam hati. Semua tak akan terjadi kalau bukan karena teman kuliahnya itu. Juga teman-teman yang lain yang menganggap hal gila Te
Lelaki itu yang sudah merusak dirinya. Meski bukan dengan Toni Dinar kehilangan kesuciannya, tetapi sebab ulah lelaki itu yang akhirnya ia harus menerima kenyataan pahit sebab harus bertemu setiap hari lelaki yang tahunya mau bertanggung jawab bahkan memaksa bertanggung jawab tanpa ia minta.
Tak terasa air mata tiba-tiba meluncur keluar dari kedua mata Dinar. Air mata yang sudah lama tak pernah keluar itu, kini seolah mengerti akan keadaan Dinar yang sebenarnya.
Dinar tidak tahu apa yang harus dilakukan sekarang. Di satu sisi ia ingin melupakan apa yang sudah terjadi, tetapi di sisi lain ia takut jika aksi malam kemarin menghadirkan sosok baru dalam kehidupannya dan hal itu jelas akan membuat gempar dan heboh jagad perusahaan tempat dirinya bekerja.
Ting!
Saat Dinar mencoba untuk menyudahi air mata yang keluar —yang seolah tak ingin berhenti, suara notifikasi pesan masuk ke ponselnya.
Sebuah pesan yang berasal dari seseorang yang namanya tidak tercatat di ponsel Dinar, tahunya adalah dari Ardian yang entah sejak kapan memiliki nomor kontaknya.
"Aku akan tunggu kamu di parkiran pas pulang kantor."
'Apa-apaan dia! Kenapa dia merasa kalau kita sudah pasti menikah,' gumam Dinar kesal.
Meletakkan kembali ponsel ke dalam tas kerjanya, Dinar memilih untuk menyelesaikan pekerjaan yang masih membutuhkan perhatiannya.
'Biarkan saja. Tunggu saja sampai malam. Tidak tahu saja dia kalau aku selalu lembur tiap malam,' lanjut Dinar bergumam.
Dinar memang kerap pulang sampai malam hari. Jarang membawa pekerjaan ke rumah, membuat harinya lebih banyak ia habiskan di kantor. Berpikir jika Ardian tak akan menunggu sampai ia pulang malam nanti, nyatanya dugaan Dinar keliru. Saat jam setengah sembilan ia selesai dengan pekerjaannya hari itu, sosok Ardian rupanya terlihat berdiri di sudut parkiran, di mana motor milik perempuan itu terparkir.
Ardian menengok ke arah Dinar yang berjalan sendirian sembari terus menatap ke arahnya. Perlahan ia beranjak, juga mendekati sosok perempuan yang ia tunggu.
"Kamu masih nunggu aku di sini?"
Ardian tampak mengangguk. Ada senyum di wajahnya meski kelelahan terlihat samar Dinar lihat.
"Aku 'kan udah bilang mau nunggu kamu di sini."
"Tapi, ini udah malam. Kamu pulang dari jam lima. Berapa jam kamu nunggu?"
Senyum lelaki itu semakin lebar. "Itu bukan masalah."
Keduanya sama-sama diam sekarang. Kecanggungan tiba-tiba Dinar rasakan kala hatinya merasakan betapa perhatiannya lelaki yang jelas bukan siapa-siapanya itu. Perhatian yang selama ini tidak pernah ia dapatkan dari seorang lelaki, atau lawan jenis. Hanya Yoga, lelaki satu-satunya yang selama ini akrab dan baik padanya. Adik satu-satunya itu memang sangat menyayanginya. Sampai-sampai Yoga rela menunggu kuliahnya tertunda satu tahun sebab tabungan milik Dinar habis waktu itu, digunakan untuk pengobatan ibunya juga modal usaha kue yang sekarang berjalan.
Namun, sekian menit berlalu, Dinar kemudian tersadar akan hubungan mereka yang sebetulnya tidak harus ada interaksi serius selain hubungan pekerjaan.
"Langsung saja, apa tujuan kamu nunggu aku di sini?" tanya Dinar yang sudah dalam mode biasa.
Sejujurnya ia khawatir jika ada karyawan lain yang melihat dirinya bersama dengan Ardian si karyawan baru. Untuk itu ia kembali bersikap seperti semula dengan sikapnya yang jutek.
"Mengantar kamu pulang."
"Apa?" Dinar kaget mendengar jawaban Ardian.
"Iya, aku mau anter kamu pulang." Ardian terlihat sekali santai.
"Enggak." Dinar menggeleng. "Aku bawa motor sendiri. Jadi, enggak usah repot. Lagian, jangan berlebihan dalam menganggap hubungan kita sebelumnya."
Ardian cukup terkejut mendengar penuturan Dinar. Tapi, sebisa mungkin ia tutupi ekspresi-nya tersebut sehingga tidak tampak di mata perempuan itu.
Ardian lalu melihat Dinar membuka tas kerjanya, kemudian terlihat mengambil sebuah kartu dari dalamnya.
"Ini aku kembaliin kartu identitas kamu. Enggak ngerti juga kenapa kamu bisa masuk ke kantor pagi tadi dengan tanpa identitas di tangan kamu. Alasan apa yang kamu kasih ke security," ujar Dinar berusaha tersenyum.
"Maaf karena sebelumnya bersikukuh menahan kartu itu. Sekarang, aku tidak akan menahan atau meminta pertanggung jawaban kamu atas apa yang udah terjadi di antara kita dua hari yang lalu."
Dinar kembali menarik tangannya setelah Ardian menerima kartu identitasnya kembali. Sedikit lemas karena keputusan yang Dinar ucapkan, tetapi kemudian Ardian tampak lebihmenyunggingkan senyum, menatap sang atasan. Ia pun lantas berkata,
"Aku hormati keputusan kamu. Sebab tak akan ada kerugian yang lelaki alami atas apa yang terjadi pada kita waktu itu. Jadi, semoga kamu yakin dan pasti dengan keputusan yang kamu buat ini. Sebab, sampai kapan pun wanita akan meninggalkan bekas dan semoga tak ada hal buruk yang terjadi di kemudian hari."
Setelah berkata demikian, Ardian pun pergi meninggalkan Dinar yang malah diam saat lelaki itu bicara.
'Kenapa jadi begini?' batin Dinar bertanya sebab tiba-tiba saja merasakan kecewa di hatinya.
***
Nah, apa yang akan terjadi pada mereka berdua nantinya yah? Apakah tanggung jawab yang sebelumnya Dinar minta benar-benar tidak terjadi? Benarkah Ardian akan terbebas dari kata menikah yang Dinar gembar-gemborkan sebelumnya?
Tunggu di part selanjutnya yah!
***