Ardian dengan cepat mengerti dan bisa mengerjakan tugas harian milik Mufi —pembimbing yang Dinar tugaskan, bahkan sebelum jam istirahat siang masuk.
"Wah, Mas Ardian cepat banget pahamnya. Jadi, enak ngajarinnya." Mufi, perempuan manis yang merupakan salah satu staf di divisi keuangan di antara sekian karyawan yang ada di ruangan tersebut, menatap Ardian dengan senyum yang sama manisnya.
"Terima kasih, Mbak Mufi. Ini semua karena Mbak ngajarinnya enak dan mudah dimengerti. Jadi, saya cepat bisa."
"Bisa aja. Emang dasarnya Mas Ardian paham kok," sahut Mufi masih tersenyum.
"Tapi, jangan panggil saya Mbak dong? Kayanya saya enggak lebih tua dari Mas Ardian deh."
Gadis itu sama sekali tak canggung bicara atau pun mengajarkan Ardian si karyawan baru. Meski tatapan teman-temannya yang didominasi para perempuan, menatap iri padanya.
"Kalau gitu, jangan panggil saya Mas juga. Panggil Ardian aja."
"Oh, ok. Deal!" Keduanya pun berjabat tangan.
Lalu, ketika Mufi hendak menyerahkan laporan kepada Dinar, perempuan itu pun memperkenalkan sosok Ardian ke seluruh temannya.
"Yang udah enggak sabar pingin kenalan sama karyawan baru, sini ngumpul sebelum istirahat makan!"
Mufi adalah salah satu karyawan senior di divisi tersebut. Oleh sebab itu, ucapan dan sikapnya kerap dihormati oleh teman-teman yang usianya di bawah dirinya.
Termasuk ketika Mufi keluar dari ruangan Dinar, sang manajer. Ia yang selalu diminta untuk membimbing karyawan baru, langsung mengajarkan Ardian mengerjakan tugas yang Dinar perintahkan. Dan bukan lebih dulu mengenalkan sosok karyawan baru yang memiliki ketampanan sekelas artis Ben Joshua tersebut.
Tak berani protes, semua karyawan yang sudah menunggu sejak Ardian masuk bersama Agus, memilih diam hingga momen istimewa itu pun terjadi. Akhirnya Mufi memperkenalkan sosok Ardian kepada mereka.
Semua karyawan —para perempuan, langsung mendekat dan berdiri di depan Mufi dan Ardian. Mereka begitu bersemangat untuk berkenalan dengan karyawan baru, yang sebetulnya sudah mereka nantikan sejak tadi.
"Enggak usah kenalan satu-satu yah, soalnya waktunya terbatas. Kalian bisa kenalan secara pribadi nanti saja setelah jam istirahat. Sekarang aku cuma mau mempersilakan ... dia," ucap Mufi sembari menunjuk ke arah Ardian.
"Untuk mengenalkan nama dan lain sebagainya. Silakan!"
Mufi tersenyum mempersilakan Ardian untuk mengenalkan diri di depan para staf yang akan menjadi temannya selama tiga bulan ke depan, alias selama masa kontrak kerjanya dengan perusahaan.
"Terima kasih, Mbak Mufi," kata Ardian sebelum memulai.
Lalu, lelaki itu pun menatap semua karyawan bagian keuangan untuk berkenalan.
"Selamat siang semuanya, maaf karena baru sekarang mendapat kesempatan memperkenalkan diri. Nama saya Ardian Saguna. Kalian bisa panggil saya Ardian. Saya baru hari ini diterima atau bergabung di perusahaan ini dan langsung diminta untuk langsung bekerja hari ini juga. Ini pengalaman pertama saya bekerja di bagian finance, karena sebelumnya saya tidak bekerja di bagian ini, ya ... walaupun dasar ilmu yang saya punya sesuai dengan pekerjaan sekarang. Jadi, mohon bimbingan dan bantuan kalian semua kalo seandainya saya akan merepotkan ke depannya," tutur Ardian yang menjeda kalimatnya.
"Ehm, saya enggak tahu harus memperkenalkan apa lagi. Silakan kalian tanya saja kalo ada yang mau ditanyakan. Itu pun kalo Mbak Mufi masih kasih waktu," tutur Ardian tersenyum menatap sang senior.
Mufi membalas senyum Ardian, lalu menatap teman-temannya yang begitu antusias ingin bertanya.
"Umurnya berapa?" celetuk Zara padahal belum Mufi beri kesempatan mereka bertanya.
"Iya, iya. Idem!" seru karyawan lain bernama Serina.
Mufi hanya bisa geleng-geleng melihat tingkah konyol teman-temannya itu.
"Silakan Ardian, dijawab. Itu pun kalo kamu enggak keberatan."
Ardian sepertinya bukan tipe laki-laki ribet atau sensitif. Ia cenderung cuek dan santai.
"Enggak kok, saya enggak keberatan."
Ardian kemudian kembali menengok ke arah Zara. "Umur saya tiga puluh tahun, ehm ... dua hari yang lalu tepatnya."
"Wah, cukup dewasa, yah. Tapi, kayanya cocok sama aku walaupun umur kita beda. Kenalin aku Zara," ucap sekretaris Dinar itu seraya mengulurkan tangannya.
Sontak saja, hal itu membuat teman-temannya yang lain bersorak tak terima.
"Bukan kamu doang yang cocok, Zara. Sama aku juga cocok kok!" timpal Serina yang tadi juga ingin tahu umur Ardian. Gadis itu pun ikut mengulurkan tangan seperti Zara.
Hal itu lantas membuat Ardian tersenyum. Meski sebagian karyawan lain menyoraki Zara dan Serina. Dua karyawan yang sepertinya paling muda di divisi tersebut.
"Hei! Kalian ini pada ribut ngerasa cocok, emang yakin kalo Mas Ardian masih single? Secara usianya udah dewasa dan matang!" Salah seorang karyawan laki-laki yang tidak ikut nimbrung bersama para perempuan, nyeletuk dari arah meja kerjanya.
Sontak saja hal tersebut membuat dua perempuan yang tadi berebut merasa cocok, terdiam membeku.
"Eh, iya. Mas Ardian ini udah punya pacar, istri atau single?"
Pertanyaan yang terlontar dari mulut Zara adalah pertanyaan sensitif yang jarang orang mau jawab. Terlebih usia Ardian sudah sangat cocok membina biduk rumah tangga. Tapi, lelaki itu sepertinya malah iseng menggoda dengan melemparkan teka teki.
"Menurut kalian, saya masih single atau sudah ada pawangnya yah?"
Seketika para karyawati itu ribut mendiskusikan pertanyaan dari Ardian. Membuat Mufi berinisiatif untuk menyudahi acara perkenalan tersebut dan memilih mengajak Ardian menemui Dinar.
"Sudah, sudah! Sampai di sini dulu acara perkenalan karyawan baru. Untuk pertanyaan lainnya yang lebih pribadi, kalian bisa tanya langsung saat jam istirahat. Sekarang aku harus bawa Ardian menemui Bu Dinar. Untuk kalian, silakan lanjutkan pekerjaan yang belum selesai."
Seketika semua karyawan bersorak protes. Mereka kecewa sebab merasa belum mendapatkan info apapun tentang kepribadian Ardian.
Namun, mereka memilih menuruti apa kata Mufi. Karyawan senior yang bisa saja membuat pekerjaan mereka tamat jika bertingkah macam-macam. Pengaruh dan kedekatannya dengan Dinar —sang manajer, membuat wanita itu disegani.
"Ayo! Aku harus membawa kamu kembali menemui Bu Dinar," ucap Mufi menatap Ardian.
"Baik, Mbak."
Lagi-lagi Ardian lupa mengenai panggilannya kepada Mufi.
"Eh, iya. Maaf," ucap Ardian saat melihat tatapan protes dari sang senior.
Keduanya pun lalu berjalan memasuki ruangan Dinar. Melewati meja Zara, gadis itu seolah mengambil kesempatan untuk maju satu langkah.
"Mas Ardian, nanti istirahat bareng aku aja. Sekalian kita office tour termasuk nunjukin di mana letak kantin kantor."
"Zaraa!" seru Mufi dengan tatapan mata seolah ingin membunuh.
"Hehe, iya, Mbak. Maaf. Namanya juga usaha!"
"Ck, maaf yah, Ardian. Divisi kita memang karyawannya seperti ini. Ritme kerja dan tugas yang sulit, membuat mereka melampiaskan dengan sikap dan tingkah yang konyol di keseharian mereka. Ngilangin stres gitu deh!" ujar Mufi seraya membuka pintu ruangan setelah sebelumnya mengetuk untuk izin masuk.
"Enggak apa-apa. Saya ngerasa enjoy kok. Kayanya mereka seru-seru. Saya jadi kebawa muda lagi," kekeh Ardian sambil mengikuti langkah Mufi di belakang.
Interaksi akrab yang Ardian dan Mufi tunjukkan, ternyata tak luput dari tatapan seorang wanita yang saat ini sudah memasang ekspresi dingin.
Ia adalah Dinar. Di kursi kebesarannya, wanita itu yang terlihat mengenakan kaca mata bacanya, menatap diam dua karyawan tersebut.
"Apakah saya tidak salah melihat, dua orang yang baru saling mengenal sudah terlihat akrab satu sama lain. Apakah ini berita bagus atau buruk?"
"Eh, maaf, Bu Dinar." Mufi tampak canggung. Namun, tidak dengan Ardian yang malah tersenyum menatap sosok perempuan yang kecantikannya tertutupi oleh topeng dari sikap dingin dan judesnya.
"Apakah Ibu sedang cemburu?" celetuk Ardian yang untuk kedua kalinya di hari itu membuat Mufi melongo saking terkejutnya.
***