Tidak Mengenal

1109 Kata
Ardian sepertinya sangat sadar ketika Dinar menandainya karena ulah yang ia buat. Melontarkan clue-clue yang membuat Mufi —salah satu staf Dinar, curiga mengenai hubungannya keduanya yang dicurigai sudah saling mengenal sebelumnya. "Benarkah Ibu enggak kenal sama Ardian sebelumnya?" tanya Mufi akhirnya di sudut kantin ketika keduanya menikmati santap makan siang bersama. "Kenapa kamu tanya hal itu?" Entah sekuat apa Dinar menutupi perasaan deg-degannya sekarang karena takut bila hubungannya dengan Ardian terbongkar. "Ya, habis aku lihat sikap Ardian kaya yang santai gitu sama Ibu. Aneh aja lihatnya." Ardian benar-benar sudah berhasil membuat Dinar jengkel. Terlihat jika lontaran kata yang lelaki itu lakukan ketika perkenalan pertamanya pagi tadi, mudah dilihat oleh seorang Mufi. "Kalau pun ada juga enggak kali, Bu." Mufi kembali bicara, tetapi langsung dibalas oleh Dinar cepat. "Mana ada. Ardian murni masuk ke perusahaan ini melalui jalur mandiri, enggak ada sangkut pautnya sama orang dalam. Apalagi kalau dihubung-hubungkan sama aku." Mufi tampak melongo setelah mendengar ucapan Dinar. "Yang bilang Ardian masuk karena orang dalam siapa? Lagian, aku juga enggak ngebahas masuknya dia di sini 'kan, Bu. Aku cuma nanya, apakah Ibu dan Ardian udah saling kenal sebelumnya, gitu." "Enggak. Aku enggak kenal sama sekali sama dia." "Oh, ya udah. Cukup itu aja kok jawabannya," sahut Mufi yang kemudian tersenyum, semakin curiga. Dinar pun memalingkan wajah. Ia enggan melihat Mufi yang kini terlihat tersenyum sembari menatapnya. Mufi adalah karyawan senior di perusahaan tersebut. Masa kerja yang sama dengan Dinar, tetapi beda kredibilitas dan keberuntungan —tentu saja, membuat sosok Mufi tertinggal dibanding Dinar yang akhirnya bisa memegang jabatan sebagai manajer keuangan. Untuk itulah, kedekatan mereka sebab masa berinteraksi yang cukup lama, membuat Dinar dan Mufi terkadang tak segan untuk saling berbagi cerita satu sama lain. Meski bukan sebagai pasangan sahabat, keduanya kerap saling bertukar pikiran sejauh masih berhubungan dengan urusan kantor. Di luar urusan tersebut, Dinar seolah enggan berbagi apapun tentang kehidupannya. Untuk itulah, Dinar sedikit enggan bercerita pada Mufi mengenai perkenalannya dengan Ardian yang cukup ekstrim bila diceritakan. Bisa-bisa perempuan yang sudah berkeluarga itu jatuh pingsan bila tahu pertemuan pertama Dinar dengan lelaki yang saat ini duduk di meja tengah kantin sembari dikerubungi beberapa karyawan perempuan yang ingin mengajak berkenalan. Di saat Dinar masih sibuk menikmati soto ayam, menu makan siangnya, juga Mufi yang masih menatap curiga sang atasan, tiba-tiba terdengar ponsel Dinar berdering. Pandangan Dinar pun teralihkan. Ia melihat nomor seseorang yang dikenalnya tertulis di layar ponsel. "Ya, hallo!" sapa Dinar pada seseorang di seberang panggilan. "Apa kamu bilang? Maaf?" Tiba-tiba Dinar berkata cukup keras. Suara yang mampu membuat beberapa karyawan di dekatnya menoleh sebab kaget, termasuk Ardian yang juga ikut menengok saat suara Dinar menyita pendengaran beberapa orang, nyatanya tidak perempuan itu pedulikan. "Tak akan ada maaf untuknya. Meskipun lelaki itu bertekuk lutut di bawah kakiku, aku sama sekali enggan memaafkan. Asal kamu tahu, bagiku itu adalah sebuah tindakan pidana yang bisa saja aku bawa ke jalur hukum." Sejenak Dinar terdiam. Begitu juga Mufi yang ikut diam demi mendengarkan percakapan yang terjadi antara Dinar dan entah siapa di sana. "Toni itu laki-laki b******k. Jadi, aku minta kamu jangan ngebela dia terus, Ri!" Setelah berkata demikian, Dinar pun memutuskan panggilannya. Wajahnya terlihat begitu kesal dan emosi. Hilang sudah selera makannya usai mendapat panggilan dari Riri, teman satu kuliahnya dulu, yang kemarin juga ikut reuni hingga insiden tak mengenakan yang menimpa Dinar terjadi. "Ada apa?" tanya Mufi penuh kehati-hatian. Dinar menengok sang kawan. Terlihat ia menghela napas seperti ingin menenangkan hatinya yang mendadak emosi. "Enggak apa-apa." "Enggak ada apa-apa, tapi kenapa tensi kamu tiba-tiba naik?" Dinar tahu responnya saat menerima panggilan dari Riri tadi sangatlah berlebihan. Sehingga membuat beberapa orang di ruang kantin tersebut memandang heran padanya, termasuk Mufi. "Kalo aku enggak cerita, kamu enggak marah 'kan, Fi?" Mufi bereaksi tertawa. "Ya, enggaklah. Santai aja kali. Aku cuma takut kamu kenapa-kenapa. Ya ... seenggaknya sebagai teman mungkin ada yang bisa aku bantu." Dinar tersenyum menanggapi ucapan Mufi. "Makasih, Fi. Sungguh apa yang aku lagi rasain sekarang, cuma sebuah aib yang enggak pantas orang lain tahu." "Iya, iya. Aku ngerti kok. Cukup biar kamu aja dan Tuhan yang tahu." "Makasih," jawab Dinar yang kemudian benar-benar menyudahi santap makan siangnya dan memilih untuk segera pergi. Perempuan itu sampai tidak menyadari ada sosok laki-laki yang terus mengawasi dan memperhatikan gerak-geriknya paska mendapat telepon dari seseorang. "Mas Ardian, udah punya pacar?" Tiba-tiba ada seorang karyawati yang terlihat masih muda, menanyakan hal paling privasi pada Ardian. "Eh, gimana yah? Pacar sih enggak punya," sahut Ardian dengan kalimat mengambang. "Tapi ...." Karyawati itu seolah tahu bila kalimat yang Ardian ucapkan belum selesai. "Tapi, kalo calon sih kayanya udah ada." "Kok kayanya? Yang jelas dong!" seru karyawati itu lagi. Beberapa teman di dekatnya pun memberikan reaksi yang sama. "Iya, kalo calon sih emang udah ada. Tapi, aku enggak tahu calonnya mau atau enggak sama aku." "Kalo ada perempuan yang nolak Mas Ardian, wah! Kayanya fix perempuan itu enggak normal." Respon si karyawati muda itu sontak membuat Ardian tertawa. Sungguh ia tidak menduga jika di hari pertamanya masuk kerja sebagai pegawai kantoran, ia bisa dengan mudah beradaptasi dengan para karyawan. "Haha, kamu bisa aja. Ya ... namanya selera orang 'kan beda-beda, enggak bisa dipaksain lah." "Memang iya selera orang itu beda-beda. Tapi, secara apa lagi sih yang kurang dari sosok Mas Ardian? Ganteng, baik, mapan. Apalagi coba?" Kalimat yang terlontar itu kembali membuat Ardian tertawa. "Mapan? Mapan dari mananya? Orang aku aja baru masuk kerja di sini." "Iya, setahu kita yang namanya pegawai kantoran itu disebutnya udah mapan. Secara gaji juga 'kan enggak main-main, apalagi kita kerja di perusahaan bonafit. Yang laba perusahaannya aja besar." "Sok tahu kamu!" "Yee, dibilangin. Ngomongin laba perusahaan itu udah kerjaan kita, Mas. Jadi, enggak usah heran kalo kita tahu poin itu." Ardian hanya tersenyum menanggapi kalimat-kalimat yang terucap dari teman-teman baru di depannya itu. Tidak perlu dijelaskan, pastinya Ardian tahu tentang deskripsi kerjanya sebagai salah satu staf divisi keuangan. Bukankah ia juga sudah mengerjakan salah satu tugas staf finance di hari pertamanya bekerja? Tapi, yang jadi pemikirannya sekarang adalah, bagaimana bisa ia dikatakan sebagai seseorang yang mapan hanya karena bekerja sebagai seorang staf divisi. Kalau memang ia termasuk salah satu orang beruntung itu, seharusnya tak ada pertimbangan lain dari Dinar untuk tetap memintanya bertanggung jawab bukan? Tapi ini 'kan tidak. Wanita itu justru malah seperti maju mundur setelah sebelumnya memaksa Ardian untuk tanggung jawab atas mahkota yang sudah direnggutnya. 'Aneh sekali. Kenapa wanita itu seperti tidak trauma dengan kesuciannya yang sudah aku ambil? Apakah fenomena demikian memang benar-benar terjadi, di mana keperawanan itu bukan lagi sesuatu yang istimewa?' batin Ardian teringat akan sikap Dinar yang kini santai sekali terhadap peristiwa bersejarah yang sudah terjadi pada mereka di weekend kemarin. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN