Awalnya Olive masih ragu untuk pulang ke rumah. Ia merasa tidak akan sanggup kalau menatap bundanya. Lalu ketika ia merasa ia harus bermain dengan pintar, Olive hanya mencoba meyakinkan dirinya untuk bermain drama. Olive menghela nafas berat saat mobilnya sudah masuk kedalam gerbang rumahnya. Rumah berukuran besar bak istana, hasil keringat dari ayahnya.
“Tenanglah, jangan sampai ada emosi konyol. Sekarang belum waktunya, mungkin nanti” Dira mengingatkan Olive sebelum mereka turun dari mobil. Sekali lagi Olive menarik nafas dalam “Yaudah. Yuk masuk” Olive dan Dira masuk kedalam rumah. Jika biasanya Olive berteriak girang seperti ‘bunda emak-emak muda, Olive pulang’, sekarang ia hanya diam. Mendadak suasana rumah bagaikan rumah hantu untuk Olive.
“Olive, udah pulang. Bunda telfon kenapa nggak diangkat, malah kirim pesan doang” Rosa langsung mengomeli anaknya, merasa khawatir jika terjadi sesuatu pada anak perempuannya. “Hai tante” sapa Dira, disambut dengan senyuman hangat oleh Rosa “Kalian udah makan siang?” tanya Rosa.
“Nanti ya bun, Olive mau mandi dulu” ucap Olive berusaha sebaik mungkin bersikap tenang. Padahal hatinya sudah memberontak. Ia melihat bundanya dari ujung rambut hingga kaki, seluruh tubuh itu sudah disentuh oleh kekasihnya. Bayangan bagaimana bergairahnya sang bunda dan Egit muncul tanpa diminta dalam fikiran Olive.
“Yaudah, habis mandi makan yah.” Ucap Rosa. Olive mengangguk pelan dan berlalu pergi. Dira hendak menyusul namun Rosa menahan tangan Dira “Ra, ada masalah ya?” tanya Rosa sedikit tidak tenang. Dira pun jauh lebih resah dari Olive, ia tidak bisa menerima kenyataan itu. Lihatlah bagaimana Rosa memberikan perhatian pada Olive, kehangatan yang kental dari seorang ibu. Seperti mimpi rasanya jika hal kotor itu sanggup dilakukan oleh Rosa.
“Masalah maksudnya tan?” jawab Dira balik bertanya. Rosa tersenyum “Iya, tumben Olive nggak nelfon tante dulu kalau mau nginap dirumah kamu.” Ucap Rosa. Hati Dira berdesir tidak karuan “Ahh, iya Dira nggak sadar tan. Pas Olive bilang mau cari skincare dulu, eh handphonenya ketinggalan dirumah. Tu anak saking polosnya ngira handphonenya hilang tan, dia nyari dong sampai malam. Pas dia balik lagi buat mastiin di apartemen, yaudah aku suruh dia nginep aja” Dira mengarang alasan.
“Aduh, emang kebiasaan dia lupaan. Yaudah kamu susul dia gih, habis itu makan siang disini aja ya” Rosa menepuk hangat pundak Dira. Langkah kaki Dira berjalan dengan cepat menuju kamar Olive. Ia mendapati Olive sedang termenung didepan jendela kamarnya yang sengaja dibuat lebar. Olive duduk sembari menekukkan kakinya.
“Olive, gue tadi kasih alasan sama bunda lo gini…” Dira menjelaskan alasan yang ia karang. “Iya, gue ngerti” ucap Olive singkat. Matanya masih menatap kosong keluar jendela “Lo udah selesai mandi?” Dira mencari topic obrolan. Olive menggeleng pelan “Nggak mood” jawab Olive. Dira mendesah berat “Jangan gini dong. Ntar kebaca kalau lo lagi ada masalah. “ ucap Dira cemas.
“Apa yang lo rasain pas liat bunda?” Olive memutar badannya menatap Dira lekat. Suasana yang begitu sesak tercipta diruangan kamar yang luas itu “Ya gimana. Cuman nggak nyangka aja” jawab Dira. Sudut bibir Olive terangkat “Kalau gue sih benci banget rasanya” ucap Olive dalam nada suaranya yang dalam.
“Dia bunda lo Liv. Mau lo sebenci apapun juga, sekecewa apapun.” Dira masih mencoba untuk melihat sisi positif dari Rosa. Mengingat perhatian Rosa pada Olive sebagai seorang ibu bukanlah sesuatu yang dibuat-buat.
“Kalau dia bunda, dia nggak akan tidur sama pacar anaknya. Ngeliat bunda aja gue udah langsung down, nggak mood mau ngapa-ngapain. Gimana liat kak Egit?. Lo tau nggak Ra?. Sempat terlintas di benak gue, kalau gue nggak bisa dapat kerja, gue bakal nikah aja sama kak Egit. Tapi ternyata semesta itu memang baik yah, ngebuka topeng yang tebalnya melebihi baja” raut wajah Olive datar.
Saat mereka ngobrol hal yang rasanya tidak bosan untuk dibahas, tiba-tiba saja Egit masuk kedalam kamar Olive “Sayang? Kamu kok nggak ngabarin sih” protes Egit. Dira beranjak menuju sofa sementara Egit sudah duduk didepan Olive. Awalnya Olive menundukkan kepalanya, matanya tidak sanggup menatap Egit, namun dengan manisnya Egit mengangkat dagu Olive dan membuat Olive menatapnya “Kenapa? kok mukanya ditekuk gitu?” tanya Egit perhatian.
Dari kejauhan Dira menutup kedua wajahnya, ia tidak tahan melihat Olive yang kini tengah menahan diri. Ia bisa merasakan getaran air mata dari Olive yang saat ini Olive berusaha menyembunyikan air mata itu dibalik bendungan di sudut matanya.
“Dira?Olive kenapa sih?” tanya Egit. Dira mengedikkan bahunya sembari menggelengkan kepalanya. Ia berpura-pura melihat handphonenya daripada emosinya kelepasan. “Kak Egit, aku baik-baik aja, Cuman agak lelah aja” ucap Olive mulai memberanikan diri. Matanya lekat menatap mirror mata Egit. Mereka bilang, jika dalam tatapan mata kekasihmu ada pantulan dirimu, itu berarti dia sangat mencintaimu.
“Kecapean gimana?. Bunda bilang kamu nyari-nyari handphone ya? padahal ketinggalan dirumah Dira. Capeknya karena itu?” tanya Egit mengelus pucuk kepala Olive. Dengan berat hati Olive menganggukkan kepalanya, mengikuti permainan yang bahkan belum jelas ujungnya.
“Yaudah, makan yuk. Kamu udah pucat gini wajahnya” Egit menggengam tangan Olive. Tubuh Olive bergetar dari dalam,ditatapnya tangan kekar Egit yang memegang tangannya, Olive teringat saat itu kedua tangan Egit terlihat asik bermain dengan gairah itu. “Aku mau mandi dulu” Ucap Olive melangkah menuju kamar mandi. Olive menutup rapat pintu kamar mandi, ia menyalakan shower dan mengguyur tubuhnya masih dibalut baju dibawah shower itu “Jijik, aku jijik, JIJIKKK” ucap Olive menyapu tangannya dari guyuran air.
Egit menghampiri Dira, ia masih tidak tenang “Ra, Olive sakit ya? tapi badannya nggak panas. Dia kenapa sih? Mata dia rasanya sembab deh” tanya Egit. Dira mendesah berat “Iya dia kecapean kak. Kan kemaren dia muter-muter nyari Hanphonenya. Kakak lupa kalau kemaren juga agak gerimis, jadi ya mungkin sekarang dia rada nggak enak badan” Dira terlalu malas untuk menatap wajah Egit, tapi ia terpaksa ngobrol kalau bukan karena situasi.
*****
“Tante yakin nggak mau makan nih, enak loh menu makan siangnya” tanya Egit. Rosa sengaja tidak makan siang karena sebelumnya ia sudah makan terlalu banyak, ia hanya ingin menjaga bentuk tubuhnya. Hanya Dira, Olive dan Egit yang makan.
“Iya, Tante udah kenyang. Tante suruh si bibik masakkin menu kesukaan Olive, soalnya Olive keliatan nggak enak badan kan. Kamu baik-baik aja kan sayang?” Rosa mengelus pundak Olive. “Iya bun, Olive nggak kenapa-kenapa ih. Hmmm Kak Egit tau aku udah pulang dari bunda ya?” tanya Olive.
“Iya, untung bunda kasih tau” Egit tersenyum. Olive membentuk garis tegang diwajahnya “Kenapa nggak hubungin aku aja?. Sejak kapan bunda kasih tau apa-apa sama Kak Egit?” tanya Olive kesal. Dira berhenti mengunyah, ia merasa cemas kalau sahabatnya itu kelepasan emosi
“Ya soalnya kamu nggak angkat telfon kan. Tadi pagi aku coba telfon kamu lagi tetap nggak diangkat. Bunda tau aku cemas, dia langsung ngabarin lah” jawab Egit. Olive menganggukkan kepalanya “Oh, gitu” jawab Olive dan kembali menyuap makanannya.
“Kamu sih suka lupaan” tegur Rosa. Olive meneguk minumannya “Bunda, besok Olive udah mulai masukin lamaran. Olive mau tinggal di apartemen aja” ucap Olive tiba-tiba. Rosa, Egit dan Dira menganga mendengar itu. Mereka bertiga tau kalau Olive bukanlah tipe wanita yang sekuat itu, ia tidak pernah meninggalkan rumah selama ini.
“Ke..kenapa sayang?. Kok mendadak gini?” tanya Rosa merasa asing mendengar ucapan Olive. Egit yang juga tidak tenang ikut protes “Kamu mau tinggal di apartemen? . Kok nggak pernah bilang ada rencana kayak gitu sama aku sih?” tanya Egit.
Olive tersenyum tipis “Loh? bukannya itu bagus. Bisa bebas kan?” sindir Olive. Dira sudah panas dingin karena merasa khawatir, terlebih Dira sangat mengerti maksud ucapan Olive.
“Bebas gimana?” tanya Rosa. Olive kembali meneguk minumannya, ia meletakkan sendoknya pertanda kalau ia sudah selesai makan “Ya kapan lagi aku belajar buat mandiri bun, biar bebas aja gitu. Habisnya nggak pernah ninggalin rumah. Lihat Dira deh, dia aja brani kok tinggal di apartemen sendirian” Olive menjelaskan.
“Ya nggak bisa gitu dong, Dira kan udah biasa ngekos juga dulu nya” protes Egit. Dira ikut berbicara “Iya Liv. Lo jangan ngada-ngada ya. Iyakali lo berani sendirian. Lo itu udah terbiasa untuk selalu disediain, udah ada sendok emas dimulut lo. Jangan nyusahin diri lah” Dira ikut cemas untuk rencana sahabatnya itu. Pasalnya Olive dasarnya memang anak yang cengeng.
Olive berdehem “Yaudahlah, coba lihat nanti aja” Olive berlalu pergi. Egit yang masih tidak tenang menyusul Olive yang tengah melangkah menuju kamarnya. Egit langsung menarik tangan Olive dan menyandarkan tubuh Olive ke dinding saat sampai dikamar “Kamu buat rencana kayak gini kenapa?. Ada apa OLIVE?” Egit menatap lekat mata Olive.