Lagi-lagi mata mereka saling bertatapan dengan jarak yang cukup sempit. Selama enam tahun, cara Olive menatap Egit tidak pernah berubah, atau bahkan mungkin Olive tidak berniat untuk merubahnya. Namun hari ini, semua terasa berbeda. Olive hanya merasa hampa dari tatapan Egit “Kakak kok nanyanya gitu sih?. Emang aku nggak boleh punya rencana untuk hidupku sendiri?” tanya Olive.
Egit mendesah berat “Kamu nggak pernah bilang mau kayak gini sebelumnya. Selama ini apapun yang kamu mau, gimanapun keputusan kamu, pasti kamu kasih tau aku dulu. Ini ide siapa sih pakai acara mau tinggal di apartemen segala?” tanya Egit.
Olive mendorong d**a Egit menjauh darinya, ia berjalan mengambil cemilan di kulkas mininya, menyalakan Tv dan mulai menonton santai duduk di sofa. Egit tidak terima dengan sikap cuek Olive “Liv?, jawab dong. Aku salah nanya gitu sama kamu?” desak Egit. Olive memilih menatap layar Tv ketimbang wajah bermuka tembok milik Egit “Emang kenapa kalau aku mau coba mandiri?” jawab Olive balik bertanya.
“Kamu nggak kasian sama bunda sendirian dirumah?. Lagian kamu nggak biasa kan, kamu nggak kayak Dira” jawab Egit. Olive tertawa pelan, reaksi itu justru membuat Egit kebingungan “Ehh? kenapa ketawa?. Aku nggak lagi becanda ya” Egit duduk disamping Olive, menghalangi mata Olive yang menonton Tv.
“Ih, ganggu banget. Aku mau nonton kak” ucap Olive kesal. Egit mengambil remote dan mematikan Tv begitu saja “Kalau aku ngomong, hargain. Aku nanya kenapa kamu ketawa?” Egit memperlihatkan raut wajah tegasnya, hal yang sudah biasa ia lakukan jika ada perdebatan dengan Olive. Ia merasa sebagai seorang laki-laki, ia harus membuat Olive segan padanya, atau kalau memungkinkan Olive harus patuh padanya. Ia hanya ingin menjadi pria yang dihargai oleh wanitanya.
“Aku ketawa karena lucu aja kak, kamu segitu penasarannya kenapa aku punya rencana kayak gitu. Aku fikir kamu tu cemas sama aku kak, taunya malah cemas sama bunda. Kayak aku nggak mikirin bunda aja deh” Sindir Olive. Egit membeku untuk sejenak “Liv, kamu kenapa agak aneh gini sih?. Kamu sembunyiin sesuatu dari aku?” tanya Egit memastikan.
Olive memperlihatkan senyuman manisnya, ia mencubit pipi Egit gemas “Aduh sayang, aku nggak kenapa-napa. Gini yah, aku udah mau kerja nih, aku tu udah nggak punya papa. Kalau aku suatu saat nanti nggak punya bunda, terus mau sampai kapan aku jadi cewek yang manja?. Aku mau coba mandiri aja. Lagian aku tinggal di apartemen kan cuman nyobain, nggak pindah total dari rumah. Disini ada bik Surti, ada mang Ojak juga, ada mang Hen juga. Bunda nggak sendirian, nanti teman arisan bunda juga sering main kesini kan.” Olive menjelaskan.
“Ya tapi kamu nggak ngomong sama aku dulu, senggaknya kasih tau aku kek. Aku pasti nggak akan kaget gini” Egit mencubit hidung Olive. Meskipun rasanya sesak Olive tetap bertingkah seperti dulu, hampir saja Egit mencurigai Olive.
*****
“Olive?. Kamu didalam nak?” Rosa masuk kedalam kamar putrinya, ia mendapati Olive sedang rebahan tengah mengenakkan masker Peel-off Mask diawajahnya. “Aku lagi maskeran bun” jawab Olive. Rosa menghampiri Olive yang sudah mengganti posisnya duduk bersila diatas kasur “Hmmm, bunda boleh nanya nggak?. Kamu beneran mau tinggal di apartemen?” Rosa memastikan.
Olive dengan mantap menganggukkan kepalanya “Rencananya iya bun, kapannya aku belum tau. Tapi nanti beliin dulu apartemennya, itu ditempat Dira masih banyak yang kosong. Pemandangan disana juga bagus” jawab Olive. Rosa menghela nafas berat “Yah, bunda kesepian dong dirumah” keluhnya. Olive tersenyum tipis, ia bergumam dalam hati ‘kesepian gimana, bunda lebih bebas dong’ gerutu Olive dalam hati.
“Aku bingung deh, bunda harusnya dukung aku dong udah mau coba mandiri, aku kan nggak pindah total. Pasti masih kesini dong, ini kamar istana aku bunda. Oh gini aja deh, bunda kesepian karena nggak ada teman?. Hmmm ini udah tiga tahun papa meninggal, bunda nggak dekat sama siapa gitu?” tanya Olive blak-blakkan. Rosa tertegun mendengar pertanyaan putrinya itu “Ha?. Maksud kamu?” tanya Rosa.
“Iya bunda kalau kesepian, yaudah aku siap punya papa baru” ucap Olive telak. Rosa menepuk jidatnya “Ya ampun Live. Kamu udah bikin jantung bunda maraton. Iyakali masih ada yang mau sama bunda sekarang, apalagi bunda punya anak cewek yang manja plus bandel kayak kamu” Rosa mencubit pinggang Olive.
“Aduhh,bunda, aku nggak becanda ih” keluh Olive merasa perih dipinggangnya. Rosa mengangkat tangannya, dan mengibas-ngibaskan tangannya di udara “Nggak gitu konsep kesepian yang bunda maksud Olive, tapi kan kalau kamu nggak dirumah lagi, bunda udah nggak bisa denger ocehan kamu. Siapa dong yang jadi lawan bunda buat berdebat” ucap Rosa
Olive berjalan menuju kaca dan membuka maskernya “Aku serius bun, kalau bunda emang mau nikah lagi nggak masalah. Asal pria itu bertanggung jawab, dan nerima aku sama bunda apa adanya, yang paling penting pria itu mapan dan dewasa biar nggak nyusahin bunda. Jadi kalau nanti bunda deket sama siapa gitu, kasih tau Olive yah” ucap Olive, jauh di dalam hatinya ia bergetar, ia bahkan tidak tau hubungan apa yang bundanya dan Egit miliki sampai mereka berani melakukan hal itu.
“Hmm udahlah godain bunda. Kamu juga kalau mau bikin rencana apa gitu obrolin dulu sama bunda, jangan langsung narik keputusan sendiri. Yaudah tidur gih, malam sayang” Rosa mengecup pucuk kepala Olive dan berlalu pergi. Olive memastikan Rosa menutup pintu rapat barulah Olive melepaskan air mata yang ia tahan “Gila gue, nggak bisa nih. Gue secepatnya harus pergi dari sini, sesak banget sumpah” gerutu Olive sendiri.
****
Dira menghela nafas berat tidak habis fikir dengan jalan fikiran Olive “Lo yakin?. Kenapa mendadak nggak mau ngelamar kerja?. Kenapa mendadak malah ambil alih anak perusahan papa lo?.” protes Dira membuka tutup limun dengan kasar, ia melampiaskan rasa kesalnya pada botol limun.
“Gue nggak bisa tidur semalaman karena mikirin ini, buat apa papa datangin guru les dari luar negri, dan ngajarin gue khusus buat bisnis dulunya, lagian itu perusahan juga diturunin buat gue kan. Gue juga punya nilai yang bagus, kenapa musti di sia-sian kan” ucap Olive,
Dira menyipitkan matanya, merasakan sedikit asam dari air limun yang ia minum “Bukan itu, tapi lo sendiri yang bilang nggak mau jadi atasan karena ngerasa kurang wow. Sekarang mendadak lo mau ambil alih, gue nggak ngeraguin kemampuan lo, jauh sebelum kuliah jamannya kita SMA lo udah bergaul sama anak pengusaha sukses dari luar negri karena papa lo. Tapi gue ngerasa ada udang dibalik bekicot. Jujur sama gue nona Olive, apa yang lo rencanain?” Dira menaikkan satu alisnya, menatap olive dengan tatapan intograsi
“Gue takut suatu saat gue bakalan jatuh Ra. Lo tau kan gue manja banget, gue harus punya pegangan. Gue nggak tau apa yang bakalan terjadi lagi sama hidup gue. Jadi gue mikir kenapa gue nggak manfaatin kesempatan yang ada, selama ini gue taunya bunda bakalan selalu jadi bunda, dan kak Egit yang jadi tiang buat gue berdiri. Ternyata bener, sesakit apapun itu dunia, seperih apapun cobaan semesta cuman kita yang bisa ngerti diri sendiri” Olive menekuk wajahnya.
“Haaah” Dira menghela nafas panjang, ia mulai mengerti tujuan Olive sekarang. Dira membuka jendela apartemennya lebar agar udara segar masuk, berharap Olive merasa tidak sesak dengan dunianya lagi “Gue bakalan tetap ada disamping lo Liv. Sekalipun gue nikah, punya anak, punya cucu ampe batu nisan sekalian gue tetap ada buat lo” Dira tersenyum jahil.
“Hahaha, iya deh gue percaya. Eh hari ini kak Egit ngajakin gue nonton” Olive teringat akan janjinya, ia merogoh ponsel dari dalam sakunya, bertepatan dengan itu Egit sudah mengirim pesan kalau ia sudah dijalan untuk menjemput Olive di apartemen Dira “Orangnya udah mau jalan kesini,” Olive tersenyum hambar.
“Hmm Liv? gue boleh nanya nggak?. Untuk sekarang jauh dilubuk hati lo nih, pokoknya lo musti jujur sama perasaan lo sendiri, apa yang lo rasain buat kak Egit sekarang?. Apa lo masih cinta?, suka? Atau sayang?. Hati sama fikiran lo musti jawab yang sama ya?” tanya Dira. Olive mendesah berat “Hmm gimana ya, ngelupain nggak segampang itu kan Ra” jawab Olive
“Gue nggak nanya usaha lo untuk melupakan, tapi perasaan elo setelah dikecewakan separah itu. Apa Liv yang lo rasain?” Dira memperjelas pertanyaannya, sementara yang ditanya mendadak membeku dengan bibir yang bungkam.