Gajian

1943 Kata
Tidak terasa sudah sebulan Amel bekerja di resort. Awalnya memang terasa berat, akan tetapi lama-kelamaan dirinya mulai terbiasa dan sudah tidak terlalu canggung lagi saat berhadapan dengan tamu yang datang.  Sejak insiden tamu yang marah-marah, Amel selalu ditugaskan bersama Mila atau Desi. Keadaan itu tentu saja sangat menguntungkan dirinya, karena mereka berdua benar-benar sangat membantu dan selalu memberi pengarahan, hingga Amel sekarang benar-benar hampir menguasai semua tugas seorang resepsonis. “Mel, kamu dipanggil sama Pak Teddy,” ujar Mila memberitahu. “Saya? Ada apa ya?” tanya Amel sedikit khawatir. “Datengin aja dulu, nggak usah takut kalo kamu nggak bikin salah,” sahut Mila. “Iya Mbak. Kalo gitu saya pergi dulu ya.” Dengan terpaksa, Amel berjalan meninggalkan resepsionis menuju ke bagian belakang menuju ke ruangan Teddy. Tiba di depan ruangan Teddy, Amel selalu menahan tangannya sendiri saat akan mengetuk pintu. Dia merasa takut dengan apa yang akan dihadapi di dalam.  Selama ini, Amel tidak pernah berhubungan langsung dengan Teddy. Segala tugas ataupun pengarahan, dia terima langsung dari Mila ataupun Desi. Akhirnya sambil mengembuskan napas, Amel mengetuk pintu ruangan Teddy. “Masuk!” ujar Teddy dari dalam. Amel membuka pintu dan melongokkan kepala dari pintu. “Bapak manggil saya?” tanya Amel. “Oh kamu Mel, sini masuk,” sahut Teddy ramah. Amel masuk ke dalam ruangan dan berjalan menuju ke meja kerja Teddy. Dia berdiri dengan gelisah menunggu apa yang akan dikatakan oleh atasannya itu. “Duduk Mel,” ujar Teddy. “I-iya Pak,” sahut Amel. Amel menarik kursi dan duduk di hadapan Teddy. Dia mengepalkan kedua tangannya di bawah meja. “Ada apa Pak?” tanya Amel gugup. “Kenapa muka kamu tegang begitu?” tanya Teddy geli. “Keliatan ya Pak?” sahut Amel sambil meringis malu. “Tenang aja, saya manggil kamu ke sini karena mau kasih ini buat kamu,” ujar Teddy sambil menyerahkan amplop putih pada Amel. “Ini apaan ya Pak?” tanya Amel bingung. “Buka aja dan liat sendiri.” Perlahan Amel membuka amplop dan terkejut saat melihat isinya. Pelan-pelan Amel menghitung jumlah uang yang ada di dalam. “Ini apaan Pak?” tanya Amel  “Itu gaji kamu Mel,” sahut Teddy. “Kan sesuai perjanjian, kamu sama Jonathan akan mendapatkan bayaran karena sudah bekerja di sini,” “Iya Pak, saya juga tau, tapi ini banyak banget,” sela Amel. “Lho wajar kan, karena sesuai penilaian dari Mila dan yang lain. Kamu itu kerja dengan sungguh-sungguh dan mau belajar serta nggak segan buat bantu yang lain, walaupun itu bukan tugas kamu.” “Oh …, gitu ya,” gumam Amel. “Tapi Pak, ini beneran nggak kebanyakan?” Teddy tertawa mendengar pertanyaan gadis di hadapannya. Saat pertama kali bertemu, dia menganggap Amel hanyalah seorang gadis cantik yang manja dan tidak bisa melakukan apa-apa. Yang datang ke tempat ini karena ingin berdekatan dengan Jonathan, anak pemilik resort dan akan menyulitkan dia dan semua pegawai di sini dengan semua rengekan dan mungkin keegoisannya. Namun, seiring berjalannya waktu, semakin mengenal Amel, Teddy merasa malu dengan pemikirannya di awal. Ternyata Amel tidaklah seburuk dugaannya. Gadis ini mampu beradaptasi dengan baik, bahkan mampu melakukan tugas yang diberikan dengan benar. Wajar jika di awal melakukan kesalahan. Dan yang lebih membuat Teddy kagum, Amel ternyata bukanlah seorang gadis sombong.  Perlahan, Teddy mulai menyayangi Amel. Bukan perasaan sayang terhadap lawan jenis. Dia mulai menganggap Amel seperti adi perempuan yang tidak pernah dimiliki. Teddy selalu memantau Amel dan berusaha menjaga gadis itu supaya tetap aman dan baik-baik saja, tanpa ada yang mengetahuinya. “Itu sesuai dengan kinerja kamu Mel. Dan andai setelah kamu lulus dan mau kerja di sini, saya akan usahakan.” “Kalo gitu makasih Pak,” sahut Amel. “Tadinya saya pikir mau dimarahin karena bikin salah,” lanjut Amel yang merasa sangat lega. “Selama kamu nggak bikin salah, kenapa mesti takut?” ujar Teddy. “Iya Pak, tadi Mbak Mila juga bilang gitu. Kalo gitu saya udah boleh keluar?” “Silakan. Dan selamat bekerja kembali.” Amel bangkit dari kursi, dan setengah berlari dia keluar dari ruangan Teddy menuju ke ruangan Jonathan untuk memberi tahu sahabatnya mengenai gaji yang didapatkan. Namun, pemuda itu ternyata sedang berada di luar. Akhirnya Amel kembali ke tempatnya untuk kembali bekerja. “Kamu gapapa Mel?” tanya Desi saat Amel tiba di resepsionis. “Gapapa Mbak,” sahut Amel sambil tersenyum lebar. “Kenapa kamu dipanggil?” tanya Mila penasaran. “Dipanggil karena ini Mbak,” sahut Amel sambil menunjukkan amplop miliknya. “Apaan itu?” tanya Desi. “Gaji pertama saya,” sahut Amel. “Wah …, berarti bakal ada traktiran dong nih,” ujar Mila sengaja menggoda Amel. “Iya Mbak, saya sih oke aja. Kapan Mbak Mila dan Mbak Desi ada waktu? Kita pergi berempat sama Jojo,” sahut Amel. “Eh, aku bercanda lho,” sahut Mila tidak enak hati. “Serius juga gapapa kok. Mbak Mila dan Mbak Desi kan udah banyak bantuin saya,” sahut Amel. tulus. “Beneran nih Mel?” tanya Desi. “Hm,” sahut Amel sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Asik,” ujar Mila dan Desi sambil tertawa lebar. *** Selesai bekerja, Amel bergegas ke kamarnya untuk berganti pakaian dan sepatu. Setelah itu dia pergi ke pantai untuk menikmati saat matahari terbenam dan juga menunggu Jonathan. Tadi Amel sudah mengirim pesan pada Jonathan dan meminta sahabatnya untuk menemui dirinya di pantai setelah pemuda itu selesai bekerja. Setelah tugasnya selesai, Jonathan bergegas mendatangi Amel setelah membaca pesan dari gadis itu. Setengah berlari Jonathan menuju ke pantai, karena tidak ingin membuat Amel menunggu terlalu lama. Dia melihat Amel duduk di pinggir pantai dengan rambut yang dibiarkan tertiup angin. Sejenak, Jonathan terdiam memandangi Amel. Kemudian, dia mengeluarkan ponsel dan mengambil foto Amel. Setelah itu, barulah dia kembali berjalan menghampiri sahabatnya. “Kenapa kamu suka banget duduk di sini?” tanya Jonathan sambil duduk di samping Amel. “Nggak tau Jo. Gue tuh kayak yang kena sihir kalo liat langit mulai berubah warna jadi merah. Kayak yang romantis banget,” sahut Amel sambil terus menatap langit yang kemerahan. Jonathan tersenyum mendengar perkataan Amel. Perlahan Jonathan mengulurkan tangan, membetulkan rambut gadis itu yang berantakan karena hembusan angin. “Coba gue bisa tinggal di deket laut, pasti seneng banget,” gumam Amel. “Sejak kapan kamu suka sama laut? Seinget aku kamu dulu nggak segininya.” “Sebenernya sejak kecil gue suka banget sama laut. Tapi sejak insiden Brenda, mama jadi nggak mau lagi liburan ke pantai, padahal Brenda nya sendiri udah gapapa.” “Wajar Mel, namanya orang tua kan,” sahut Jonathan. “Iya sih, cuma kan semua yang kena imbasnya,” sahut Amel. “Udah ah, gue mau ngeliatin matahari masuk dulu ke laut.” Untuk sejenak, mereka berdua duduk diam menikmati saat matahari terbenam, yang terlihat begitu indah. “Ngomong-ngomong, kenapa mau ketemu aku di sini?” tanya Jonathan. “Oh iya, sampe lupa kan,” sahut Amel. “Besok kita pergi makan di tempat yang waktu itu yuk. Gue yang traktir.” “Tumben amat? Ada apaan emangnya?” tanya Jonathan sambil merebahkan diri di atas pasir. “Tadi gue gajian, emang elo nggak?” ujar Amel sambil merebahkan diri juga di samping Jonathan. “Belum aku ambil.” “Kenapa?” “Belum perlu aja. Aku bilang sama Mas Teddy buat disimpen dulu aja sama dia. Nanti kalo aku perlu, baru diambil.” “Ya udah, besok pergi sama gue ya, mau?” “Hm.” “Bener? Tapi Mbak Mila sama Mbak Desi juga ikut. Elo nggak masaalah kan?” “Hm.” “Serius lo? Tumben banget nggak nolak,” ujar Amel sambil duduk dan menatap Jonathan. “Karena mereka berdua udah baik sama kamu, juga udah banyak ngajarin kamu.” “Oh …,” ujar Amel setelah mendengar penjelasan Jonathan. “Balik yuk Mel, aku cape,” ujar Jonathan. “Ayo. Gue mau mandi, makan, terus telepon mama.” Mereka berjalan bersisian menuju ke kamar sambil menjinjing sepatu dan membiarkan kaki mereka menginjak pasir. Setengah jam kemudian, Jonathan mengetuk kamar Amel yang langsung dibuka oleh gadis itu.  “Udah siap?” tanya Jonathan. “Hm.” “Ayo,” ujar Jonathan sambil menggandeng tangan Amel. Mereka berjalan menuju ke ruang makan khusus karyawan. Sepanjang jalan, Jonathan menikmati harumnya aroma sampo yang sejak dulu dia suka. Tiba di ruang makan, sudah ada beberapa karyawan lain yang sedang makan.  Amel dan Jonathan mengambil makanan secukupnya, kemudian duduk di salah satu meja. Mereka makan sambil mengobrol dan tidak mempedulikan tatapan karyawan lain yang memperhatikan. Selesai makan, Amel langsung kembali ke kamar. Dia ingin menelepon Laras dan menceritakan tentang gaji yang diterima. Amel duduk di tempat tidur dan menyalakan televisi. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Dia mengambil ponsel untuk melihat siapa yang menelepon dirinya, dan terlihat nama Ardian di layar. Tanpa berpikir panjang, Amel langsung menjawab panggilan pria itu. “Halo,” ujar Amel. “Apa kabar Amelia?” tanya Ardian. “Kabar baik.” “Kamu ada di mana? Tadi sore saya minta supir untuk mengantar hadiah buat kamu ke rumah, tapi kata mama kamu nggak ada di Jakarta?” Amel terdiam sesaat ketika mendengar pertanyaan Ardian. Dia bingung harus menjawab apa pada tunangannya yang bertanya keberadaannya. Namun, karena selalu dididik untuk selalu berkata jujur, akhirnya Amel mengumpulkan keberaniannya sebelum menjawab. “Eng …, aku lagi ada di Anyer,” “Ngapain di sana? Liburan? Sama siapa?” “Bukan!” seru Amel cepat. “Aku lagi kerja sambilan di resort temen, buat isi waktu sebelum kuliah, sekalian cari pengalaman.” “Oh …, bagus juga pemikiran kamu,” sahut Ardian. “Tapi temen kamu perempuan kan?” Deg! Amel langsung terdiam saat Ardian bertanya lagi. Semakin sulit bagi dirinya untuk menjawab. Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam pikirannya. Bagaimana jika Ardian marah? Bagaimana jika Ardian melarangnya berteman lagi dengan Jonathan. Bagaimana jika pria itu datang dan menjemput paksa dirinya untuk pulang ke Jakarta. “Amelia?! Kamu masih di sana? Kenapa diam?” “M-maaf,” sahut Amel panik. “Ada sesuatu yang kamu sembunyikan?” tanya Ardian datar. Sesaat Amel bergidik mendengar nada suara Ardian yang tiba-tiba berubah menjadi dingin dan sedikit mengerikan. Tiba-tiba rasa dingin muncul dan menjalar di sekujur punggungnya. Amel membayangkan wajah Ardian, dan itu semakin membuatnya takut.  “Nggak ada. Temen aku itu laki-laki, namanya Jonathan. Aku udah temenan sama dia sejak kecil, dan yang namanya Jonathan tinggal di sebelah rumah. Papa sama mama juga kenal kok,” ujar Amel berusaha untuk tetap jujur dan menerima konsekuensinya. “Oh …,” ujar Ardian. “Kenapa jawabnya begitu?!” tuntut Amel dengan berani. “Maaf. Tadi saya sempat berpikiran yang tidak baik,” sahut Ardian jujur. “Tenang aja,” sahut Amel. “Saya ini udah tunangan sama kamu, jadi nggak akan main mata sama yang lain!” lanjut Amel sedikit kesal. “Iya, maafkan saya. Kamu marah?” “Sedikit.” “Kapan kamu pulang?” tanya Ardian dengan nada lebih lembut. “Belum tau, mungkin bulan depan.” “Perlu saya jemput?” “Nggak usah. Saya pulang bareng sama Jojo,” sahut Amel cepat. Jujur saja, dia belum siap jika Jonathan tahu mengenai hal ini. Dan dia lebih tidak ingin jika sampai pegawai di sini melihat sosok Ardian, dan menjadi bahan omongan. “Baiklah. Kalo gitu saya tutup teleponnya. Maaf kalo sudah mengganggu.” Amel langsung memutus sambungan sambil mengerucutkan bibir. Rasa takutnya langsung hilang setelah tidak mendengar suara Ardian lagi.  “Nyadar juga kalo ngeganggu,” dengkus Amel sebal.  Hilang sudah niatnya untuk menelepon Laras. Dengan malas, Amel turun dari tempat tidur, berjalan ke kamar mandi untuk menggosok gigi. Setelah itu dia mematikan lampu dan memutuskan untuk tidur, dan membiarkan televisi tetap menyala.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN