Malam Terakhir

1966 Kata
Selesai mandi, Jonathan keluar dari kamarnya dan berjalan menuju tempat Amel. Dia ingin mengajak gadis itu menikmati keindahan pantai di malam hari sebelum pulang. “Mel?” panggil Jonathan sambil mengetuk pintu kamar sahabatnya. “Masuk aja Jo, nggak dikunci kok!” sahut Amel. “Mel, kamu udah selesai beberes?” tanya Jonathan saat membuka pintu kamar Amel. “Udah sebagian. Sisanya besok malem  aja. Elo?” “Udah semua.” “Wuih …, memang Jojo itu selalu sedia payung sebelum hujan,” ledek Amel. “Biar, siapa tau nanti harus pulang lebih cepat.” “Iya, iya. Elo itu kan Tuan Sempurna yang segala sesuatunya harus berjalan sesuai sama yang elo mau,” dumel Amel. “Bukan gitu Mel. Kalo udah beres kan udah tenang.” “Iya, iya …, gue bakal beberes sisanya sekarang,” ujar Amel seraya bangkit dari tempat tidur. Jonathan tertawa mendengar jawaban gadis itu. Besok adalah hari terakhir mereka bekerja di sini, karena lusa  mereka akan pulang ke Jakarta, mempersiapkan diri untuk kuliah. Dan besok malam, akan ada acara perpisahan dengan semua pegawai di sini yang akan dilakukan di ruang makan. Karena itulah, Jonathan meminta Amel untuk tidak menunda pekerjaan.  Tidak tertutup kemungkinan jika acara besok selesai larut malam, dan itu artinya Amel tidak memiliki waktu yang cukup untuk membereskan sisa barang. “Jalan-jalan ke pantai yuk,” ajak Jonathan. “Katanya gue disuruh beberes, sekarang malah diajakin jalan. Elo tuh gimana sih?!” “Sebentar aja, kan ini malam terakhir kita bebas. Besok belum tentu bisa.” “Iya juga sih,” gumam Amel. “Oke lah kalo begitu, mari kita ke pantai.” Amel meletakkan kembali baju yang sedang dilipat, kemudian mengambil ponsel dan menghampiri Jonathan. “Ayo!” ujar Amel sambil melangkah keluar kamar terlebih dahulu. Setelah Amel keluar, Jonathan mematikan lampu, mengunci pintu kamar dan berjalan bersisian dengan Amel meninggalkan bangunan asrama para pegawai.  Mereka keluar dari resort dan berjalan menuju ke pantai yang menyatu dengan resort. Kali ini mereka melangkah dengan pelan dan benar-benar menikmati malam dengan embusan angin yang terasa lebih dingin saat malam. “Gue pasti bakal kangen sama ini pantai,” ujar Amel. “Kan nanti pas magang bisa balik ke sini,” sahut Jonathan. “Iya juga sih. Cuma yang jadi masalah, bakal sama elo nggak? Kalo sendiri, rasanya pasti beda.” “Kenapa harus ada aku? Sendiri juga baik, kamu bisa belajar makin mandiri. Toh kamu udah kenal dengan semua yang ada di sini.” “Pokoknya kalo nggak sama elo, gue nggak mau!” Jonathan berhenti melangkah dan berpindah jadi berdiri di hadapan Amel. Dia memegang bahu gadis itu dan menatap dengan seksama sebelum berkata-kata. “Mel, kita kan nggak mungkin sama-sama terus kayak gini. Suatu saat kamu akan ngejalanin kehidupan kamu sendiri, begitu juga aku.” Mata Amel berkaca-kaca mendengar perkataan Jonathan. Tiba-tiba saja dadanya terasa sesak membayangkan hidupnya tanpa Jonathan di sisinya. “Jangan ngomongin yang kayak gitu Jo. Gue nggak bisa ngebayangin hidup gue tanpa elo. Gue selalu bermimpi, elo akan selalu ada sama-sama gue.” “Emangnya kamu mau nikah sama aku?” goda Jonathan. “Ya nggak tau. Cuma andai pun nanti elo nikah, gue berharap kita bisa terus temenan, malah kalo boleh tinggal sebelahan kayak sekarang.” Jonathan tertawa mendengar perkataan Amel yang begitu polos, dan selalu menggampangkan segala sesuatu.  “Yang ada nanti istri aku bisa cemburu sama kamu,” “Ya nggak bisa gitu dong! Istri elo harus bisa nerima keberadaan gue. Kan yang kenal duluan sama elo itu gue!” sahut Amel emosi. “Emangnya kamu pikir suami kamu bisa terima kalo istrinya selalu tergantung sama aku? Yang ada rumah tangga kamu bakal bubar jalan Mel.” Amel terdiam mendengar perkataan Jonathan. Pikirannya langsung melayang pada sosok Ardian dan membayangkan reaksi pria itu jika ada Jonathan yang menemani hari-harinya setelah menjadi istri Ardian. “Nggak tau ah! Pokoknya sekarang gue mau nikmatin saat-saat bisa sama elo titik!” ujar Amel dengan mata berkaca-kaca dan suara tercekat. Jonathan langsung menarik Amel ke dalam pelukannya dan membiarkan gadis itu menangis di dadanya. Sebenarnya dia pun tidak dapat membayangkan hidup tanpa Amel di sisinya. Namun, Jonathan harus bisa berpikir realistis dan tidak terbawa angan yang nantinya akan sulit digapai. “Sshh …, jangan nangis dong,” pinta Jonathan. “Jangan rusak suasana malam ini sama air mata.” “Kan elo duluan Jo yang bikin gue nangis,” sahut Amel. “Iya, aku salah. Maaf ya.” Setelah itu mereka memutuskan untuk melupakan percakapan tadi dan benar-benar menikmati malam di tepi pantai hingga menjelang tengah malam. “Balik yuk Mel, besok kan kita masih harus kerja,” ujar Jonathan sambil berdiri. “Tapi sebenernya gue masih mau di sini,” sahut Amel sambil ikut berdiri. “Besok nggak usah kerja aja lah.” “Mana bisa begitu, tugas ya tetep tugas,” ujar Jonathan tegas. “Lagian kamu mau gajinya dipotong?” “Ya jangan lah.”  “Kalo gitu kita pulang, bebersih dan tidur.” Jonathan menggandeng Amel kembali ke asrama dan menunggu sampai gadis itu sudah masuk ke kamar, barulah dia berjalan ke kamarnya sendiri.  *** Keesokan harinya, setelah selesai bekerja, Amel bergegas ke kamar, mengganti sepatu dengan sandal dan berlari menuju pantai. Dia ingin melihat matahari terbenam untuk yang terakhir kali sebelum kembali ke Jakarta besok. Tiba di tempat favoritnya, Amel duduk diam di atas pasir memandangi matahari yang sebentar lagi akan terbenam. Amel menahan napasnya saat langit berubah warna menjadi kemerahan dan matahari yang turun perlahan.  Jonathan juga datang ke pantai, akan tetapi sengaja tidak menghampiri Amel. Dia sengaja berdiri di belakang dan agak jauh dari tempat gadis itu. Jonathan juga ingin menikmati saat terakhir melihat Amel yang begitu cantik saat terkena sinar kemerahan saat senja.  Setelah matahari terbenam, Jonathan yang melihat gelagat Amel ingin beranjak, langsung berlari menjauh. Dia tidak ingin gadis itu mengetahui kehadiran dirinya.  Amel berdiri dan membersihkan pasir yang menempel di celana. Kemudian dia mengambil sandal, serta menjinjingnya sambil  melangkah dengan perlahan menikmati lembutnya pasir di kakinya sampai tiba di asrama. Sampai di kamar, Amel bergegas mandi dan bersiap-siap untuk ke ruang makan, berkumpul dengan para pegawai yang lain.  “Masuk aja Jo,” sahut Amel yang mengira Jonathan yang datang. Pintu terbuka dan tampaklah Teddy yang berdiri dengan sikap kikuk. “Lho Pak Teddy? Ngapain ke sini?” tanya Amel sedikit terkejut melihat kedatangan atasannya. “Boleh saya masuk?” tanya Teddy sopan. “Silakan Pak,” sahut Amel sembari berdiri dan menghampiri pria itu. “Ada apa ya Pak?” “Sebelumnya saya minta maaf jika sudah lancang datang ke sini,” ujar Teddy. “Saya mau kasih ini sama kamu.” Teddy menyorongkan sebuah kotak yang tidak terlalu besar pada Amel yang sudah berdiri cukup dekat dengannya. Amel hanya diam dan tidak bereaksi sedikitpun. “Kok nggak diambil Mel?” tanya Teddy bingung. “Ini apaan Pak?” tanya Amel yang tidak bergeming dengan kotak yang disodorkan Teddy. “Buka dan liat sendiri,” ujar Teddy. Amel bimbang untuk mengambil barang di hadapannya. Dia takut jika ada sesuatu di balik pemberian pria di hadapannya ini. Karena itu Amel tetap diam dan tidak mau mengambil hadiah yang disodorkan. Teddy yang tadinya bingung dengan sikap Amel, tiba-tiba saja mengerti mengapa gadis di hadapannya ini hanya diam. Karena itu Teddy buru-buru menjelaskan maksudnya memberi hadiah pada Amel. “Tolong jangan salah sangka dengan hadiah ini. Saya memberikan ini tulus dari hati karena saya sudah menganggap kamu seperti adik perempuan yang belum pernah saya punya.” Amel terdiam dan menyimak setiap perkataan Teddy. Setelah memahami maksud pria ini, hatinya langsung merasa lega. Ternyata dugaannya salah, dan wajahnya menjadi sedikit memerah. Perlahan, tangannya mengambil kotak  dari tangan Teddy dan membukanya dengan hati-hati. Di dalam ada sebuah bros berbentuk kerang yang sangat sederhana dengan sebutir mutiara kecil berada di tengahnya.  “Bagus banget …, tapi ini kenapa mesti ngasih ginian segala.” “Ini kenang-kenangan buat kamu. Dan untuk selalu kamu inget, kapanpun kamu ada masalah atau memerlukan bantuan saya, silakan telepon atau langsung datang ke sini.” “Makasih banyak Pak,” ujar Amel terharu. “Oh iya, mulai sekarang tolong jangan panggil saya bapak lagi.” “Terus manggil apaan dong?” “Kamu bisa panggil Kak, atau Mas seperti yang kamu lakukan ketika pertama kali datang ke sini.” “Wah, saya jadi nggak enak,” ujar Amel.  Teddy tertawa mendengar perkataan polos yang keluar dari bibir Amel. Dia pasti akan sangat merindukan kehadiran gadis ini dengan segala celotehannya yang polos. Awalnya gadis di hadapannya ini memang memanggil dirinya dengan sebutan Mas. Akan tetapi berubah sejak Amel mulai magang, karena merasa tidak enak dengan pegawai yang lain. “Sekarang kayaknya kita udah mesti keluar, karena sebentar lagi acara dimulai,” ujar Teddy. “Oke. Saya ambil hp dulu.” Amel bergegas mengambil ponsel dan berjalan mengikuti Teddy yang sudah menunggunya di depan kamar. Mereka berjalan bersama menuju ruang makan.  “Mel!” panggil Jonathan saat melihat gadis itu datang. Amel langsung meninggalkan Teddy dan menghampiri Jonathan yang akan mengambil makanan. “Kenapa nggak nungguin gue?!” protes Amel. “Tadi aku dijemput sama Irwan, dan nggak sempet ngabarin kamu. Maaf ya.” “Ya udah, gapapa,” sahut Amel. “Makan yuk, gue laper.” “Oke.” Amel dan Jonathan berjalan untuk mengambil makanan yang sudah tersedia di meja panjang. Malam itu mereka habiskan dengan mengobrol santai dengan semua pegawai yang ada, karena ini adalah malam terakhir mereka ada di resort. *** Paginya, sekitar jam delapan, Amel dan Jonathan sudah siap untuk pulang. Jonathan sedang memasukkan barang-barang ke dalam bagasi ketika Mila, Desi, Teddy, dan beberapa pegawai lain datang menghampiri. “Hati-hati ya Mel,” ujar Mila sambil memeluk Amel dengan erat. “Iya. Mbak juga sehat terus ya. Nanti kalo Amel libur, diusahain ke sini lagi.” “Bener ya Mel,” sela Desi yang juga merasa kehilangan. “Iya Mbak. Malah kalo perlu, nanti saya kerja di sini aja sekalian, biar bisa ngumpul lagi,” seloroh Amel. “Janji ya?!” ujar Mila. “Kalo memang ada jalannya Mbak.” Setelah puas berpelukan dengan Amel, Mila beralih kepada Jonathan yang sudah berdiri di samping sahabatnya. Mila mengulurkan tangan yang langsung disambut hangat oleh Jonathan. “Jo, nyetirnya hati-hati ya, dan titip Amel.” “Iya Mbak, tenang aja.” “Kamu juga kalo luang, main ke sini lagi.” “Siap Mbak.” Teddy pun mendekati Jonathan dan menyalami pemuda itu. Dia menjabat tangan Jonathan dengan erat dan penuh persahabatan. “Hati-hati, dan selalu jaga kesehatan,” pesan Teddy. “Siap. Mas juga ya, makan yang teratur.” Teddy tertawa mendengar teguran halus dari Jonathan. Kemarin ini dirinya sempat masuk RS karena sering terlambat makan dan mengakibatkan lambungnya mengalami masalah. “Titip Amel Jo,” bisik Teddy. Iya Mas. Kalo masalah itu nggak usah khawatir, tanpa diminta juga pasti saya jagain.” Semalam dirinya sempat mengobrol dengan Teddy. Jonathan sebenarnya tahu saat pria itu mendatangi kamar Amel, akan tetapi dia tetap diam hingga ada kesempatan untuk bertanya langsung dari Teddy. Setelah mengetahui alasan pria itu, Jonathan merasa lega. Usai berpamitan, Jonathan dan Amel meninggalkan resort dan kembali ke Jakarta. Jonathan sengaja mengemudikan mobil dengan kecepatan rendah, karena ingin memberikan Amel kesempatan memandangi laut yang masih membentang di sepanjang perjalanan hingga beberapa waktu ke depan. “Kamu berat ya ninggalin resort?” tanya Jonathan memecah keheningan. “Nggak juga,” sahut Amel singkat. “Terus kenapa mukanya sedih?” “Nggak nyangka aja mesti pulang, padahal rasanya baru kemarin dateng ke sini. Tapi emang bener sih, waktu nggak akan bisa keulang.” Jonathan tersenyum mendengar perkataan Amel. Dua bulan berada di sini, banyak perubahan positif yang terjadi dalam diri gadis itu. Amel menjadi lebih sabar, dan terdengar lebih dewasa saat berbicara. Dalam hati kecilnya, Jonathan merasa sangat puas dengan sosok Amel yang sekarang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN