Pesan Ancaman

1826 Kata
Amel tengah mengerjakan tugas kuliah yang harus dikumpul hari Senin besok saat ada panggilan masuk di ponselnya. Sambil tetap mengetik di laptop menggunakan satu tangan, Amel meraih ponsel di dekatnya menggunakan tangan yang lainnya, serta menjawab panggilan tanpa melihat nama yang tertera di layar. “Halo?” sapa Amel. “Selamat malam Amelia. Kamu sedang apa? Mengganggukah saya?” tanya Ardian dengan sopan. (“Tentu saja mengganggu,” jawab Amel dalam hati.) Namun, dia menjawab Ardian dengan sopan.  “Lagi ngerjain tugas.” “Oh ya, bagaimana kuliah kamu?” “Baik.”  “Ada yang perlu saya bantu?” “Nggak ada,” sahut Amel cepat. Amel tidak ingin semakin banyak memiliki hutang budi terhadap Ardian dengan menerima bantuan lebih banyak lagi. Suasana hatinya langsung memburuk ketika mendengar suara pria itu. “Amelia, tolong dengarkan saya, bisa?” tanya Ardian lembut. “Saya melakukan semuanya karena saya menyayangi kamu, dan ingin membuat kamu bahagia. Jadi tolong jangan tolak bantuan saya. Dan mengenai mobil, kenapa kamu nggak pernah pake?” “Gapapa,” sahut Amel. (“Siapa juga yang pengen make itu mobil,” gerutu Amel di hati.) “Saya memberikan itu supaya kamu bisa pergi bebas ke manapun kamu mau.” Sambil mendengarkan perkataan Ardian, Amel memikirkan bagaimana cara menyudahi pembicaraan yang sangat mengganggu dirinya. Tiba-tiba dia menemukan ide, dan langsung mengungkapkannya.  “Iya. Boleh teleponnya udahan dulu? Saya mau ngerjain tugas lagi.” “Oh, maaf mengganggu. Selamat malam Amelia. Jangan tidur terlalu malam.” Amel langsung memutuskan sambungan tanpa membalas ucapan selamat malam dari Ardian.  “Tapi gue nggak punya perasaan apapun sama elo,” gumam Amel sambil menitikkan air mata.  Amel mengembuskan napas, membuang rasa sesak di hatinya. Tadinya, dia sudah mulai bisa sedikit menerima kehadiran Ardian, terutama saat pria itu membantunya mendapatkan ijin untuk bisa kuliah di perhotelan. Namun, rasa itu langsung sirna saat mengetahui Ardian memberikannya mobil. Amel yang termenung sendirian sambil menatap lurus ke arah laptop,  tidak menyadari kehadiran Jonathan yang datang melalui balkon dan sudah berdiri di belakangnya. Sejak masuk, Jonathan mengerutkan kening melihat Amel hanya duduk diam dengan bahu yang terkulai lesu. Jonathan langsung mengetahui ada yang tidak beres dengan sahabatnya, karena dia sangat mengenal Amel. Perlahan, Jonathan membungkukkan badan untuk melihat wajah sahabatnya dari arah belakang. “Kamu nangis?” tanya Jonathan terkejut. “Nggak!” sahut Amel cepat sambil menghapus air matanya. “Jangan bohong! Kamu kenapa?” tanya Jonathan sambil berlutut di hadapan Amel.  Amel menundukkan wajah karena tidak ingin Jonathan melihatnya sedang menangis. Jonathan  mengangkat dagu Amel dan menatapnya dengan lembut sambil merangkum wajah gadis itu. “Kamu keliatan sedih dan tertekan,” ujar Jonathan. “Apa yang bikin kamu kayak gini?” “Gapapa Jo,” sahut Amel menundukkan wajahnya lagi, mencoba menghindari tatapan menyelidik sahabatnya. Jonathan mengembuskan napas mendengar suara Amel yang terdengar sedih. Hatinya terasa sangat nyeri sekaligus tidak berdaya.  “Kamu lagi ngerjain tugas dari Bu Leony?” tanya Jonathan mengalihkan pembicaraan Jonathan tidak ingin membuat Amel semakin merasa tertekan dan berusaha untuk menghibur gadis itu dengan caranya sendiri. Dan usaha Jonathan sedikit berhasil karena Amel menanggapi pertanyaannya. “Iya. Elo udah beres?” “Udah, mau liat?” Jonathan menawarkan bantuan seperti biasanya. “Nggak, gue bisa sendiri,” sahut Amel. Jonathan terdiam dan memikirkan cara membuat Amel kembali ceria dan melupakan apa yang sedang menjadi ganjalan di hati gadis itu.  “Cari makan yuk Mel, aku laper,” ujar Jonathan sambil bangkit berdiri. “Nggak ah, males.” “Kayaknya nasi goreng Mas Bejo enak deh,” gumam Jonathan sambil melirik Amel. Benar saja, kepala Amel langsung mendongak dan menatap Jonathan dengan mata sedikit berbinar.  “Kamu bener nggak mau?” tanya Jonathan pura-pura tidak melihat reaksi gadis itu. “Kalo gitu, aku pergi dulu.” Jonathan sengaja berjalan ke arah pintu kaca sambil menghitung dalam hati. Benar saja, belum sampai hitungan kelima, Amel langsung bersuara. “Gue ikut,” sahut Amel cepat. “Tadi katanya males,” goda Jonathan sambil menyembunyikan senyum. “Tiba-tiba laper,” sahut Amel asal. Jonathan tertawa mendengar jawaban Amel. Sahabatnya sangat menyukai mie goreng buatan Mas Bejo yang selalu berjualan di depan komplek setiap malam. Amel bukanlah seorang gadis pemilih dalam hal makan, dan tidak mempedulikan tempat selama itu enak. Dan itu adalah salah satu hal yang Jonathan suka dari Amel. “Ambil jaket dulu sana.” Amel segera berlari ke lemari baju dan mengambil hoodie berwarna hitam yang sama dengan yang dipakai Jonathan sekarang.  “Gue udah siap,” ujar Amel setelah memakai hoodie. Jonathan berjalan menuju pintu kamar bersama Amel. Mereka berjalan menuruni tangga. Saat melihat Laras dan Thomas yang berada di ruang keluarga, Jonathan menarik tangan Amel untuk berpamitan. “Pap, Mam, Jojo sama Amel mau keluar sebentar,” ujar Jojo. “Kalian mau ke mana?” tanya Thomas. “Mau ke depan Pap,” sahut Jonathan. “Mau ke Mas Bejo.” “Kayaknya enak juga,” gumam Thomas. “Papa mau?” tawar Jonathan. “Bolehlah.” “Mama juga mau dong,” ujar Laras. “Katanya diet …,” goda Thomas pada istrinya. “Biarin, sekali-kali kan boleh,” sahut Laras membela diri. “Chaca juga mau dong Kak,” ujar Brenda mengikuti kedua orang tuanya. “Siap,” sahut Jonathan.  Jonathan dan Amel baru membalikkan badan, ketika terdengar suara Laras memanggil. “Jo, tunggu!” “Iya Mam?” sahut Jojo sambil membalikkan badannya lagi. “Sebentar,” ujar Laras sambil beranjak meninggalkan ruang keluarga. Tidak lama kemudian Laras kembali sambil menggenggam uang dan memberikannya pada Jonathan. “Bawa ini,” ujar Laras sambil meletakkan uang di tangan Jonathan. “Ini buat apa Mam?” tanya Jonathan. “Hari ini biar Mama yang traktir.” “Tapi Mam,” “Mama nggak mau terima alasan. Sekarang cepetan pergi, nanti keburu makin malam,” ujar Laras tegas. Akhirnya Jonathan menarik tangan Amel dan berjalan keluar rumah menuju pintu pagar di samping. Tiba di rumah, Jonathan berjalan menuju ke garasi untuk mengambil motor.  “Naik,” ujar Jonathan saat menghentikan motor di dekat Amel yang berdiri di taman. Setelah Amel naik, Jonathan langsung mengendarai motor menuju depan komplek. Jonathan menghentikan motor di dekat tenda dan memarkirnya. “Ayo turun.” Amel turun dari motor dan memandang ke arah tenda yang malam ini terlihat agak ramai, padahal sudah jam setengah sembilan. “Rame Jo,” ujar Amel. “Terus?” “Bakalan lama dong.” “Gapapa, besok kan Sabtu. Jadi nggak perlu bangun pagi.” “Iya juga. Ya udah, ayo masuk.” Amel berjalan di depan menuju tenda diikuti Jonathan dari belakang.  “Eh, kalian,” ujar Bejo saat melihat Jonathan dan Amel masuk ke dalam tenda. “Apa kabar Pak?” sapa Jonathan ramah. “Baik. Makan di sini?” “Iya Pak, sama dibungkus juga,” sahut Jonathan. “Kamu mau makan apa?” Jonathan bertanya sambil memandang Amel. “Mie goreng satu Pak, pedes, dan tambahin telor ceplok ya,” pinta Amel. “Siap. Kalo kamu Jo? Seperti biasa?” “Iya Pak, sambelnya dikit aja.” “Oke, tapi masih ada empat pesanan lagi, gapapa?” “Nyantai aja Pak,” ujar Jonathan. “Duduk yuk Mel.” “Hm.” Karena di dalam tenda cukup ramai, dan ada beberapa pemuda yang sejak tadi memperhatikan Amel sejak dia masuk, Jonathan menggandeng tangan gadis itu dan membawanya ke pojok tenda supaya tidak menjadi pusat perhatian lagi. “Duduk,” ujar Jonathan sambil menarik kursi untuk Amel. Amel mengikuti perintah Jonathan dan duduk dengan posisi membelakangi pengunjung lain. Setelah itu, Jonathan duduk di hadapan Amel supaya dapat menjaga sahabatnya. “Tumben rame banget,” gumam Amel sambil memandang sekeliling. “Biasa juga rame.” “Tapi beda Jo, biasanya nggak kayak gini.” “Perasaan kamu aja Mel. Lagian kan kamu udah lama nggak ke sini.” Amel tidak membalas perkataan Jonathan karena matanya sedang memperhatikan seorang pegawai yang tengah memotong sayuran dan bahan lain dengan begitu terampil dan cepat. “Kamu ngeliatin apa?” tanya Jonathan sembari melambaikan tangan di depan wajah Amel. “Ih …! Gangguin aja deh,” desis Amel. “Lagian kamu, diajak ngobrol malah ngelamun.” “Bukan ngelamun Jojo …! Gue tuh lagi ngeliatin itu orang motong-motong. Dan jadi inget mau beli pisau dapur.” “Buat?” “Ya buat gue lah, masa buat orang lain,” sahut Amel sambil mengibaskan rambutnya. “Aku tau itu buat kamu, tapi mau dipake ngapain?” “Buat gue latihan motong lah di rumah,” “Kan di rumah ada banyak pisau kali Mel,” sela Jonathan. “Iya, gue tau. Tapi gue pengen punya pisau khusus buat diri sendiri. Elo mau temenin gue nggak besok?” “Ke?” “Ke Kebon Binatang!” sahut Amel gemas dengan reaksi Jonathan yang datar.  “Kok jadi marah?” goda Jonathan. “Lagian elo, udah tau gue mau beli pisau masih nanya ke mana!” dengkus Amel. “Iya, besok a,” Belum sempat Jonathan menyelesaikan perkataannya, seorang pegawai lainnya datang sambil membawakan pesanan mereka dan meletakkannya di meja. “Ini pesanannya,” ujar salah satu pegawai Bejo. “Makasih Mas,’ ujar Jonathan. Jonathan mengambil tisu kemudian mulai mengelap sendok dan garpu untuk Amel dan dirinya. “Besok aku temenin cari pisau, tapi sekarang makan dulu.” “Iya. Nggak usah disuruh gue juga mau makan kok.” Amel dan Jonathan mulai menikmati makanan di hadapan mereka dalam diam. Selesai makan, Jonathan berdiri dan berjalan menghampiri Bejo yang sedang beristirahat karena sudah selesai memasak. “Mas, mau pesen dua mie goreng, dan satu nasi goreng dibungkus ya,” ujar Jonathan pada Bejo. “Siap. Mie nya pedes nggak?” “Pedes, tapi yang nasi jangan ya.” “Oke.” Bejo langsung mengerjakan pesanan milik Jonathan.Sementara itu Jonathan kembali ke tempatnya dan duduk menunggu sampai Amel selesai makan. “Udah selesai?” tanya Jonathan. “Hm, dan sekarang perut gue kenyang,” sahut Amel sambil mengelus perutnya dengan sayang. “Kita tunggu yang buat dibawa pulang dulu.” “Oke,” sahut Amel sambil membentuk huruf O dengan tangan kanan. Tidak lama kemudian, pesanan mereka selesai. Jonathan membayar semua dan pulang ke rumah bersama Amel, dan langsung pulang ke rumahnya setelah memberikan pesanan Thomas dan yang lain. Sementara itu, Amel kembali ke kamarnya karena ingin menyelesaikan tugas kuliah yang sempat tertunda. Di meja belajar, Amel memeriksa ponsel yang tidak dibawa dan melihat ada sebuah pesan dari nomor yang tidak dikenalnya. Penasaran, Amel segera membuka pesan tersebut dan sangat terkejut saat membaca. +62878xxxx : hidup lo yang serba nyaman sebentar lagi akan berubah +62878xxxx : tunggu aja harinya “Orang aneh mana lagi yang ngirim beginian ke gue deh?!” desis Amel kesal. “Salah kirim tapi kok nakutin banget isinya.” Amel yang merasa tidak memiliki musuh sedikit bingung dengan isi pesan di ponselnya. Namun, dia segera melupakannya karena tugas kuliah yang menanti untuk dikerjakan. Amel benar-benar tidak mempedulikan isi pesan tersebut, karena menganggap itu hanya salah kirim. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN