BEBAN KELUARGA

1598 Kata
Dret…dret… Ponsel Cahaya berbunyi saat dia sedang membereskan barang-barangnya di dalam kamar. Sejak tadi setelah berbincang dengan ibu mertuanya dan pamit ingin beristirahat, Cahaya mulai mencari-cari berkas-berkas penting yang telah lama tersimpan di dalam lemari dan juga brankas. Satu hal yang dilakukannya adalah diam-diam mengumpulkan kembali aset dan surat berharga atas namanya kemudian mengajukan perpisahan dengan Surya, itu niatnya. “Halo sayang,” ucap Surya. “Iya Mas,” Cahaya kemudian berhenti melihat-lihat dokumen yang sejak tadi ditelitinya. “Hari ini aku kayaknya lembur deh,” ucap Surya lagi. “Lah kok gitu sih Mas, kamu tahu kan ibu ada di sini. Kasihan dia yang rela dateng jauh ke sini tapi kamu malahan sibuk sama kerjaan kamu,” timpal Cahaya. Kadang dia harus mendengarkan keluh kesah mertuanya itu yang merasa sulit untuk mengungkapkan kegundahannya kepada putranya sendiri. Di depan Surya dia mengatakan bahwa Surya harus lebih mengutamakan pekerjaannya. Tetapi di depannya, mertuanya itu mengatakan hal yang sebaliknya. Dia merindukan bercengkerama denga putranya itu, membahas apa saja. Cahaya kadang merasa takut hal itu akan terjadi padanya. Semoga kelak Langit bisa meluangkan waktu untuknya atau dirinya bisa menerima dengan lapang hati saat putranya itu sibuk dengan pekerjaannya. “Iya aku janji hari ini aja. Besok gak lagi. Tolong kasih tau ibu,” janji Surya lagi. Cahaya menghela napas berat, “Ya udah aku nanti yang ngasih tahu ke ibu,” ucap Cahaya. Lagipula jika Surya mengatakan bahwa dia sibuk, itu artinya dia benar-benar harus menyelesaikan pekerjaannya segera. Semoga mertuanya mengerti akan itu. Setelah menutup panggilan dari Surya, Cahaya kembali meneliti dokumen dan berkas yang berhamburan di ranjangnya. Dari beberapa harta yang dimilikinya, ada atas nama dirinya dan juga harta bersama Surya. Cahaya mungkin akan mencari seorang pengacara yang bisa mengurus aset kepemilikannya. Jika bisa, Cahaya akan membuat Surya keluar dari rumahnya dalam keadaan tidak memiliki apa-apa. Seperti saat dia datang dahulu. Dia terpaku pada sebuah surat yang dilupakannya. Sebuah surat perjanjian pra nikah yang dibuat semasa orang tuanya hidup. Papanya dahulu meminta agar dirinya dan Surya bertanda tangan di sebuah perjanjian yang berbunyi bahwa keduanya harus selalu setia hingga ajal memisahkan. Cahaya tersenyum sinis membaca isi perjanjian itu, orang tuanya pasti merasa sedih di akhirat saat tahu menantu kebanggaannya tidak lebih dari pria pengkhianat dan pendusta. Kemudian Cahaya membaca poin selanjutnya, jika salah satu pihak melakukan pengkhianatan maka mereka otomatis akan kehilangan hak atas harta benda yang dimiliki selama mereka menikah. Poin ini tentu saja membuat posisi Cahaya diuntungkan. Jika dia bisa mengumpulkan bukti perselingkuhan Surya dan Wulandari maka dia benar-benar bisa mewujudkan mimpinya untuk membuat Surya kehilangan semuanya. Cahaya segera membereskan dan menyimpan dengan rapi surat perjanjian itu. Terlebih dahulu dia akan mencari pengacara yang bisa dipercayanya untuk menangani kasusnya ini. *** Cahaya bisa menebak mengapa mertuanya tampak lesu di meja makan, setelah tahu anaknya bekerja lembur, Atiek tampak hanya memaksa untuk menghabiskan makanannya tadi. Cahaya juga tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan mertuanya itu mengatakan dia berniat kembali ke kampung halamannya besok. Di sana dia bisa bertemu banyak tetangga sehingga tidak merasa kesepian. Cahaya menjadi serba salah. Dia sudah berusaha keras agar mertuanya itu betah, tetapi tetap saja Atiek tidak merasa hal itu cukup. Ponsel Cahaya berbunyi, tepat setelah dia memastikan mertuanya itu telah beristirahat di kamarnya. Tadi dia menyuruh kedua anaknya untuk menemani nenek mereka sekadar bercerita mengenai apa saja di ruang keluarga. Namun mereka harus kembali ke kamar masing-masing karena harus mengerjakan tugas sekolah masing-masing. “Halo,” sebuah panggilan dari seseorang yang membuat Cahaya mengernyitkan alisnya. “Iya halo.” “Mba Aya, ini Mentari,” kali ini adik perempuan Surya yang menghubungi Cahaya. “Iya kenapa dek?” tanya Cahaya yang duduk di ranjangnya. “Mba Aya, aku mau tanya dong. Kok Mas Surya gak angkat-angkat panggilanku sih, sejak pagi loh,” keluh Mentari. Cahaya mendengarkannya juga menampilkan ekspresi bingung. Mungkinkah Surya sedang menghindari adiknya. “Oh ya?” “Iya Mba. Ini loh Mba. Ini...aduh aku takut ngomongnya,” ada nada ragu di suara Mentari. “Iya apa. Ngomong aja,” desak Cahaya penasaran. “Iya. Gini Mba. Mba tahu kan, usaha Mas Rio itu lagi kena masalah. Nah, aku pengen minta tolong Mas Surya untuk bantuin modal usaha. Gak banyak kok mba. Apalagi Mas Surya CEO sukses, masa iya tega ngeliat adik dan iparnya jatuh bangkrut,” jelaskan Mentari yang memang suaminya adalah pengusaha pupuk di kampungnya. Tetapi gaya hidup mereka yang terlalu boros sehingga membuat utang mereka tersebar di mana-mana. Sudah tidak terhitung jumlahnya Surya membantu usaha adik dan iparnya itu. Mereka seakan tidak pernah belajar dari kesalahan. “Berapa banyak?” tanya Cahaya lagi. “Eh ini Mba, aduh gak enak. Itu Mba, lima puluh juta aja,” sebut Mentari. Nominal yang sedikit bagi Cahaya tetapi melihat rekam jejak iparnya ini yang selalu saja meminjam uang tanpa ada niat mengembalikan, mungkin itu yang jadi pertimbangan Surya. Surya pernah mengatakan sudah lelah membantu adiknya itu. “Oh lima puluh juta,” Cahaya mengangguk dan juga tidak yakin Surya akan memberikan uang itu. “Iya Mba.” “Eh ibu ada di sini lo. Kamu gak pengen ngomong?” tanya Cahaya. Dia yakin Mentari jarang menghubungi ibunya. Karena Atiek tidak pernah menyebut kedua anak perempuannya itu. “Hah!? Ibu disitu. Aduh jangan ngomong-ngomong kalau aku nelpon minjem duit ya Mba. Aku takut dimarahin ibu. Nanti aku hubungin ibu deh. Aku janji.” “Ya udah. Nanti aku bantu nomong sama Mas Surya ya,” janji Cahaya. “Iya makasih banyak Mba Aya. Aku janji saat usahaku kembali lancar. Uang itu aku kembaliin utuh.” “Iya,” Cahaya tersenyum sedih melihat banyaknya beban keluarga di sekelilingnya. Cahaya membayangkan jika Surya kehilangan segalanya dia akan merasa sangat frustasi dengan semua ini. Rasa kasihan telah hilang dalam dirinya berganti rasa dendam dan juga sakit hati. Dia akan menunggu hari itu. Tidak lama, sebuah pesan masuk di ponsel Cahaya saat dia akan berganti gaun tidurnya. Suamimu sedang berada di Hotel Grand Mawar, apakah kamu tidak penasaran dengan siapa dia bertemu… Pesan dari nomor yang tidak dikenal. Cahaya kemudian menghubungi segera nomor itu, tetapi tidak aktif. Cahaya teringat dengan panggilan dari Mentari tadi yang mengatakan bahwa Surya tidak mengangkat panggilannya sejak pagi, terus menghubungkannya dengan Surya yang meminta ijin untuk lembur di kantor. Semuanya seperti saling terkait. Mungkinkah Surya memang tengah berselingkuh saat ini. Cahaya bergegas mengganti pakaiannya. Jika dia bisa tahu Surya bersama perempuan lain di hotel. Itu bisa menjadi bukti pendukung perceraiannya nanti. Cahaya mengemudikan sendiri mobilnya. Dia berpesan kepada pelayan untuk mengatakan dia membawakan makanan untuk suaminya jika mertuanya bertanya tentang kepergiannya. Jalanan malam itu terasa lengang, tidak ada kemacetan yang berarti hingga Cahaya tiba di hotel tersebut. Dia memarkirkan mobilnya itu di depan lobi hotel. Posisi yang pas untuk mengawasi tamu yang datang dan keluar dari hotel. Dia berpikir sejenak. Sayangnya pesan tadi tidak menyebutkan di kamar berapa Surya berada, kemungkinan hal yang sulit untuk mencari tahu, terlebih lagi melalui resepsionis hotel. Jika dia mengaku sebagai istri sah yang mencari suaminya, ini mungkin saja akan menimbulkan kehebohan dan menggemparkan, sedangkan itu yang dihindari oleh Cahaya. Apalagi informasi ini juga belum jelas adanya. Cahaya menunggu dengan sabar di depan lobi hotel berharap Surya akan keluar bersama perempuan lain dengan berangkulan mesra sehingga dia akan mengabadikan foto mereka. Tetapi hingga setengah jam menunggu Cahaya tidak melihat keberadaaan Surya. Cahaya mencoba menghubungi nomor Surya. Apakah mungkin Surya akan jujur tentang keberadaannya di sini. Dia tidak tahu. Tiga kali panggilan, Surya tak kunjung juga mengangkatnya, membuat Cahaya merasa geram dan tidak sadar meremas ponselnya kesal. Tok…tok… Sebuah ketukan di pintu kaca mobil Cahaya membuatnya terkejut dan salah tingkah. Cahaya perlahan menurunkan kaca mobilnya, “Kamu ngapain di sini sayang?” Surya berdiri sembari tersenyum sedangkan Cahaya hanya mampu terdiam dan berpikir mencari alasan yang tepat. “A-anu mas. Aku tadi dari rumah Dewinta terus aku lihat mobil kamu berbelok ke hotel ini,” jawab Cahaya. Hanya itu alasan yang terpikirkan olehnya. Dia tidak menduga Surya bisa mendapatinya. Surya mengernyitkan alisnya heran, “Tapi aku gak pake mobil sayang. Mobil aku tinggal di kantor. Aku kebetulan keluar bareng Agung,” ujar Surya dan menatap curiga Cahaya. Cahaya ingin mengumpat dalam hati karena salah berucap. Jika dia membuat curiga Surya, kemungkinan suaminya itu akan semakin berhati-hati. “Eh iya maksudku gitu Mas. Mobil Agung,” kilah Cahaya. “Oh ya udah. Kalau gitu kamu balik ke rumah apa enggak? Kita bareng aja kalau gitu,” usul Surya. Cahaya mengangguk dan turun dari mobil agar Surya menggantikannya duduk di kemudi. “Tadi katanya kamu lembur. Kok di hotel,” usut Cahaya saat Surya sudah menjalankan kemudinya untuk pulang ke rumah mereka. “Oh iya tadi gitu. Tetapi mendadak ada klien yang ingin bertemu di hotel. Jadi terpaksa aku ke sana. Lagian setelah itu aku rencana langsung balik ke rumah,” jawab Surya yang menjawab dengan tersenyum. Dia mengambil tangan Cahaya dan mengecup punggung tangan istrinya lembut. Terus terang wajah Cahaya terasa kaku mendapat perlakuan manis dari suaminya itu, yang saat ini baginya terasa menjijikkan dan penuh kepalsuan. “Kamu masih curigaan aja sih. Kita udah tua sayang. Apa sih yang kita cari. Aku hanya ingin berbahagia bersama kamu hingga tua dan melihat anak-anak kita sukses,” ujar Surya dan mengelus pipi Cahaya lembut. Cahaya mengangguk dan tersenyum mendengar pernuturan Surya itu. Sungguh dia akan menjadi wanita yang paling bahagia jika dia tidak mengetahui perselingkuhan suaminya dengan Wulandari yang notabene adalah anak asuhnya sendiri. Cahaya juga teringat bahwa besok jadwal Wulandari akan berkunjung ke rumahnya untuk mengajar anak-anaknya. Kali ini dia akan bertemu sejak terakhir perayaan pernikahannya dengan Surya. Dia akan menyiapkan mentalnya agar kuat untuk bersandiwara di depan Wulandari besok.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN