IBU DAN IBU MERTUA

1697 Kata
Malam itu kediaman Surya dan Cahaya kedatangan tamu yang sangat dinantikan oleh keduanya, Atiek, ibu tercinta Surya dan sekaligus ibu mertua Cahaya. “Assalamu alaikum,” sapa Atiek, matanya sejenak mengitari kediaman milik anaknya. Tatapannya seakan menilai apa perubahan yang telah terjadi di rumah anaknya selama ini. Tidak ada reaksi yang ditunjukkannya, hanya berupa tatapan datar. “Wa alaikum salam ibu,” sapa Cahaya berjalan tergesa-gesa dan mencium takzim punggung tangan mertuanya itu. Usianya yang sudah memasuki 72 tahun tetapi masih kuat berjalan dan juga kelihatan bugar. “Sayang, kamar ibu sudah dirapikan?” tanya Surya yang baru saja menyusul ke dalam rumah. Demi sang ibu tercinta, Surya sendiri yang menjemput ibunya di terminal. “Iya Mas udah kok,” jawab Cahaya memaksakan senyum melihat suaminya yang seolah tidak melakukan kesalahan. “Ibu sudah makan malam?” tanya Cahaya dan mengambil alih tas mertuanya. Sedangkan koper yang lumayan besar dibawa oleh pelayan menuju kamar yang disediakan untuk Atiek. “Ini udah jam sepuluh malam Aya, bukan jam makan malam lagi. Ibu pengennya istirahat aja,” jawab Atiek acuh dan berjalan menuju kamarnya. Cahaya tersenyum miris merasa bahwa pertanyaannya mungkin terlalu basa-basi. Entah, saat berhadapan dengan mertuanya kadang dia merasa tidak tahu harus bagaimana memulai percakapan. Dia selalu saja bertindak bodoh. Atiek sekali lagi mengamati sekeliling kamarnya, dia menganggukkan kepalanya berkali-kali, Cahaya hanya mampu menebak apa isi hati mertuanya itu. “Ibu, mau Aya pijitin?” tawarkan Cahaya lagi. Kemungkinan perjalanan yang jauh membuat mertuanya itu kelelahan. Terlebih lagi, dia tahu ibu mertuanya itu sangat suka dipijat. “Iya mau sih, badan ibu terasa pegal. Tapi gak usah kamu yang pijitin. Pelayan kalian kan banyak. Aya kamu harus pinter-pinter menempatkan diri ya. Kamu itu istri CEO sukses, masa iya mijiitin orang,” tegur Atiek tidak suka. “Tapi Aya juga gak mijitin sembarangan orang bu, Aya hanya ngelakuin itu ke ibu aja. Aya gak pernah nganggep ibu sebagai ibu mertua tetapi udah seperti ibu Aya sendiri,” ucap Cahaya membela diri. Atiek menghela napas kemudian berkata, “iya bagus kalau begitu. Gak salah ibu milih kamu jadi menantu,” balas Atiek lagi. Kali ini ucapan mertuanya itu mengapa terkesan hinaan baginya dan tidak adalagi kebanggaan di dalamnya. Cahaya ingin sekali mengungkapkan bahwa putra kebanggaannya itu-Surya, tidak lebih dari seorang pengkhianat dibalik topeng berkedok suami dan ayah idaman, penuh kepalsuan dan juga tidak tahu malu. Sesuai permintaan mertuanya, Cahaya kemudian menyuruh pelayannya untuk memijat mertuanya dan memastikan tetap memijatnya hingga dia terlelap. *** “Gimana ibu?” tanya Surya yang sudah berada di ranjang menunggu Cahaya kembali ke kamar. “Baik-baik aja. Aku nyuruh bibik buat mijitin ibu,” jawab Cahaya dan memakai krim malamnya. “Kamu memang selalu menjadi menantu idaman ibu,” puji Surya dan memeluk Cahaya dari belakang memberinya kecupan-kecupan ringan di tengkuk istrinya itu. “Oh ya?” tanya Cahaya dan Surya mengangguk tersenyum tulus. “Oh syukur deh. Takutnya ada wanita lain yang cocok jadi menantu idaman ibu. Muda, cantik dan pinter lagi,” sindir Cahaya membuat Surya mengernyitkan alisnya tidak mengerti. Mainkan terus sandiwaramu Mas, kita lihat siapa yang akan jatuh lebih dulu, batin Cahaya. “Ngapain sih nyari yang baru. Yang di rumah aja belom habis-habis,” Surya kemudian membaringkan Cahaya dengan lembut dan mencium bibirnya. “Argh….!” lirih Cahaya saat Surya memperdalam ciumannya dan tangannya juga bergerak liar ke dalam gaun tidurnya, membuat gelenyar aneh. Tidak puas dengan itu, Surya kemudian dengan cepat membuka gaun tidur istrinya itu. Dia akui bahwa usia Cahaya yang sudah memasuki usia pertengahan tetapi Cahaya sangat menjaga bentuk tubuhnya. Badannya seperti saat mereka bertemu pertama kali. Karena itulah dia sangat mencintai istrinya. Surya layaknya penjelajah yang tak kenal lelah. Setiap jengkal tubuh Cahaya tidak lepas dari ciuman basah dan hangatnya membuat Cahaya sesekali mengangkat tubuhnya penuh hasrat, tangannya meremas seprai karena Surya saat ini telah membawanya ke puncak dari semua ungkapan cinta yang membara. Penyatuan tubuh dalam kehangatan, disertai geliatan Cahaya dan lumatan bibir Surya yang tidak kenal lelah untuk mengecup bibir istrinya itu. Hingga Surya tidak sanggup lagi, ada suatu batas yang tidak mampu untuk ditahannya lagi. Puncak gelombang kenikmatan itu telah sampai di titik di mana dia menggeram dan badannya terasa lemas tak berdaya. Surya hanya mampu memeluk tubuh Cahaya kemudian menutup mata demi meresapi sisa-sisa percintaannya tadi. Cahaya masih begitu menakjubkan baginya. Suara dengkuran halus Surya menandakan dia telah terlelap. Cahaya perlahan membuka matanya dan melepaskan diri dari rangkulan Surya. Dia bangun dan menuju kamar mandi. Dia menatap dirinya di cermin dan tertawa sinis. “Kapan kamu harus berhenti menjadi orang yang munafik Cahaya Ayuningrum!!!” Cahaya berbicara kepada dirinya sendiri dengan menatap cermin di hadapannya. Dia benci dirinya saat ini. Tetapi dia juga tidak ingin tergesa-gesa. Dia harus merencanakan dengan matang untuk membalas dendam kepada Surya dan Wulandari. Surya harus menjadi pria yang tidak punya apa-apa seperti saat sebelum mengenal dirinya. Dia akan menghancurkan keduanya perlahan-lahan hingga mereka tidak sadar telah berada di ambang kehancuran. Cahaya kembali tidur di sisi Surya dan masuk ke dalam dekapan suaminya. Surya yang terlelap namun bisa refleks menarik Cahaya ke dalam pelukannya dan tersenyum damai. Dia merasa ada yang kurang saat tak ada Cahaya dalam dekapannya. *** Pagi itu Cahaya kembali mendapatkan tatapan sinis dari mertuanya. Ibu mertuanya dan kedua anaknya telah berada di meja makan. Sedangkan dirinya dan Surya terlambat bangun. Dia segera menyiapkan pakaian untuk suaminya yang sementara mandi. “Kalian itu kayak pengantin baru aja sih, bangunnya telat,” sindir Atiek melihat rambut basah anak dan menantunya. Tanpa perlu menebak, dia tahu apa yang keduanya lakukan semalam. “Maaf bu,” ucap Cahaya lirih dan mengambil tempat duduk di meja makan. Dia mengamati sejenak masakan yang berada di meja makan. Dia bisa menebak bahwa ini pasti hasil masakan ibu mertuanya itu. “Wah kelihatannya nikmat sekali bu,” puji Surya yang telah siap dengan jasnya bersiap menuju kantor. Surya seperti biasa menganggap bahwa ucapan ibunya itu hanya ucapan biasa saja. Surya makan dengan lahap masakan ibunya. Masakan inilah yang menemaninya tumbuh hingga menjadi pria dewasa. Berbeda dengan Cahaya yang langsung kehilangan selera makan. Sarapan cibiran dari mertua tidak ada tandingannya. “Iya kamu makan yang banyak Sur, kurus banget sih kamu, cari duit penting tapi makannya juga harus bener,” Atiek menambahkan potongan lauk kembali di piring Surya. Langit dan Zanitha hanya saling melirik kemudian mengendikkan bahu. Mereka terbiasa akan kelakuan nenek mereka saat berkunjung ke rumah. Papa mereka akan kembali menjadi anak kecil bagi Atiek. Ditambah lagi banyaknya pantangan dan larangan yang harus didengarkan oleh mereka. Keduanya diam-diam menghitung hari kapan nenek mereka akan segera kembali ke kampung halamannya. Cahaya hanya diam mengamati Atiek dan Surya tanpa mau mencampuri. “Bu, Surya udah tua. Jadi sekarang harus mengurangi porsi makananan. Menghindari daging-dagingan, perbanyak sayur dan juga rutin berolahraga,” ungkap Surya. Atiek tersenyum dan menyetujui ucapan putranya itu. Bagi Atiek, wajar Surya memikirkan kesehatan di usianya saat ini. Semoga anaknya itu selalu diberikan kesehatan dan umur yang panjang, itu doa yang selalu dipanjatkannya. Semuanya kembali melahap masakan yang tersaji di meja makan tanpa pembicaraaan berarti. *** “Nek kami berangkat,” pamit Langit dan Zanitha bersamaan dan mencium punggung tangan Atiek. “Iya kalian rajin belajar ya,” pesan Atiek kepada cucunya. “Ma, kami berangkat,” Langit dan Zanitha mencium pipi Cahaya, memeluk erat tubuh Cahaya sesaat. “Iya sayang.” “Ibu, Surya berangkat ya,” kali ini Surya mencium punggung tangan ibunya itu. “Iya nak,” tatap Atiek disertai doa tulus untuk putranya itu. “Aku berangkat ya sayang,” Surya mencium kening Cahya dan dibalas dengan senyuman oleh Cahaya. Surya kemudian berangkat bersama Langit dan Zanitha. Surya hari ini akan mengantarkan putra dan putrinya berangkat ke sekolah. Kebetulan jadwalnya pagi ini tidak mengharuskan dirinya berada di kantor tepat waktu. Cahaya dan Atiek masih berdiri hingga mobil yang ditumpangi Surya dan anak-anaknya hilang dari pandangan mereka. Hari ini ingin sekali Cahaya berkunjung ke panti asuhan dan melihat apa yang terjadi di sana. Tetapi dia takut dianggap meninggalkan mertuanya. Mungkin dia harus menunggu mertuanya pulang baru kemudian berkunjung ke panti asuhan. Dia akan memulai menjalankan rencananya dimulai dari panti asuhan miliknya itu. *** “Pa, kami masuk ya,” pamit Langit dan Zanitha kepada Surya tepat di depan pagar sekolah. “Kalian belajarnya yang rajin ya nak,” pesan Surya yang mengelus rambut Zanitha kemudian mengacak-acak rambut Langit. Dia tersenyum bangga kepada kedua anaknya itu yang semakin bertambah besar tiap harinya dan semoga kelak jadi penerus perusahaannya kelak. “Wah Pak Surya, jadi CEO aja masih sempet loh nganterin anaknya ke sekolah,” celetuk seseorang yang baru tiba di depan pagar sekolah. Seorang wanita seusia Cahaya yang juga mengantarkan putrinya. Surya tidak terlalu mengenali wanita itu. “Eh iya bu. Kebetulan bisa menyempatkan waktu,” balas Surya berbasa-basi. Surya sejenak melirik arlojinya, “Saya duluan ya bu. Maaf ini, saya harus segera ke kantor takut kena macet,” pamit Surya dan meninggalkan wanita itu yang menatap kagum Surya. Pria yang tampan dan juga masih mempesona di usia empat puluhan, sungguh beruntung Cahaya memiliki suami seperti Surya. Dret…dret… Ponsel Surya di kantong jasnya berbunyi saat dia telah berada di dalam mobil. Sesaat dia merogoh kantong jasnya dan mencari ponselnya itu. Dia melihat nama yang tertera di layar, membuatnya tersenyum. “Halo sayang,” ucap Surya dengan suara yang sangat lembut. “Udah berangkat ke kantor Mas?” tanya wanita di balik panggilan itu. “Iya sayang. Tadi habis nganterin Langit dan Zanitha,” jawab Surya dan memerintahkan sopir agar menjalankan kemudinya. Sopir yang sudah sangat dipercayai Surya dan memegang semua rahasia Surya. Sopir yang juga menjadi saksi mata kemana dan dengan siapa saja Surya bertemu. Tetapi satu yang pasti mulutnya akan terkunci rapat. Tidak akan satu pun orang yang bisa mengorek apa pun darinya. “Aku kangen,” ucap wanita itu dengan suara sedikit menggoda. “Ya udah setelah pulang kantor kita ketemuan di apartemen ya,” janji Surya. “Iya Mas. Sampai ketemu kalau gitu.” “Iya sayang,” ucap Surya dan menutup panggilannya. Sore ini dia mungkin akan beralasan ada pekerjaan yang mesti diselesaikan hari ini sehingga mengharuskannya pulang terlambat. Surya tersenyum sembari mengelus-elus dagunya, seolah tidak sabar apa yang menanti dirinya saat pulang bekerja nanti.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN