Sampai di luar kamar, mereka melihat seseorang yang baru saja datang. Membawa keranjang berisi buah-buahan segar.
“Bener ini kamarnya Yas?” tanyanya.
Theo dan Elang segera mengangguk. Theo mengernyit karena ia sepertinya pernah melihat orang ini, tapi di mana?
Elang segera melangkahkan kakinya kembali ke dalam kamar untuk memberi tahu Yas bahwa ada temannya yang datang menjenguk.
Sementara Theo masih berusaha mengingat-ingat di mana pernah bertemu orang ini? Pokoknya Theo pernah melihat setidaknya sekali.
“Yas, ada temen lo, tuh!” lapor Elang.
Muncul kerutan di kening Yas. Well, tidak ada yang aneh dengan menjenguk seorang teman yang sedang sakit. Yang aneh adalah, Yas bahkan baru masuk semalam, dan di sini ia belum memiliki teman baru yang akrab.
Lebih tidak mungkin lagi jika yang datang adalah teman lamanya. Karena seingat Yas, ia belum memberitahu siapa pun. Mau memberi tahu bagaimana? Ponselnya saja tidak terbawa kemari.
Belum selesai Yas memikirkan semuanya, seseorang itu sudah masuk bersama Theo. Dan kabar baiknya, Theo sudah ingat di mana pernah bertemu dengan orang ini—di pabrik rotinya Junot.
“Lintang!?” ucap Yas ragu-ragu. Bingung dengan keberadaan Lintang di sini.
Namun meskipun begitu, Yas tetap berusaha menyambutnya dengan baik, memberi senyuman, dan mempersilakan duduk.
Si Kembar bergegas keluar, supaya Yas dan Lintang leluasa bercengkerama. Toh mereka juga perlu waktu untuk mengembalikan wajah masing-masing pada warna normal. Tentu saja karena mereka masih malu setengah mati, setelah memanggil Yas dengan sebutan Mas Yas tadi.
“Gimana keadaan lo?” tanya Lintang.
“Baik kok. Tinggal nunggu keputusan dokter yang meriksa gue ntar malem. Kalo udah boleh pulang, ya langsung pulang.”
“Syukur, deh, kalo gitu.” Lintang menunduk, tak berani menatap wajah Yas. “Maafin gue, ya,” lanjutnya dengan suara yang amat pelan.
Tapi kedua telinga Yas berhasil menangkap suara lirih itu. Mengingat situasi saat ini memang sepi.
“Kenapa lo minta maaf?” bingung Yas.
Ia tak tahu kenapa partnernya di pabrik ini bersikap demikian. Dan ia tahu bahwa Lintang tidak main-main dengan ucapan maaf itu, karena siratan penyesalan terlihat jelas di wajahnya.
“Gara-gara gue, lo jadi sakit,” jawab Lintang dengan masih senantiasa menunduk.
Bukannya jelas, Yas justru semakin bingung setelah Lintang menjawab pertanyaannya. Bagaimana bisa Lintang menyalahkan dirinya? Sementara Yas sakit karena memang penyakitnya kambuh. Dan itu jelas bukan salah siapapun.
Uhm … kalaupun ada yang bisa disalahkan, ya Theo dan Elang dengan segenap kelakuan baik mereka. Meskipun Yas juga tidak mau menyalahkan adik-adiknya.
Yas memutuskan untuk memperjelas semuanya. “Kenapa gara-gara lo?”
Lintang mengangkat kepalanya, mulai berani menatap wajah Yas. Kedua netra Lintang terlihat berkaca-kaca. Yas jadi merasa bersalah karena membuat Lintang sedih.
“Sore itu gue lihat lo tidur di pabrik.” Lintang mulai menjelaskan.
Yas ingat sore itu. Saat ia sengaja tidur di pabrik, setelah semua kejadian melelahkan di siang harinya; mencari Theo yang hilang, Elang membuat masalah di sekolah, dan mereka yang masih terus berdebat sampai di rumah, hingga Yas memutuskan untuk mengurung mereka dalam kamar tamu.
Ya, ia mengingat semuanya. Namun meskipun begitu, bukan jaminan bahwa ia akan langsung mengerti arah pembicaraan Lintang. Yas benar-benar belum bisa menangkap korelasinya. Oleh karenanya, Yas memutuskan untuk mendengarkan penjelasan Lintang lebih lanjut.
“S-sebenernya … gue mau laporan ke lo, bahwa tepung udah mau habis. Tapi gue justru diem saat tahu lo tidur, gue sengaja nggak bangunin lo. Tujuan gue sih, biar lo dimarahin Pak Junot. Karena jujur aja, gue selama ini kesel sama lo. Padahal sore itu gue lihat sendiri dengan jelas, kalo lo emang lagi kecapekan. Muka lo pucet. Lo kelihatan sakit. Tapi gue masih tetep tega sama lo.
“Terus tiba-tiba semalem, adek lo dateng ke pabrik, ngasih tahu Pak Junot kalo lo pingsan. Gue langsung merasa bersalah, lah. Pasti gara-gara gue, sakit lo jadi tambah parah, kan. Pasti lo kepikiran habis dimarahin Pak Junot. Dari semalem, gue nggak bisa tidur, mikirin lo. Gue merasa bersalah banget. Akhirnya, gue mutusin untuk ke sini, dan minta maaf secara langsung sama lo.”
Yas hendak menjawab semua penjelasan panjang Lintang. Sekarang ia sudah mengerti perkaranya. Yas sedang menyusun jawaban di benak, supaya ia dapat mengatakannya secara runtut, dan pastinya jelas. Tapi sayang, yang terjadi adalah … Yas justru terkikik. Terang saja Lintang kebingungan.
Yas pikir, selama ini Lintang adalah seseorang yang keras dan pendendam. Karena Yas tahu dengan jelas, bahwa Lintang kurang begitu menyukainya. Akar masalahnya adalah soal jabatan Manajer Produksi. Jabatan yang seharusnya menjadi milik Lintang, tapi justru diberikan pada Yas, oleh Junot.
Sikap Lintang selalu dingin padanya, dan ia juga tidak pernah tersenyum. Itulah yang membuat Yas menyimpulkan tentang dua sifat Lintang di atas.
Tapi pada kenyataannya, Lintang adalah orang yang sepolos ini. Hanya karena ia tidak membangunkan Yas, kemudian menganggap sakit Yas makin parah karena dimarahi Junot, dan menyimpulkan semua itu sebagai kesalahannya.
Orang yang semula Yas kira keras dan pendendam, rupanya memiliki hati yang seputih salju dan sehalus kapas.
Sekarang ini, Yas merasa tidak enak sekali pada Lintang. Lintang sudah menjelaskan panjang lebar tentang penyebab ia merasa bersalah.
Dan ia juga dengan tulus meminta maaf. Tapi Yas malah menertawakannya seperti ini. Namun di sisi lain, Yas juga tidak bisa menahan dirinya sendiri untuk tertawa.
“Kok lo malah ketawa sih, Yas? Dimaafin nggak gue, nih?” Lintang masih kebingungan.
Yas menarik napasnya. Berusaha mati-matian agar tawanya berhenti. “N-nggak ada … yang … perlu dimaafin … kali!” ucap Yas terputus-putus di sela-sela tawa. “Gue sakit bukan karena lo. Dan asal lo tahu aja, gue nggak pernah dimarahin sama Oom Junot.”
Lintang masih terheran-heran dengan jawaban Yas. Tapi karena Yas mengatakan bahwa tak ada yang perlu dimaafkan, itu sudah cukup untuk membuat Lintang lega. Dan ia kemudian ikut tertawa bersama Yas.
“Gue juga mau minta maaf,” lanjut Yas. “Karena udah ambil jabatan yang seharusnya jadi milik lo. Tapi itu semua juga bukan kehendak gue.”
Atmosfer canggung mulai kembali terasa. Namun Lintang berusaha melawannya.
“Jujur gue masih kesel karena masalah itu. Tapi nggak apa-apa, deh. Toh udah nasib. Lagian pendidikan gue juga kalah sama lo. Gue cuman lulusan SMA. Mulai sekarang gue bakalan belajar menerima nasib.”
“Jangan ngomong gitu dong!” seru Yas. “Masalah pendidikan emang dijadikan perhitungan oleh Oom Junot dalam menentukan jabatan karyawan. Tapi sebenernya, nggak sepenuhnya begitu. Pengabdian pun diperhitungkan oleh beliau. Makanya sebelum gue dateng, lo yang bakal dijadiin Manajer Produksi, kan?”
“Iya, sih. Tapi kan, nggak jadi,” jawab Lintang jujur. Dan wajahnya kembali terlihat muram.
Yas pun serba salah lagi. Yas menimbang-nimbang apakah ia harus memberi tahu Lintang atau tidak. Karena Junot memintanya untuk merahasiakan hal ini pada siapapun termasuk Lintang.
Tapi tidak apa-apalah. Hitung-hitung ini adalah hadiah untuk Lintang karena sudah menjenguknya. Dan sekalian, Yas juga ingin balas dendam pada Oom Junot. Balas dendam karena pamannya itu sudah membongkar habis-habisan rahasia Yas pada Theo dan Elang semalam.
“Gue mau kasih tahu lo sesuatu, Tang. Tapi ini rahasia, ya? Cuman kita berdua yang tahu.”
“Rahasia apaan emangnya?”
“Lo tahu Pak Raharja?”
“Pak Raharja? Manajer Pemasaran?”
“Iya yang itu. Beliau, kan, udah mau pensiun. Dan rencananya ….” Yas menjeda kata-katanya. “Katanya … lo yang bakal gantiin beliau. Itu kata Oom Junot.”
“Oh.”
Satu detik, dua detik, tiga detik.
“UAPAAA?” Itulah reaksi Lintang selanjutnya.
Yas sampai harus menutup kedua telinganya.
“Serius lo, Yas?”
“Serius, lah. Ternyata Oom gue emang nggak seburuk yang kalian pikirkan, kan? Dia nggak pernah KKN. Biarpun kelihatannya nggak jelas gitu, tapi dia orangnya baik, dan perhatian sama karyawan-karyawannya.
“Ijazah emang dijadikan alasan utama dalam dipilihnya gue sebagai Manajer Produksi, tapi alasan yang lebih utama adalah, karena emang gue lagi butuh uang lebih. Sehingga sebagai konsekuensinya, kenaikan jabatan lo harus ditunda sementara, nunggu Pak Raharja pensiun dulu.”
Lintang kembali menunduk seperti tadi. “Gue jadi malu setelah tahu semuanya, Yas. Padahal gue sama orang-orang pabrik lainnya udah jahat banget sama lo dan Pak Junot selama ini. Kita sering ngomongin kalian di belakang.”
Yas tersenyum maklum. “Kan emang kalian belum tahu faktanya. Jadi, bukan salah kalian juga. Tapi … udahlah. Kalo nggak gitu, kan, kita nggak bakal bisa ngobrol akrab kayak gini sekarang. Dan gue akhirnya tahu, kalo lo ternyata punya lesung pipit.”
Seketika senyuman di wajah Lintang kembali merekah, memperlihatkan lesung pipit di sudut bibirnya.
“Deal mulai sekarang kita temenan, ya?” Yas mengulurkan tangannya pada Lintang.
“Deal.” Lintang menjabat uluran tangan itu dengan penuh semangat.
***
TBC