"Welcome home!" Keke menyambut kepulangan Yas dengan senyum centilnya.
Theo dan Elang yang berada di belakang Yas, hanya memasang tampang jengah dengan kelakuan Keke. Berbeda dengan Junot yang segera mencubit gemas kedua pipi istrinya. Terlihat sekali dari raut wajah Junot, bahwa ia sangat bangga dengan apa yang dilakukan sang istri.
Mereka itu sudah bertahun-tahun menikah, tapi kelakuan masih seperti anak SMA yang kasmaran.
"Thanks, Tan," ucap Yas sedikit canggung.
Tentu saja karena usianya dengan Tante Keke yang sebaya. Ia sejak dulu selalu berusaha membiasakan diri memanggil wanita itu dengan sebutan Tante, karena memang begitu seharusnya.
"Nami mana?" tanya Yas selanjutnya. Ia benar-benar sudah rindu pada putrinya.
Malam ini Namira memang khusus dijemput lebih awal dari daycare, tentu saja untuk menyambut kedatangan ayahnya.
"Nami di dalem lah, Yas. Makanya, ayo buruan masuk semuanya!" Keke mempersilakan mereka masuk, layaknya ini adalah rumahnya sendiri.
"Tante tadi udah hias rumah bagus banget, lho! Kalian pasti suka." Keke kembali tersenyum-senyum centil.
Seketika Theo dan Elang mendapatkan firasat buruk. Mereka saling berpandangan. Sama-sama menduga apa yang sedang dilakukan oleh Keke kali ini. Mengingat wanita itu tak pernah kehabisan ide absurd untuk berbuat ulah.
"Jeng-jeng!" seru Keke dengan ekpresi kelewat bahagia.
Tak hanya Theo dan Elang, Yas bahkan juga kaget dengan apa yang diperbuat oleh Keke pada rumah mereka.
Berbeda dengan Yas, Theo, dan Elang yang terguncang, Oom Junot tetaplah tersenyum bangga pada istrinya.
Sesuai dengan apa yang dikatakan Keke tadi. Ia benar-benar menghias rumah ini—tepatnya di area ruang tamu—habis-habisan.
Terdapat banyak hiasan kerlap-kerlip, pita warna-warni, dan juga tali yang menjuntai-juntai. Mirip tema pesta ulang tahun sweet seventeen anak SMA.
Awas saja kalau nanti Keke tak mau bertanggung jawab membersihkan ini semua.
Yas masih menganga melihat foto dirinya sendiri yang dicetak dalam banner berukuran besar.
Yas kemudian tersenyum. Ide Keke memang absurd, tapi sesungguhnya ini semua tak terlalu buruk. Foto-foto itu adalah bagian dari masa lalu Yas. Saat ia masih menjadi model dulu.
Tante Keke berjalan mendekati Yas. Ia membawa Namira dalam gendongannya.
"Itu tuh, ayahnya Nami, tuh. Kangen, kan, kamu sama Ayah?" celoteh Keke pada Namira, sebelum menyerahkan bocah itu pada Yas.
Yas tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Ia memeluk bayi itu, tak bisa terlalu erat karena takut akan menyakitinya.
Kasihan Namira yang pipinya sudah hampir habis karena dikecup bertubi-tubi oleh ayahnya sendiri.
"Thanks ya, Tan. Untuk semuanya. Untuk jagain Nami, dan ... hehe ... sambutannya,” ucap Yas tulus setelah puas melepas rindu pada Namira.
"Anytime, Yas." Keke mengibaskan rambutnya.
Ia beralih fokus pada dua keponakannya yang lain—Theo dan Elang.
Tiba-tiba saja Theo dan Elang merinding disko. Perasaan mereka benar-benar tak enak.
"Theo sama Elang jangan kecewa gitu, dong! Tante juga punya penyambutan kok buat kalian."
“Tan … nggak usah kasih surprise ke kita nggak apa-apa kok, beneran!” Elang meyakinkan.
“Iya, Tan. Kita udah banyak hutan budi ke Tante, rasanya nggak tahu diri kalo kita juga dikasih surprise!” Theo membenarkan perkataan Elang.
“Yang tenang ponakan-ponakan Tante tersayang. Surprise sudah Tante siapkan dengan rapi dan spektakuler.” Keke menyeringai. Keke bersiap menarik tuas kecil yang ada di sebelah banner foto Yas.
Theo dan Elang melotot. Mereka sudah bisa menebak itu apa. Mereka nyaris saja menghentikan Keke, tapi nasi sudah menjadi bubur.
Banner yang tadinya masih tergulung itu, kini terlanjur terbuka lebar. Mereka memekik, mengeluarkan umpatan konyol dalam kurun waktu hampir bersamaan.
"Mampoooooosssss!"
"Eeeeekageeeeeeetttt!"
Dalam banner itu, terdapat foto mereka berdua. Mungkin diambil sekitar 2-3 tahun yang lalu. Dengan make-up dan wardrobe yang mirip, mereka jadi kelihatan identik. Seperti anak kembar betulan. Karena biasanya mereka tidak terlihat seperti itu.
Theo dan Elang sibuk menutupi rasa malu mereka masing-masing. Theo menggigiti kukunya. Sementara Elang menggigit ujung kaosnya.
"Ada satu lagi lho!" Keke menarik satu tuas lagi. Dan muncullah satu banner mengejutkan lagi.
"Yaaaaa Allah!"
"Yaaaaa Rasulullah!"
Saking terkejutnya si kembar setan sampai menyebut nama Tuhan.
Kali ini adalah foto mereka berdua dengan seragam sekolah. Make-up mereka pun masih dibuat mirip. Foto itu sengaja diberi efek khusus. Dan efek itu dengan sukses kembali membuat mereka terlihat identik pula.
Theo segera pergi menjauh dari sana, ia bersembunyi di balik dinding. Sementara Elang segera pura-pura pingsan dan kejang-kejang di sofa.
Kasihan Yas sebenarnya, ia tidak habis pikir dengan kelakuan Theo dan Elang. Bingung kenapa adik-adiknya salah tingkah semua begitu. Padahal menurut Yas, foto-foto itu semuanya bagus.
"Kalian kenapa, sih, Dek? Jadi, kalian juga pernah jadi model?" Yas bertanya sungguh-sungguh. Ia benar-benar penasaran.
Theo mengintip dari balik dinding, matanya kelihatan sedikit. Elang membuka sebelah matanya, dan sudah berhenti pura-pura kejang.
Mereka ingin menjelaskan pada Yas tentang cerita horor di balik foto-foto itu. Tapi mereka tidak sanggup. Karena ... semua benar-benar terlalu horor.
"Tante jelasin sono! Tanggung jawab, Tan!" rengek Theo dari balik tembok.
"Oom Junot, bantuin jawab nggak apa-apa kali! Elang udah nggak sanggup. Beneran." Elang pura-pura pingsan lagi setelah mengatakannya.
Junot memegangi perutnya yang sakit karena terlalu banyak tertawa. Dan ia mulai menjelaskan akar perkaranya pada Yas.
"Jadi, pas kamu mulai sukses jadi model dulu, Tante kamu, tuh, pengen jadi kayak Nadine. Tahu sendiri, kan, si Nadine itu temennya sejak SMA. Dengan bimbingan dari Nadine, tantemu mulai merintis agensi model sendiri. Dia ngajak Theo sama Elang buat jadi modelnya. Tapi mereka nggak ada yang mau. Katanya malu. Takut bakal diejek sama temen-temennya di sekolah.
"Butuh tiga bulan buat bujuk mereka berdua. Dalam proses membujuk itu, Yas ... aduh ... Oom udah hampir stroke rasanya. Tante kamu tiap hari berantem sama mereka, udah kayak Tom and Jerry gitu. Oom sampek malu sama tetangga kanan kiri. Syukurlah, pada akhirnya mereka mau juga.
"Foto yang berduaan itu, masih buat trial ceritanya. Hitung-hitung buat promosi. Dan job pertama mereka adalah jadi model iklan salah satu SMA swasta. Tanggapan dari konsumen bagus, lho. Setelah mereka jadi modelnya, banyak banget yang pengin sekolah di SMA itu.
“Tapi sialnya, banner iklan yang dipasang di jalan-jalan, ketahuan sama temen-temen sekolah mereka. Jadilah, mereka diledekin beneran. Habis itu mereka udah nggak mau lagi. Udah kapok jadi model. Tante kamu jelas menentang keputusan itu, lah.
"Setelah itu, Yas, hubungan mereka berdua sama tantemu semakin parah. Tiap kali ketemu, tantemu sama mereka selalu saling mengerjai satu sama lain. Kalo udah begitu, Oom nggak mau ikut-ikutan lagi."
Yas mengangguk-angguk mengerti. Jadi, begitu ceritanya. Rupanya Yas memang sudah melewatkan banyak cerita dalam keluarga Athabbarack. Hingga tak tahu bagaimana hubungan satu sama lain di antara anggotanya.
Biarlah hal itu menjadi penyesalan terakhir Yas dalam rentetan aksi kaburnya sepuluh tahun silam. Karena sekarang, Yas akan mencoba memperbaikinya.
"Terus nasib agensinya Tante Keke gimana?" tanya Yas kemudian.
"Semua harus berhenti sampai di situ, Yas. Mau cari model lain sebenernya. Tapi tantemu nggak nemu yang cocok."
"Ya gitu deh, Yas," celetuk Keke. Wajahnya terlihat sedih. "Bisnis pertama Tante harus gulung tikar, gara-gara ponakan-ponakan yang tidak berfaedah." Keke dengan tajam menatap Theo dan Elang secara bergantian.
Theo semakin menyembunyikan dirinya di balik dinding, tidak berani mengintip ke sana lagi. Dan Elang semakin mengeratkan pejaman matanya.
Mereka takut tentu saja. Takut sekali. Takut dimakan hidup-hidup oleh Titisan Ratu Pantai Selatan.
***
TBC