"Akhirnya kalian dateng juga! Yas udah bangun kok. Buruan masuk! Dia nanyain kalian terus." Junot mempersilakan mereka masuk ke kamar Yas.
Tapi bukannya segera masuk, mereka malah saling menyenggol satu sama lain. Tentu saja karena mereka malu bertemu Yas.
"Lho, buruan masuk!" suruh Junot.
Mereka saling menyenggol lagi. Tak ingin menunggu semakin lama, Junot segera mendorong paksa mereka berdua memasuki bangsal.
"O-Oom, ntar dulu, Oom. Ntar dulu!" Mereka berusaha meronta.
Sayang seribu sayang. Mereka sudah telanjur berada di dalam kamar rawat Yas. Yas menyambut mereka dengan senyuman hangat. Mereka menunduk dalam karena merasa sangat-sangat malu pada Yas.
Sungguh! Dua-duanya berusaha membalas senyuman Yas, tapi jatuhnya, senyuman mereka malah aneh dan canggung.
Tidak terlihat seperti senyuman. Tapi seringaian.
"Ciye ... mukanya merah, ciyeeee!" Junot malah menggoda mereka. Sengaja, sih, sebenarnya.
"Yaudah, Oom pulang dulu ya." Junot mengambil kunci mobilnya yang sedari tadi masih digenggam oleh Elang. "d**a!" Junot melambai-lambai. Ketularan sindrom Miss Universe istrinya.
Junot benar-benar pergi. Menyisakan mereka bertiga di kamar itu.
"Ke sini dong, Dek!" pinta Yas.
Mereka melangkah perlahan-lahan sampai berada tepat di sebelah ranjang Yas. Meskipun jarak mereka sudah sangat dekat, tapi mereka tetap tidak berani menatap Yas.
"Duduk juga nggak apa-apa lho, Dek."
Theo dan Elang celingukan. Ternyata benar ada kursi plastik di samping mereka. Tapi cuma ada satu.
"Duduk, Lang!" Theo menawarkan kursi itu pada Elang. Tapi Elang tidak mau. "Yaudah, gue pakek sendiri." Theo segera duduk di atas kursi itu.
"Duduk, Lang!" Kali ini bukan Theo yang menawari Elang, tapi Yas.
Yas baru saja menggeser sebuah kursi lagi yang tadinya luput dari penglihatan Theo dan Elang. Tentu saja karena mereka terlalu gugup dan malu.
Sejak masih di rumah tadi, mereka sudah memikirkan semuanya. Mereka sangat ingin bertemu Yas. Tapi di saat bersamaan, mereka juga bingung mau bicara apa pada Yas nantinya.
Ya, sudah jelas kalau mereka harus minta maaf karena selama ini sudah salah sangka dan sudah menuduh Yas macam-macam. Tapi mereka bingung bagaimana cara menyampaikannya. Bingung juga bagaimana harus memulainya.
Elang segera duduk pada kursi yang barusaja diberikan oleh Yas. Kemudian suasana kembali hening. Untungnya mereka ini punya kakak yang pengertian dan baik hatinya. Yas mengawali pembicaraan supaya kedua adiknya tidak terlalu gugup dan canggung lagi.
"Kalian udah makan?"
"U-udah kok."
"Sama apa?"
"Tadi pagi sama telor dadar, dibikinin sama Tante Keke. Siangnya makan di kantin," jawab Theo.
Ia sedikit berbohong di sana, karena sebenarnya Keke membuat telur dadar itu setelah pulang dari café, sekitar jam delapan. Dan itu sudah bukan pagi lagi untuk ukuran anak sekolahan macam Theo dan Elang.
Buktinya mereka jadi terlambat, sampai di sekolah sudah pukul sembilan. Untung masih boleh masuk. Meskipun mereka harus dihukum habis-habisan.
Yas lega karena adik-adiknya sudah makan. "Ngomong-ngomong, kalian tadi nggak lupa ngizinin Mas, kan?"
"N-nggak kok. Bu Alila lebay banget waktu denger lo sakit," lapor Elang.
Theo di sebelahnya segera mencebik. Ada sensasi nyelekit di hatinya. Ia cemburu buta tentu saja. Please! Bahkan ia kenal dengan Bu Alila lebih dulu daripada Yas. Tapi kenapa justru Yas yang mendapatkan cintanya?
"M-maafin gue." Akhirnya kata-kata itu berhasil keluar dari mulut Elang.
"G-gue ... gue juga!" Theo kembali fokus, membiarkan Bu Alila menghilang sejenak dari pikiran.
Tidak apa-apalah Bu Alila sekarang lebih suka Yas. Theo akan tetap berusaha mendapatkan hatinya. Ia akan bersaing secara sehat dengan Yas, dalam sayembara mendapatkan hati bu Alila.
"Mas juga minta maaf," ucap Yas. "Waktu itu nggak seharusnya Mas pergi. Seharusnya Mas bisa berpikir lebih panjang sebelum berbuat. Tapi Mas justru ninggalin kalian gitu aja."
"Lo nggak salah, kok. Kalo kita ada di posisi lo, mungkin kita akan melakukan hal sama," jawab Elang tulus.
"Kalo seandainya gue jadi lo, dan gue punya adek kembar yang nggak tahu diri—malah ngata-ngatain padahal udah nyusahin—gue bakal jual adek gue dua-duanya, ke pasar loak!" Theo kali ini.
Membuat mereka semua tertawa.
"Tapi, Yas ...." Elang menghentikan ucapannya.
"Kenapa?"
Elang bingung apakah ia harus meneruskan kata-katanya atau tidak. Tapi ia sudah telanjur membuka mulut. Kalau tidak diteruskan, pasti akan menimbulkan pertanyaan.
"L-lo ... lo harus berhenti nyalahin diri lo sendiri atas kepergian mereka!"
"Mereka?"
"Ibu kandung lo, Mama dan ... Papa. Karena emang lo nggak salah."
Yas tersenyum mendengarnya. Ia mengerti maksud Elang. Tapi ini sulit. Ia bahkan sudah berusaha meyakinkan dirinya sendiri sejak dulu. Bahwa semua ini memang bukan salahnya.
Namun dirinya sendiri juga selalu menganggap bahwa semua memang salahnya. Ia selalu berperang dengan dirinya sendiri tentang semuanya.
"Semua itu udah takdir," lanjut Elang.
"Oke," jawab Yas singkat.
Jawaban itu tentu saja hanya untuk menenangkan hati kedua adiknya. Karena pada kenyataannya, ia tak bisa berjanji untuk berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Tapi ia akan berusaha.
"Dan Papa sendiri yang terlalu pengecut karena memutuskan untuk pergi dengan cara seperti itu." Elang melanjutkan kata-katanya lagi.
Yas bisa melihat ada amarah yang tertahan dalam diri Elang. Yas juga melihat hal yang sama dalam diri Theo. Ia bisa mengerti. Mereka menemukan Papa dengan keadaan seperti itu, tanpa mengetahui fakta apa pun di baliknya. Pasti mereka juga marah dan bertanya-tanya selama ini.
"Iya. Tapi biar bagaimanapun juga, si pengecut itu tetaplah ayah kita semua, Dek. Kita harus tetap menghormati dan mendoakan beliau."
"Iya kita ngerti, kok, Yas."
"Jadi, sekarang kita mulai semuanya dari awal, ya? Jangan berantem-berantem lagi!"
"Mungkin gue bisa janji nggak bakal berantem sama lo lagi, Yas. Tapi kalo sama dia ...." Elang menunjuk Theo di sebelahnya. "Gue nggak janji."
Theo meliriknya sengit. "Lo pikir gue mau gitu damai sama lo? Males!"
Yas memutar bola matanya jengah. Baru juga beberapa detik setelah ia menutup mulut, dan mereka sudah mulai lagi.
"Terserah kalian aja, deh. Tapi Mas pengin request sesuatu, dong! Boleh?"
"Request apaan?"
Yas tersenyum membayangkan bagaimana reaksi mereka setelah ia menyampaikan keinginannya nanti. Melihat tingkah laku Yas, Theo dan Elang jadi curiga.
"Sekarang ini udah lamaaaaaaaaaa banget ya, semenjak terakhir kali kalian manggil Mas, dengan sebutan Mas Yas. Atau lebih tepatnya, waktu itu kalian manggilnya Math Yath." Yas menirukan cara bicara mereka yang cadel.
Wah, Yas sudah gila! Raut Theo dan Elang kini sudah memerah seperti kepiting rebus.
"Yas, emang harus banget, ya?" tanya Elang.
"Iya nih, lo pikir kita nggak malu apa?" lanjut Theo.
"Ya makanya, tadi Mas tanya boleh atau nggak. Kalo nggak boleh, ya, nggak apa-apa. Mas nggak maksa kok."
Justru itu. Karena Yas bilang begitu. Secara tersirat, itu menjadi sebuah paksaan yang terselubung.
"M-mas Yas," ucap mereka akhirnya.
"Apaan? Nggak denger!"
"MAS YAS!"
"Tolong sekali lagi!"
"MAS YAAAAAAASSSSS!" teriak mereka keras dan panjang, biar Yas segera puas dan tidak minta-minta lagi.
Theo dan Elang kelabakan mencari tempat pelarian. Sibuk menutupi wajah mereka yang lagi-lagi memerah. Mereka ini sudah mirip anak ABG termakan gombalan maut teman sekelas. Benar-benar bikin malu. Preman kok tersipu-sipu.
Mereka akhirnya kompak keluar dari kamar ini. Menenangkan diri sejenak. Awas nanti kalau Yas minta yang aneh-aneh lagi! Sudah cukup mereka dikerjai oleh Keke dan Namira. Yas jangan ikut-ikutan!
***
TBC