Melunasi hutang ibu

3714 Kata
Aku melihat ke kanan dan ke kiri kemudian menarik tangan Exel untuk keluar sebelum para pelayan datang menyambut kami, aku benar-benar tidak ingin mengambil resiko akan dimarahi atau dicaci maki di depan orang. Walaupun aku miskin, tapi dihina depan orang sudah pernah aku rasakan itu tidak enak sama sekali, aku tidak ingin hanya karena Exel banyak gaya mau makan di restoran mahal aku jadi ikut dicaci maki oleh semua orang di restoran tersebut. “Ada apa?” tanya Exel yang sepertinya tampak bingung karena aku menarik tangannya padahal ia baru saja duduk di kursi dan akan memesan makanan untuk kami. “Begini, sebelum pelayannya datang kita kabur saja. Aku tidak punya uang untuk makan di restoran semewah ini dan aku juga merasa bahwa kau tidak mempunyai uang untuk membayar makanan di sini. Apa kau pernah melihat televisi? Salah satu acara di televisi meliput restoran ini beserta harga makanannya, aku tidak ingin mengambil resiko karena kebanyakan gaya makan di restoran mahal,” ucapku kemudian bersiap-siap untuk berdiri dan kabur dari tempat tersebut. Namun, Exel menahan tanganku dan menyuruhku kembali duduk di hadapannya, sebenarnya aku ingin sekali mengatakan bahwa dia juga jangan mencoba untuk membayarkan makanan di sini karena begitu mahal sementara setiap malam aku melihat dirinya berada di luaran gedung café terus seperti seorang pengangguran yang bingung hendak ke mana. “Duduklah, aku tidak pernah meminta kamu untuk membayar makananmu sendiri. Bila ada laki-laki yang membiarkan perempuan membayar sendiri makanannya saat bersama lelakinya sepertinya ia sudah tidak waras, kau beruntung bahwa aku bukan salah satu dari mereka yang tidak waras,” kata Exel kemudian mengambil buku menu dan menyodorkan satu buku menu lainnya padaku. Aku jadi merasa tidak enak karena sudah meragukan pemuda itu, namun akan lebih baik seperti itu, kan, daripada harus pasrah mencuci piring di dapur dan dimarahi oleh orang yang berjualan. Perlahan tapi pasti, aku membuka buku menu tersebut. Daftar makanan dan minuman yang berada di buku itu membuatku menelan saliva dengan susah payah, aku benar-benar tidak pernah makan-makanan mahal seperti itu. “Aku akan memesan, bagaimana denganmu? Apa yang akan kau pesan?” tanya Exel menatapku dengan tatapan yang sudah mulai mencair tidak sedingin saat kami bertemu. Aku gelagapan kemudian langsung menutup buku menu tersebut dan menaruh kembali di meja. “Samakan saja dengan pesananmu, aku tidak terlalu tahu daftar makanan di sini dan takut tidak cocok juga dengan lidahku,” kataku sambil menunduk memainkan jari-jemariku untuk menghilangkan gugup. “Baiklah,” ucap Exel kemudian ia terlihat mengangkat tangannya dan memanggil seorang pelayan ke arah mereka. Aku hanya melihat Exel yang tampaknya sudah terbiasa dengan hal tersebut, sepertinya penilaianku benar-benar salah mengira bahwa Exel adalah seorang pengangguran yang hanya bisa berdiam di depan café setiap malam. “Exel, gajimu menjadi satpam pasti besar karena bisa mentraktir dan membayarku menjadi kekasih bayaranmu, apakah ada lowongan kerja untuk perempuan menjadi satpam?” tanyaku yang penasaran seberapa besar gaji Exel menjaga gedung tersebut padahal hanya duduk-duduk saja dan bermain ponsel. Aku melihat Exel yang tersedak mendengar ucapanku, aku benar-benar panik dan berdiri untuk menepuk-nepuk punggung pemuda itu agar bisa menyembuhkan batuknya karena tersedak. Setelah aku merasa bahwa Exel sudah lebih baik, aku kembali ke tempat dudukku dan menatap Exel merasa tidak enak karena di hari pertama aku berbicara akrab padanya malah membuatnya tersedak, besok-besok apalagi yang akan aku lakukan padanya? Aku merutuki nasibku yang sangat malang karena sikap cerobohku dari dulu memang tidak pernah bisa hilang bahkan sampai sekarang. Aku kadang saja berbicara tanpa menyaring dahulu kalimat-kalimatku agar lebih halus dan tidak menyinggungku. “Ah, kau benar-benar berbakat membuatku tersedak. Kata siapa aku seorang satpam? Apa wajah tampanku ini terlihat cocok berprofesi menjadi satpam?” tanya Exel dengan wajah yang terlihat kesal. Namun, perkataan Exel tidak kalah membuat kesal, aku bingung memangnya ada undang-undang di negara ini bagi yang bekerja menjadi satpam hanya orang-orang yang terlihat buruk secara fisik. “Hei! Memangnya tampan saja mempengaruhi profesi? Apakah hanya model atau artis yang boleh kinclong? Di zaman sekarang lihatlah pekerjaan rendah namun wajah mereka yang bekerja rendah benar-benar sangat mumpuni. Bisa saja kau juga salah satu dari mereka yang beruntung di wajah tapi tidak beruntung di finansial!” ucapku yang menggebu-gebu. Aku melihat wajah Exel yang terpaku melihatku, apakah aku sekeren itu sampai Exel melamunkan pendapatku yang masuk di akal itu? Aku sadar bahwa pemuda itu melihatku dengan seksama kemudian ia mengalihkan pandangannya. “Kau benar-benar sudah tidak waras, ya? Jika kau miskin ya miskin saja jangan mengatakan itu padaku! Kau akan lihat saat kau masuk kerja di perusahaan Sanjaya! mungkin kau akan pergi mengeong padaku jika kau tahu betapa kaya rayanya orang tuaku! Ah, aku jadi membanggakan perusahan jelek itu lagi,” kata Exel yang memelankan suaranya di kalimat terakhir. Namun, perkataan Exel masih terdengar di telingaku walaupun sayu-sayup. Aku menangkap dengan jelas bahwa Exel tampak sekali tidak menyukai perusahaan Sanjaya entah kenapa padahal itu adalah perusahaan orang tuanya. “Ya, sudah! Aku mau pulang!” ucapku tidak terima dikasari seperti itu pada Exel walaupun memang aku duluan yang memulai pertengkaran itu, namun tetap saja bagaimanapun perilaku perempuan, laki-laki tidak boleh kasar pada perempuan. Exel menarik tanganku dan kembali menyuruhku duduk. “Duduklah! Aku minta maaf, pertanyaanmu benar-benar tidak masuk akal makanya aku mengatakan itu,” kata Exel yang terlihat sekali berusaha untuk mengalahkan egonya demiku. Aku tersenyum penuh kemenangan, memang harusnya laki-laki mengalah pada perempuan walaupun perempuannya salah. Setelah pertengkaran itu akhirnya aku dan Exel makan bersama untuk menenangkan hati. Aku merasa bahwa Exel tidak begitu buruk juga, namun sampai sekarang aku masih penuh pertanyaan di otakku mengapa orang setampan Exel tidak bisa mendapatkan pacar sungguhan? Padahal wajahnya sangat tampan dan jauh dari kata buruk. Sifatnya juga baik, apa ia terlalu pemilih? Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang sedari tadi belum terjawab juga, aku ingin menanyakan hal tersebut pada Exel, namun takut ia tersedak lagi seperti tadi. Aku pun memutuskan untuk menyelesaikan makan malam kami kemudian nanti akan aku tanyakan. “Apakah makanan hanya untuk dilihat?” tanya Exel padaku membuat aku tersadar dari lamunan, rupanya aku sedari tadi sedang menatap piring berisi daging sapi itu tanpa menyentuhnya sedikit pun. Aku hanya menggeleng kemudian langsung makan makanan tersebut yang rasanya benar-benar sangat enak, mungkin karena efek lama juga jadi semua makanan terasa lezat untuk perutku. Setelah kami selesai makan, akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Aku menunggu di luar sementara Exel membayar makanan tersebut, aku melihat Arista dan Vanes yang membuatku kalap dan langsung bersembunyi, rasanya dua orang perempuan itu membuat aku menganggap mereka sebagai momok yang menakutkan. Untung saja mereka tidak melihatku sendirian, begini aku sudah dipermalukan oleh mereka di depan jalan raya seperti ini. Sebenarnya aku sedikit bingung mengapa Vanes dan Arista begitu sering berada di tempat hiburan malam seperti ini, namun saat aku sedang berpikir malah Exel membuatku terkejut. “Hei, kau sedang melihat siapa?” tanya Exel sambil melihat sekelilingku, namun aku hanya menggeleng kemudian kembali menegakkan tubuhku lagi yang sedari tadi membungkuk karena bersembunyi. “Aku harus pulang dan beristirahat. Terima kasih teraktiranmu, makanannya sangat enak,” kataku kemudian melambaikan tangan pada Exel yang masih terdiam di posisinya. Langkah demi langkah aku menelusuri jalanan kota Jogja yang sudah lumayan sepi itu, terkadang aku berpikir untuk apa orang-orang mencari hiburan malam padahal seharusnya mereka beristirahat di malam hari seperti ini. Banyak juga orang mabuk, aku tidak tahu mengapa ada orang-orang yang membuang uangnya hanya untuk membuat dirinya mabuk? Aku rasa mabuk bukanlah sebuah hal yang menyenangkan dan aku yakin itu menyiksa diri. “Jes, bagaimana jika ada orang yang mengajakmu menjadi kekasih bayaran? Dia akan membayarmu dan tidak akan membuatmu layaknya perempuan rendahan, dia hanya butuh kau sebagai kekasihnya di depan gadis yang terobsesi padanya, apa kau terima?” tanyaku saat Jeselyn pulang. Jeselyn tampak menolehku kemudian tertawa, ia tampaknya merasa bingung dengan perkataanku. “Kekasih bayaran tapi tidak diperlakukan layaknya perempuan murahan? Ah, pasti yang menawari itu sudah gila, bayangkan saja dia berani membayarmu seperti itu tapi kau tidak diapa-apakan. Rasanya sangat munafik, bukan?” kata Jeselyn sambil merapikan rambutnya yang terlihat kusut. Aku merenungkan ucapan Jeselyn, rasanya memang ada benarnya ucapan gadis itu dan aku begitu naif mengharapkan bayaran tanpa aku diapa-apakan. “Memangnya kenapa? Apakah ada yang menawarimu sebagai kekasih bayaran?” tanya Jeselyn membuatku menggeleng sambil memanyunkan bibirku, bagaimana bisa aku mengatakan bahwa aku sudah menerima Exel sebagai kekasih bohongan itu? Jeselyn duduk di sampingku kemudian memegang kedua bahuku agar aku melihatnya dengan benar. “Kau pasti berbohong, katakan padaku siapa yang menawarimu seperti itu?” tanya Jeselyn yang benar-benar merasa curiga dengan ekspresku ini. “Pemuda yang sering sekali nongkrong di depan café, ia sering memakai hoodie hitam dan sering membantuku menyebrang jalan selama bekerja di sini. Tadi untuk pertama kalinya dia membantuku dari pembullyan kedua teman masa SMA-ku di diskotik. Setelah dia membelaku, akhirnya dia menawari aku sebagai kekasih bayaran,” ucapku enggan melanjutkan ucapanku. Jeselyn tampak mengangkat kedua alisnya, perlahan ia melepaskan tangannya dari kedua lenganku sambil terlihat berpikir. Jelas sekali gadis itu seperti sulit mengingat orang yang aku maksud. “Pemuda yang sering nongkrong di depan café pakai hoodie hitam? Sepertinya tidak pernah ada karena aku bekerja juga sering sekali pulang di jam-jam kamu pulang tapi tidak ada orang itu,” kata Jeselyn yang membuatku merasa bingung. Jantungku mulai berdegup kencang, apakah benar Exel adalah manusia? Aku berpikir bahwa Exel adalah seorang hantu yang mungkin saja suka padaku. Namun, aku menggeleng cepat karena merasa yakin bahwa Arista dan Vanes melihat sosok Exel makanya mereka pergi dari hadapanku dan meminta maaf. “Benarkah? Beberapa kali aku melihatnya duduk di café juga dan bertemu dengan teman-temannya, aku pikir dia adalah seorang pelanggan. Namun, akhir-akhir ini aku berubah pikiran bahwa mungkin saja cafému merekrut satpam baru yang tidak memakai pakaian satpam dan menyuruhnya untuk berjaga di luar.” Aku merasa aneh karena Jeselyn sama sekali tidak pernah melihat orang yang aku sebutkan ciri-cirinya. “Tidak, aku tidak sedang merekrut orang baru. Satu-satunya pegawai café yang baru hanyalah kau makanya aku meminta sepupuku untuk menambah gaji satu orang karyawan karena itu gajinya hanya kau, tidak ada lagi,” ucap Jeselyn membuatku bertambah bingung. Aku merasakan perasaan tidak enak dan bisa saja ternyata Exel adalah pelanggan yang sudah lama meninggal dan datang menghantuiku karena aku adalah orang baru di café ini. “M—mungkinkah ada pelanggan yang meninggal di café atau diskotik? Dan itu adalah hantunya, bisa saja dia bergentayangan dan mencoba mengerjaiku?” ucapku yang benar-benar penasaran sekali siapa sosok Exel yang sebenarnya karena Jeselyn pun tidak tahu. Tiba-tiba saja Jeselyn tertawa kemudian merebahkan tubuhnya di kasur untuk beristirahat. “Ada-ada aja kamu, sudahlah istirahat daripada berbicara ngaco seperti itu,” ucapnya kemudian mematikan lampu yang berada di samping tempat tidurnya. Aku masih merasa bingung harus bercerita kepada siapa tentang aku yang sudah menerima menjadi kekasih bayaran Exel. Aku takut jika ternyata Exel adalah seorang yang tidak baik dan aku terjebak, aku juga tidak bisa mengatakan ini pada ibu. Besok aku akan bertemu dengan Exel di depan café seperti biasa pagi-pagi sekali karena aku harus ke rumah Pak Burhan untuk melunasi hutang-hutang tersebut. Aku benar-benar seorang gadis naif, namun aku sangat berharap apa pun yang aku lakukan bukanlah sesuatu yang buruk. Aku sudah berjanji pada ibuku bahwa apa pun yang akan terjadi aku akan melunasi semua hutang ibu pada Pak Burhan, tidak mungkin aku membiarkan ibu diperbudak oleh Pak Burhan demi mempertahankan egoku untuk mendapatkan gaji yang halal. Mungkin, ibu akan kecewa karena mempunyai anak sepertiku. Namun, aku benar-benar tidak mungkin melihat ibu menderita diperbudak Pak Burhan hanya karena hutang kami belum terbayar, bagiku yang terpenting sekarang ibu tidak perlu tahu apa yang aku lakukan. Aku jadi tersadar bahwa seperti inilah dulu pengorbanan ibu untuk terus menyekolahkanku walaupun terasa tidak mungkin, namun dengan segenap kekuatan yang tersisa ibu terus berjuang untukku. Sekarang, waktunya ibu memanen semua buah kesabarannya. Aku harus berjuang untuk ibu bagaimanapun sulitnya aku menghadapi kenyataan yang berada di hadapanku. Aku memilih untuk beristirahat agar esok hari aku bisa segera bertemu dengan Exel dan meminta bayaranku setidaknya untuk membayar hutang ibuku saja rasanya aku sudah sangat bersyukur. Perlahan namun pasti aku memejamkan mataku di dinginnya malam ini sambil membayangkan ibuku yang pasti sedang menunggu kedatanganku untuk menyelamatkannya. Napas terasa sesak ketika mengingat bahwa ibuku menderita seperti itu, sebagai seorang anak tunggal sulit bagiku melihat ibu menderita oleh hutang-hutang dengan harapan putri semata wayangnya menjadi orang sukses kelak di masa yang akan datang. Bagaimana perasaan ibu ketika tahu aku dapat melunasi hutang Pak Burhan dari uang aku menjadi kekasih bayaran? Rasanya begitu mengecewakan pasti, namun aku harus melakukan ini karena tidak ada pilihan lain, si lintah darat itu pasti terus-terusan mengganggu ibu sampai aku melunasinya. Malam itu, berlalu begitu saja dan tahu-tahu sekarang sudah pagi aku melihat Jeselyn yang masih tertidur. Aku langsung bersiap-siap untuk ke café dan meminta uang pada Exel, rasanya merendahkan harga diri saat ini bukanlah hal yang memalukan karena ibuku berada di tangan si lintah darat membuatku mengesampingkan gengsi dan egoku. Dengan sangat hati-hati aku keluar dari kamar kost Jeselyn, namun alangkah terkejutnya aku ketika aku melihat Exel yang berada di depan pintu sedang menungguku. Aku melihat dia sedang duduk di kursi di mana anak-anak kost biasanya duduk. Hampir saja aku berteriak karena masih memikirkan Exel adalah hantu atau bukan, jadi aku sangat terkejut karena dirinya ada di depan pintu. “K—kau sedang apa di sini? Ini masih terlalu pagi dan kita berjanji untuk tidak bertemu di sini,” kataku mencoba untuk mengingatkan Exel lagipula aku juga masih bingung mengapa dia tahu tempat tinggalku perasaan kemarin dia tidak mengantarku kembali pulang. “Menunggumu, aku tidak tahu bahwa kau biasa bangun siang seperti ini,” ucap Exel membuatku ingin marah padanya, namun saat aku akan menjawab aku melihat matanya sedikit bengkak sepertinya ia sehabis menangis semalaman. Aku duduk di sampingnya, namun ia terus menghindari tatapanku dengan tudung hoodienya membuatku semakin penasaran mengapa pemuda itu menghindari pandanganku. Dia menarik tanganku dan membawaku pergi dari area kost, aku tidak tahu bahwa dia membawa sebuah mobil dan sekarang aku tahu dia bukanlah orang miskin seperti yang aku duga. Exel terlihat membukakan pintu untukku dan aku masuk ke dalam mobil tersebut, terasa sangat menarik jika aku benar-benar memiliki kekasih bermobil seperti ini. Namun, sayangnya aku harus sadar bahwa aku hanyalah seorang kekasih bayaran bukan kekasih sungguhan yang patut untuk berbangga ria. Ketika Exel sudah masuk, ia masih menatap ke depan jalan raya kemudian menanyakan di mana rumah ibuku. Setelah aku memberitahu akhirnya pemuda itu melajukan mobilnya perlahan menuju rumahku yang berada di sebuah pedesaan. “Apa alasanmu membuat aku menjadi kekasih bayaran? Apa kau tidak bisa mencari kekasih sungguhan untuk menghindari kejaran temanmu itu?” tanyaku akhirnya karena masih merasa penasaran mengapa pemuda itu seperti tidak laku padahal dengan wajah seperti itu seharusnya ia mempunyai banyak perempuan di mana-mana. Exel tidak menjawab pertanyaanku, ia terlihat sangat fokus sekali ke jalanan di depannya sampai aku terabaikan. “Apa kau tidak mempunyai pertanyaan yang lebih berbobot?” tanya Exel membuat aku merasa ingin sekali menghantam wajah tampannya itu, dia tampan dan dingin, tapi sekali membuka mulut seperti gunung berapi yang meletus mengeluarkan lahar panas begitu saja tanpa memandang bulu. Aku menghela napas dan memilih untuk memandang jalanan yang lebih menyejukkan daripada wajahnya, aku juga seharusnya tidak menanyakan hal tersebut karena bagaimanapun juga aku hanyalah kekasih bayaran. Dua kata yang terus membayangiku sejak kemarin dan entah sejak kapan tiba-tiba saja aku sudah akrab pada Exel, kekasih bayaran bukanlah sesuatu yang mudah untuk dijalani karena bagaimanapun aku tidak pernah mengenal Exel begitu pun pemuda itu yang tidak mengenalku, namun kami memutuskan untuk bekerja demi kepentingan masing-masing. “Kenapa tidak mengangkat teleponmu?” tanyaku pada Exel karena sedari tadi ponselnya berdering tanpa henti, itu sangat menggangguku. “Tidak penting,” jawab Exel membuatku merasa kesal sekali, setidaknya jika tidak penting, ia seharusnya tahu bahwa itu mengganggu pendengaranku. Buang atau matikan saja ponselnya daripada menggangguku, namun aku tidak mengatakan itu secara langsung karena aku tahu jalanan di pedesaan ini masih sangat jauh dan jika aku mengatakan itu maka siap-siap saja aku diturunkan di jalan. Aku tidak mengatakan apa pun lagi dan hanya fokus pada keadaan ibu saat ini, entah bagaimana keadaan ibu tanpaku. Aku berencana sisa uang yang diberikan Exel, aku akan membawa ibu ke kota agar aku bisa lebih muda mengurusnya daripada seperti ini sangat mengkhawatirkan. “Hari sabtu besok, aku ada reuni SMA, kau harus ikut denganku. Aku akan memperkenalkanmu sebagai kekasihku di depan mereka semua, karena di sana pasti ada Meriska,” ucap Exel membuat aku menoleh. “Meriska? Gadis yang mengejarmu? Aku melihat Exel yang mengangguk membenarkanku, aku jadi penasaran apakah Meriska seburuk itu wajahnya sampai ia harus mengejar Exel yang sikapnya sangat dingin seperti es di kutub utara. “Aku bingung kenapa Meriska mengejarmu, padahal kau sedingin kutub utara. Apa yang menarik darimu? Jika hanya kekayaanmu, maka banyak yang lebih kaya daripada kau, apakah aku benar?” tanyaku dengan polos, namun aku melihat Exel yang mengangkat sudut bibirnya. Ya, ia tersenyum untuk pertama kalinya! “Kau benar, tapi sepertinya orang kaya lain tidak akan mau dengannya juga karena sangat pecicilan dan tidak tahu malu. Kau akan melihat bagaimana reaksi Meriska ketika aku muncul di acara reuni nanti, makanya aku mati-matian membayarmu agar dia menjaga jarak dan menjaga sikapnya karena aku sudah mempunyai kekasih. Untuk hari sabtu nanti, berperanlah seolah kau adalah kekasih sungguhan, peluklah aku dan jangan ada kekakuan di antara kita,” kata Exel dengan lugas. Aku diam tidak menjawab perkataannya, harus memeluk pria yang tidak aku kenal? Benar kata Jeselyn bahwa tidak ada yang benar-benar tulus membayar kekasih bayaran begitu saja tanpa menyentuhnya. “Bisakah tidak ada peran peluk-memeluk? Aku rasa aku tidak ingin pelukan denganmu,” ujarku dengan pelan, aku takut sekali jika ia membatalkan itu karena ibuku juga sedang membutuhkan uang tersebut. “Aku hanya mengatakan, jika kau rasa memeluk adalah hal yang tepat maka lakukan saja. Jika tidak, kau bisa hanya menggandeng tanganku saja,” kata Exel menekankan kalimat terakhir. Pipiku terasa memerah karena menahan malu padahal Exel tidak mewajibkan hal tersebut, namun aku membantahnya duluan. ‘Kau benar-benar sangat memalukan, Ge’ batinku kesal, mengapa aku harus mengatakan itu seakan Exel mewajibkan aku memeluknya? Rasa kesal menyelubungi hatiku karena lagi-lagi aku ceroboh. Mobil yang dikendarai oleh Exel berhenti tepat di sebuah rumah megah di desa itu. Rumah Pak Burhan memang selalu mengesankan karena terlihat mewah di antara rumah-rumah warga desa yang sangat kecil. “Apakah ini rumahmu?” tanya Exel membuatku menggeleng cepat. “Kalau aku punya megah seperti ini mungkin aku tidak akan pernah ke kota mencari pekerjaan malam seperti itu. Ini adalah rumah si lintah darat yang mengganggu ibuku karena hutang ibu yang belum dibayar padahal aku berjanji bahwa aku akan menyicilnya setiap gajian, tapi ia selalu saja mengganggu ibuku, pantas saja bokongnya tipis,” kataku dengan napas memburu. “Hubungannya sabar sama b****g tipis tuh apa?” tanya Exel membuat aku tersadar dengan ucapanku sendiri. Lagi-lagi aku merutuki mulutku yang sangat tidak terkendali, aku membenci mulutku sendiri rasanya. “Ya, kalau orang sabar itu bokongnya lebar, kalau orang tidak sabaran bokongnya tipis,” kataku dengan kesal kemudian langsung turun dari mobil untuk membuang rasa maluku. Aku bahkan tidak peduli jika Exel tidak suka padaku lagi yang terpenting sekarang uang itu sudah ditanganku dan aku akan ke rumah Pak Burhan untuk melunasi semua hutang ibu. Aku mengetuk pintu rumah Pak Burhan dengan sekuat tenaga, rasanya amarah ini sudah dipuncak. Sementara Exel berada di sebelahku hanya melihat karena ia tidak mempunyai urusan dengan Pak Burhan, mungkin sungkan jika membantuku berteriak seperti ini. “Hei, lagi-lagi kau datang seperti ingin menagih hutang! Ingat kau adalah anak orang miskin, pintuku lebih mahal daripada harga makananmu 1 tahun, berhati-hatilah, Nak!” kata Pak Burhan dengan mata melotot. Aku tidak peduli bagaimanapun orang itu menanggapiku. “Bawa ibuku keluar! Kau lagi-lagi melanggar perjanjian kita, kau sudah setuju bahwa menungguku bekerja dan aku sekarang sudah bekerja. Tapi, mana ada baru saja masuk bekerja satu minggu tiba-tiba gajian! Kau ini punya otak tidak?” kataku dengan gemas sekali, ingin sekali aku merauk wajah itu. “Ibumu akan aku tahan sampai kau gajian, jadi pergilah bekerja dengan benar karena aku tidak akan membiarkan ibumu keluar lagi sebelum kau membayarnya,” kata Pak Burhan dengan santai. Aku langsung mengangguk kemudian mengeluarkan gepokan uang dan melempar ke arahnya. Aku tidak peduli Exel akan menganggapku tidak sopan atau bagaimana, itu urusan nanti karena emosiku sudah meledak-ledak. Aku langsung masuk mendorong tubuh Pak Burhan yang jauh lebih tinggi daripadaku ini, karena di kota aku memakan banyak sekali daging dan makanan bergizi, aku sekarang punya tenaga untuk mendorongnya sesuka hatiku. “Ibu! Ibu di mana?” teriakku yang menelusuri rumah tersebut, benar saja baru aku hendak memeriksa ruangan di rumah itu ibu sudah keluar dengan tertatih-tatih. Wajahnya terlihat sangat lelah dan lecak sekali pakaiannya. Wajah ibu juga sudah sangat pucat membuatku merasa sangat bersalah sementara aku di kota makan enak dan hanya menjual suaraku tanpa tahu ibu sedang dalam keadaan seperti ini. “Astagfirullah, Ibu! Ibu sekarang ikut aku pulang, ya. Aku sudah melunasi hutang Ibu pada Pak Burhan,” kataku yang langsung membantu ibu untuk keluar dari rumah Pak Burhan. “Dasar anak dan ibu sama saja tidak punya rasa terima kasih, jika kalian tidak saya tolong maka siapa yang dapat menolongmu lagi? Gea pasti tidak akan bersekolah jika tidak aku yang memberi pinjaman, namun sekarang kalian benar-benar tidak tahu sopan santun!” kata Pak Burhan membuatku emosi. “Saya sudah tidak bisa sopan lagi pada anda, saya berterima kasih karena saya bisa bersekolah karena uangmu, tapi perjanjian tetaplah perjanjian. Yang memberikan hutang ada hak, begitu pun yang mengutang. Kami berniat baik mencicil hutang kami, tapi kau tidak sabaran, bokongmu tidak akan bisa melebar dan selalu tipis karena kau tidak pernah sabaran!” kataku memaki-maki Pak Burhan kemudian meninggalkan pria itu dengan makianku yang tidak masuk akal. Sementara itu, aku sempat melihat Exel yang seperti menahan tawa. Aku tidak tahu siapa yang ingin dia tertawakan dan aku juga tidak peduli itu. Aku langsung menaiki mobil Exel, namun ibu menahanku seolah bingung mengapa kami harus naik ke dalam mobil tersebut. “Ini mobil siapa, Gea? Kenapa kita harus masuk ke dalam mobil ini?” tanya ibuku dengan wajah bingung. “Ini mobil teman Gea, Bu. Dia juga manager di café jadi dia mengantarku ke sini dan meminjamkan aku uang dengan catatan akan dipotong gaji,” ucapku menjelaskan pada ibu siapa Exel itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN