Deal!

3694 Kata
Setelah aku selesai sholat, aku melihat Jeselyn yang sedang duduk mainan ponselnya. Sebenarnya aku ingin bertanya mengapa ia pulang begitu cepat padahal ia selalu pulang pukul 6 lewat karena harus mengurus beberapa tugasnya yang berada di café dan belum lagi ia sering mengerjakan tugas di café saat café sudah tutup. “Jes, tumben cepat pulang? Apa kamu sakit juga?” tanyaku yang membuat Jeselyn menoleh kepadaku kemudian ia tampak tersadar bahwa aku sudah selesai sholat. “Ah, kamu sudah selesai sholat? Aku tidak sakit, Cuma khawatir aja kamu lagi sakit dan pasti membutuhkan sesuatu. Apa kau butuh sesuatu?” tanya Jeselyn sambil mengedipkan kedua matanya seolah menunggu jawabanku saat ini. Aku menggaruk tengkukku yang tak gatal, aku sedikit sungkan juga jika Jeselyn terlalu baik padaku padahal dia hanyalah teman bukan saudaraku, tapi rasa perhatiannya terasa seperti berlebihan. “Jes, bukannya aku menolak atau tidak suka kamu baik padaku. Hanya saja rasanya perhatianmu sungguh berlebihan, aku hanya mengatakan bahwa aku hanya pusing dan mual, kau tidak perlu secemas ini sampai pulang seperti ini. Kau sudah memberikan tumpangan saja rasanya aku sujud syukur di kota besar ini ada yang mau menampungku dan memberiku pekerjaan.” Terpaksa aku mengatakan itu karena aku benar-benar tidak pernah paham lagi dengan kebaikan Jeselyn. Jeselyn tampak mengerjapkan matanya beberapa kali mencoba menelaah semua perkataanku, aku jadi merasa sangat tidak sopan melakukan itu pada Jeselyn yang sudah jelas-jelas dia adalah orang baik dan itu tidak perlu diragukan lagi. “Begitukah? Apakah kebaikanku berlebihan? Maaf jika aku membuatmu tidak nyaman, kau sudah aku anggap seperti kakakku sendiri. Saat aku tahu usiamu terpaut dua tahun di atasku rasanya aku seperti mempunyai kakak walaupun kita adalah teman sekelas, tapi tetap saja kau seperti kakakku di luar sekolah. Kau juga tahu bahwa kakakku sudah meninggal karena kanker darah, mungkin itu juga yang membuatku merasa cemas setiap kali ada orang yang sakit dan aku sudah menganggap kau sebagai kakakku sendiri,” ucap Jeselyn dengan wajah polosnya itu. Sekarang giliran aku yang mengerjapkan mata berkali-kali. Untuk pertama kalinya Jeselyn mengatakan bahwa ia sudah menganggapku sebagai kakaknya, entah aku harus senang atau sedih. “Bersikaplah sewajarnya, aku tidak merasa kau harus jahat padaku, hanya saja jangan terlalu perhatian dan sampai rela meninggalkan pekerjaanmu hanya demi aku,” kataku mencoba untuk sedikit bernegoisasi karena jujur saja rasanya tidak nyaman dengan kebaikan Jeselyn yang sangat baik tersebut. “Aku tidak meninggalkan pekerjaanku, aku hanya pergi ke sini untuk membawakanmu makanan agar cepat sembuh. Kau harus kembali bekerja besok, jadi jagalah tubuh jangan lupa untuk menjaga staminamu juga agar cepat stabil,” ucap Jeselyn kemudian memberikan plastik berukuran sedang untukku dan meninggalkan kost itu. Aku memang tahu saat aku dan Jeselyn masih duduk di bangku SMP, ia pernah kehilangan kakaknya yang satu sekolah dengan kami. Ya, kakaknya Jeselyn adalah kakak kelasku di sekolah, dia perempuan pendiam bagaikan bumi dan langit dengan Jeselyn yang lincah dan supel. Namanya Katty, dia orangnya pendiam sekali namun berprestasi, aku yakin bahwa Katty hanya dikenal prestasinya bukan orangnya, buktinya banyak sekali jika dulu aku menanyakan di mana Katty? Orang-orang di sekolah pasti menjawab tidak tahu di mana keberadaannya karena tidak kenal Katty secara langsung. Aku melihat bungkusan kecil yang diberikan oleh Jeselyn, untung saja gadis itu membawakanku makanan kecil karena aku sangat lapar. Aku langsung saja menyantap hamburger yang diberikan oleh Jeselyn karena merasa sangat lapar tak tertolong. Jujur saja, aku sangat merasa beruntung bekerja dengan Jeselyn yang baik hatinya sudah tak tertolong. Daripada temanku yang lain yang berada di SMA Global, Jeselyn jauh lebih kaya daripada mereka, namun tidak pernah memamerkan apa pun juga padaku selama ini. Ia justru gemar sekali membantuku yang kesulitan ini, bisa dibilang sebagian masa sekolah aku dibantu oleh orang tua Jeselyn saat masih sekolah di SMP. Namun, jika mengingat pekerjaan ini maka aku kembali mengingat Arista yang sudah mengetahui aku datang ke café tersebut, aku merasa tidak yakin bahwa Arista akan diam dan mengunci mulutnnya. Tidak ada rahasia yang aman selama anak SMA Global yang menyimpan itu secara rahasia, lambat laun rahasia itu seperti terkikis perlahan, walaupun begitu, aku yakin bahwa Arista masih mempunyai sisi baik hati walaupun hanya satu persen yang tersisa. “Ya, semoga saja dia mempunyai satu persen itu,” ucapku pelan, aku masih sangat gelisah dengan pertemuan tidak diinginkan itu. Aku tidak menyangka bahwa ada anak dari sekolahku yang main ke café tersebut, ya aku tahu mereka adalah anak-anak nongkrong yang sangat up to date, namun rasanya ini kebetulan yang sangat aku benci. Setelah kenyang, akhirnya aku memutuskan untuk tidur agar tubuhku kembali bugar esok hari. Jam pulangku selalu saja dini hari, aku sedikit lelah tapi tidak punya pilihan untuk bertahan hidup. Gajiku bulan ini harus aku sisihkan untuk kost terpisah dengan Jeselyn dan juga biaya hidup lainnya, sisanya aku kirim ke ibu dan membayar hutang Pak Burhan sedikit demi sedikit aku yakin bisa melunasi hutang tersebut. Keesokan harinya aku melihat jam dinding yang berada tepat di atas pintu masuk kost tersebut, jam menunjukkan pukul enam pagi, namun Jeselyn belum juga tiba di kost membuat aku keheranan dia sepertinya enggan untuk beristirahat dan terus melakukan hal produktif sepanjang hari. Aku pun dengan cekatan membersihkan kamar kost Jeselyn dan membereskan beberapa hal lainnya hitung-hitung sambil menunggu jam kerjaku lagi dimulai nanti malam. Untuk urusan masak, aku tidak memasak melainkan membeli saja karena Jeselyn tidak mempunyai peralatan masak dan juga dia tidak akan sempat masak sepertiku karena pagi-pagi setelah pulang bekerja, ia juga harus ke kampus untuk pergi kuliah, setelah kuliah dia istirahat sebentar kemudian mengerjakan tugas dan malam kembali bekerja. Beberapa jam sudah berlalu dan aku sudah bersiap untuk berangkat ke café seperti biasanya, walaupun ada sedikit ragu karena bagaimanapun pasti Arista tidak memiliki perasaan walaupun hanya satu persen bahkan setengah persen pun tidak akan ada di hati gadis tomboy itu. “Biarlah, aku harus tetap bekerja demi hutang-hutang ibu,” ujarku mencoba untuk bersemangat dan keluar dari kost tersebut kemudian mengunci pintu kost Jeselyn dengan kunci cadangan milik Jeselyn.’ Aku menunggu jalanan sepi sambil melihat mobil dan motor melintas di depanku, rasa bosan juga karena harus bekerja malam hari. Namun, setelah aku mendapatkan surat kelulusan dan ijazahku, aku akan mencari pekerjaan lain yang waktu produktifitasnya pagi sampai sore hari karena aku benar-benar ingin sekali produktif di pagi hari dan beristirahat di malam hari selayaknya orang normal. Namun, ketika aku sedang melamun, lagi-lagi tanganku ditarik oleh pemuda itu membuatku mau tidak mau menyebrang jalan raya untung saja tidak ada motor atau mobil satu pun di jalanan. Aku langsung menepis tangan itu kemudian menatapnya dengan penuh kebencian sementara pria itu mengalihkan pandangan dengan cepat dan seolah tidak menginginkan aku berada di tempat itu lagi. “Apa kau sudah tidak waras? Kau sebenarnya mau apa? Jika memang kau ingin membantuku seharusnya kau bilang, kau kira aku senang ditarik oleh orang asing sepertimu??” tanyaku dengan nada sewot. Bagaimana tidak sewot, sudah beberapa hari ini dia selalu mengambil tanganku untuk menyebrangi jalan seperti menyebrangi anak kecil saja. Pemuda misterius itu tidak menjawab kemudian langsung pergi dari hadapanku membuatku merasa bingung sebenarnya apa yang disembunyikan olehnya? Apakah dia adalah orang misterius atau satpam baru yang gengsi mengaku dirinya sebagai satpam karena wajahnya yang tampan keren dan tampan tapi harus menjadi satpam seperti itu. “Benar! Dia pasti seorang satpam yang mungkin saja gengsi mengatakan hal itu padaku!” ujarku yang langsung mengambil asumsi bahwa pemuda misterius tersebut adalah seorang satpam café! Aku melangkah masuk ke dalam gedung bertingkat tersebut dengan semangat yang membara alih-alih nanti pulang pasti aku akan bertemu lagi dengan pemuda itu. Namun, aku mendadak berhenti saat melihat Arista dan gengnya berada di pintu masuk sudah menungguku. Rasanya untuk balik arah pun sudah telanjur karena Arista sudah melihatku lebih dulu. “Guys, itu dia si anak orang kaya baru yang katanya suka nongkrong di sini. Kalau gitu, kayaknya kamu sendirian jadi bergabunglah bersama kami,” ujar Arista dengan senyum liciknya yang menghiasi wajah tersebut, aku yakin bahwa setelah lulus dari SMA Global, mereka tidak pernah lagi bermimpi akan menjadi apa karena terbukti seharusnya mereka sedang sibuk belajar untuk masuk ke universitas yang mereka inginkan. Aku perlahan melangkah mundur mengancang-ancang untuk kabur dari hadapan mereka. Namun, dengan cepat Arista dan Vaness menarik kedua tanganku seolah tahu aku akan kabur dari hadapan mereka. Aku memberontak dengan sekuat tenaga, aku tidak akan diam karena ini bukan lagi wilayah sekolah dan kami sudah tidak ada hubungan apa pun. “Hei! Lepaskan aku, anggap saja kita tidak saling kenal. Kau juga pasti jijik denganku, untuk apa kau memegangi tanganku seperti ini? Dasar anak orang kaya tidak punya otak,” teriakku dengan tenaga yang tersisa berusaha uuntuk melepaskan tanganku dari tangan mereka. “Kau tidak punya hak berbicara, miskin!” bisik Vaness yang benar-benar terlihat sangat tidak menyukaiku, aku tidak tahu apa yang salah dengan kemiskinan? Apakah itu merugikan mereka jika aku miskin? “Kemiskinan tidak merugikan orang lain, bagaimana kalian sebenci itu padaku? Aku tidak pernah salah pada kalian,” ucapku yang sesegukan menahan tangis, aku benar-benar ingin lari dari keadaan tersebut. Aku terus memberontak saat aku dibawa ke dalam diskotik, aku benar-benar tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh mereka padaku di ruangan hingar bingar itu. Di dalam hati, aku hanya bisa berdoa pada Allah agar mereka tidak melakukan hal menjijikan seperti yang aku bayangkan. Hati hanya bisa berharap saat ini ada orang yang dapat menolongku dengan kekuatannya dan melepaskanku dari pembullyan ini. Aku tidak paham mengapa Vaness dan Arista senang sekali membullyku padahal aku tidak pernah memiliki salah pada mereka saat masih di sekolah. “Lepaskan dia!” teriak seseorang yang membuat Arista dan Vanes menoleh, termasuk aku yang terkejut siapa yang menyuruh kedua penjahat itu melepaskanku. Aku sangat bersyukur entah siapa yang menyuruhnya melepaskanku, aku harus membalas budi pada orang itu. “Siapa lo? Jangan ikut campur!” kata Arista dengan wajah kesal, terlihat sekali wajah Arista yang sudah siap berantem, aku tahu itu sepertinya Arista dan Vanes tidak memiliki hidup yang baik makanya ia mengincarku untuk dijadikan mainan seperti ini. Aku melihat samar-samar dari kejauhan dan lampu yang redup membuatku merasa bimbang, dipenglihatanku orang itu adalah pemuda yang sering menyebrangiku di depan gedung café tersebut. Namun, di lain sisi aku tidak yakin bahwa itu adalah dia karena memangnya untuk apa dia membelaku seperti ini? Ah, apa jangan-jangan dia adalah seorang keamanan di sini dan karena itu ia menyelamatkanku? Aku terpaku saat melihat pemuda itu yang berdiri di hadapanku dan membuka penutup kepala hoodie yang biasa ia gunakan. Aku merasakan tangan Vanes dan Arista yang mulai mengendurkan cengkramannya di lenganku, mereka terlihat meminta maaf kemudian pergi dari hadapanku dan juga pemuda itu. Pemuda itu tampak melihat Arista dan Vanes sampai mereka benar-benar pergi dari ruangan tersebut. “Terima kasih!” seruku pada pemuda itu, ia tampak menyodorkan tangan kanannya padaku membuat aku merasa bingung sebenarnya apa yang ia maksud, haruskah aku memegang tangan itu atau aku hanya diajak tos? “Apa maksudmu?” tanyaku yang masih menatap aneh tangan besar yang seolah meminta aku memeganginya itu, aku tidak melakukan apa pun hanya sekadar melihat dengan wajahku yang pasti terlihat polos sekali karena tidak pernah diperlakukan itu pada pria. “Jadilah kekasihku, aku akan membayarmu dan kau bisa berhenti bekerja setelah kita sudah tanda tangan kontrak. Kau tidak perlu berpikir aneh-aneh karena aku tidak akan pernah menyentuhmu berlebihan apalagi ke area privasi perempuan. Aku hanya butuh bantuanmu untuk mengaku sebagai kekasihku karena ada seorang gadis yang selalu mengejarku seolah aku adalah kekasihnya. Dengan kau menjadi kekasihku, aku akan aman dari kejarannya, anggaplah ini sebuah pekerjaan untukmu. Aku akan membayarmu lima kali lipat setara dengan lima tahun gajimu di sini, aku juga akan menuruti semua keinginanku asalkan kau mau membantuku, bagaimana?” tanya pemuda itu membuatku merasa tubuhku kaku dan tidak bisa mengatakan apa pun lagi. Untuk pertama kalinya aku merasa sakit hati karena seorang pemuda ingin menjadikan aku kekasih bayaran sebagai pekerjaan menggantikan pekerjaanku saat ini, sungguh hal tersebut benar-benar sangat menyakitkan karena aku adalah seorang perempuan dan jika aku mengambil penawaran tersebut artinya aku sama saja seperti seorang wanita tunasusila. Aku menghembuskan napas pelan mencoba untuk meredam emosiku yang sudah memuncak saat ini dan telingaku juga sudah panas karena hingar bingar lagu diskotik itu seolah membuat darahku mendidih. “Terima kasih karena sudah menyelamatkanku, tapi aku tidak bisa menolongmu. Di sini tempatnya menyewa wanita tunasusila, kau sewa saja mereka karena aku hanya penyanyi café di sini. Kau salah orang,” kataku kemudian hendak pergi dari hadapannya, namun pemuda itu masih berusaha mencegahku agar tidak pergi dan berbicara baik-baik. “Tolong, sekali ini saja. Wanita tunasusila berbeda denganmu, jika aku ingin aku juga bisa menyewa mereka semua semalam, namun aku tidak bisa membawa mereka karena profesi mereka yang seperti itu. Aku tidak ingin memberatkanmu, hanya saja pertimbangkan apa yang aku katakan saat ini anggaplah ini sebuah pekerjaan,” ucap pemuda itu dengan wajah memelas membuatku merasa tidak enak untuk menolak. Wajahnya tampan dan tegas, tubuhnya jangkung dan atletis. Sungguh ciri-ciri seperti itu tidak pantas memelas seperti itu di depan wajahku, aku rasa dia tidak tahu betapa wajahnya memelas seperti itu sungguh menjengkelkan. “Beri waktu aku seminggu untuk aku menjawab,” ucapku kemudian pergi dari hadapan pemuda itu, rasanya aku bingung harus menjawab apa dan bodohnya lagi aku malah mengatakan bahwa beri waktu aku seminggu untuk menjawab pekerjaan aneh itu. Aku tidak mendengar apa pun lagi dari belakang, sepertinya ia menyetujui perkataanku karena ia tidak mengatakan apa pun saat aku pergi dari hadapannya. Aku benar-benar berharap aku bisa memutuskan dalam waktu seminggu sehingga ia tidak perlu menunggu lagi jawaban aku yang tidak ada gunanya. “Kekasih bayaran? Astaga, aku kira itu hanya ada di dunia pernovelan dan perfilman. Ternyata benar-benar ada lelaki tidak waras yang menawariku pekerjaan menjadi kekasih bayaran. Aku yakin itulah sebabnya dia tidak mempunyai pasangan,” kataku dengan yakin seolah tahu apa yag biasa pemuda itu alami. Aku memutuskan untuk kembali bekerja turun ke lantai dasar untuk bernyanyi di café. Jeselyn tampak celingak-celinguk di sekitar ruang ganti membuatku tersenyum kemudian menepuk bahunya agar ia sadar ada orang di belakangnya. “Apa yang kau cari?” tanyaku pada Jeselyn membuat gadis itu tersentak kemudian memukulku pelan. Aku hanya bisa tertawa saja karena ekspresi Jeselyn yang sangat lucu. “Kau ini, aku mencarimu ke mana-mana dan ternyata kau baru saja datang. Giliranmu sedikit lagi, segera berganti pakaian agar aku tidak harus menggantikanmu karena Desra setelah ini akan beristirahat,” kata Jeselyn mendorongku pelan untuk masuk ke ruang ganti. Aku hanya mengangguk dan segera mengganti pakaian, hari ini aku akan menyanyikan beberapa lagu yang sedikit melow. Sepertinya aku akan dikenal dengan penyanyi melow oleh pelanggan café yang sudah sering ke tempat ini. Aku keluar setelah beberapa menit berganti pakaian, sedangkan riasan di wajahku sudah sedari tadi aku pakai di kost Jeselyn agar saat di café tidak perlu merias wajah lagi dan langsung naik ke panggung. Tepat seminggu setelah kejadian di mana aku dibully oleh Arista dan Vaness serta janjiku pada pemuda yang sering menyebrangiku itu, hari ini entah mengapa firasatku tidak begitu baik. Mungkin saja aku merasa tertekan dengan perjanjian yang aku adakan dengan pemuda tersebut yang namanya saja tidak kuketahui. Aku berjalan menelusuri café tersebut dengan langkah lesu, entah aku harus senang atau sedih karena pemuda itu sedari tadi tidak terlihat batang hidungnya. Sebenarnya aku harus bersyukur karena tepat seminggu sejak aku berjanji padanya ia tidak ada di sekitaran café ini, padahal biasanya yang seolah menguntitku dari kejauhan dan mendengarkan nyanyian merduku di malam hari. Beberapa kali aku menghela napas pelan seolah ingin mengeluarkan semua beban yang berada di dalam hatiku saat ini. Rasa sakit saat pemuda itu menawariku sebagai kekasih bayaran adalah hal yang paling sulit aku lakukan, apakah gadis miskin akan diperlakukan seperti itu selamanya? Kenapa harus aku yang ditawari menjadi kekasih bayaran? Apakah wajahku benar-benar sangat membutuhkan uang? Terkadang aku berpikir bahwa tidak seharusnya aku lahir karena bagaimanapun juga aku berjuang, semua orang pasti menganggapku remeh. Aku tidak menyerah, namun rasanya ini sulit sekali aku pendam sendiri. Baru saja aku akan mengambil tasku dan berniat segera pulang karena jam kerjaku juga sudah usai, tiba-tiba saja ada seseorang yang menarik tanganku ke suatu tempat yang sedikit tidak ramai, ruangan tersebut menyaksikan bagaimana aku terkejut melihat pemuda yang baru saja aku pikirkan sudah di hadapanku. Aku jadi merasa bahwa dia bisa membaca pikiranku, jika itu benar maka akan sangat mengerikan berhubungan dengan orang yang bisa membaca pikiran sepertinya. “Bagaimana? Apa kau sudah memutuskan untuk menjadi kekasihku atau tidak?” tanya pemuda itu dengan tatapannya yang seperti biasa sangat mengintimidasi, namun kali ini dia datang dengan bau alkohol yang sangat menyeruak di indra penciumanku. Aku menjauh karena tidak bisa mencium alkohol tersebut, aku jadi ragu untuk menyetujui hal itu mengingat sepertinya dia bukanlah orang baik-baik. Sepertinya dia juga suka sekali minum alkohol, buktinya saja wajah pemuda itu terlihat memerah. Aku terdiam sebentar merasa bingung harus menjawab apa, namun saat aku sedang berpikir tiba-tiba saja ponsel di sakuku berbunyi membuat aku harus mengangkat telepon tersebut. “Halo, assalamualaikum Bu Dar, ada apa?” tanyaku dengan nada halus dan menjauh dari hingar bingar café tersebut. Namun, kabar buruk yang dibawa oleh Bu Dar membuatku merasa terpukul di malam hari seperti ini. Aku tidak tahu harus mengatakan apa saat nama Pak Burhan disebut lagi oleh Bu Dar, jantungku benar-benar terasa ingin copot saja. Bu Dar memang yang meneleponku terus karena ibuku tidak mempunyai ponsel dan juga tidak paham mengenai teknologi. “I—Ibu dibawa lagi sama Pak Burhan? Bagaimana bisa, Bu? Kan Gea sudah mengatakan pada Pak Burhan jika Gea akan melunasi hutang tersebut jika Gea gajian, Gea baru saja masuk kerja bagaimana bisa Gea sudah gajian? Apa Bu Dar tidak punya uang untuk menalangi saja hutang ibuku seperempat saja, bulan depan akan Gea ganti semuanya,” kataku yang benar-benar kalap karena malam ini ibuku baru saja dibawa lagi oleh Pak Burhan. “Ah, begitu, ya. Baiklah Bu Dar, terima kasih sudah mengabari, InsyaAllah besok Gea ke sana, assalamualaikum,” ucapku menghela napas pelan, aku merasa kesal sekali dengan Pak Burhan yang sudah memanfaatkan hal ini. Pasti tetangga di kampungku sudah tahu bahwa aku sudah bekerja dan pasti ada tukang gosip yang mengadukan hal ini pada Pak Burhan atau lebih parahnya lagi memfitnahku. Pemuda yang sedari tadi aku punggungi sekarang telah berada di hadapanku, aku tahu ini saat yang tidak tepat. Bagaimana bisa aku menolak gaji setara lima tahun aku bekerja di sini yang akan dibayarkan secara kontan oleh pemuda yang berada di hadapanku? “A—apa Lihat-lihat? Kau pasti sedang menguping?” tuduhku dengan mata melotot, rasanya kesal sekali jika melihat pria itu yang seolah menjadi seorang pahlawan untukku. “Aku tidak menguping, suaramu terlalu besar untuk ukuran tubuh sekecil dirimu,” ucapnya dengan tatapan menghina. Benarkah seperti itu atau dia sedang mengarang cerita? Namun, aku tidak peduli karena tadi aku benar-benar sangat kalap mendengar kabar bahwa ibuku dibawa oleh bandit-bandit itu. Aku tidak menjawab ucapannya yang terdengar tidak berguna itu, otakku masih memikirkan bagaimana keadaan ibuku. Rasanya aku ingin pulang sekarang, namun tempatku tinggal sebuah pedesaan dan mengerikan jika pulang malam seperti ini terlebih aku tidak memiliki kendaraan pribadi, seorang gadis pula. “Aku tidak sengaja mendengar bahwa kau butuh uang, bagaimana jika kau menerima saja menjadi kekasih bayaranku? Tugasnya juga sangatlah mudah, kau hanya berpura-pura menjadi kekasihku sampai gadis itu menyerah mengejarku, bagaimana?” tanya pemuda itu dengan senyumannya yang tidak bisa aku pungkiri bahwa dia sangatlah menarik dipandang mata. Aku melihat wajah itu kemudian menghela napas pelan berusaha berpikir, jika aku merepotkan Jeselyn lagi bukankah itu sungguh keterlaluan? Gadis itu sudah sangat banyak membantuku apalagi sekarang makanku juga ditanggung olehnya karena aku masih belum mendapatkan gaji. “T—tapi kau harus berjanji bahwa kau tidak memperlakukan aku seperti wanita tunasusila di diskotik ini, biarkan aku juga bekerja di café ini sebagai penyanyi agar aku bisa melakukan hobiku dengan baik,” kataku mencoba untuk bernegoisasi, andai saja memang negoisasiku berhasil maka aku akan mendapatkan uang banyak dan bisa mengganti hutang ibuku di Pak Burhan. “Kau tidak bisa bekerja di café ini lagi karena bagaimanapun gadis itu akan tahu pekerjaanmu dan meremehkanku karena aku hanya mendapatkan seorang wanita café, bekerjalah yang lain atau lamar pekerjaan di kantorku agar terlihat lebih keren. Kau sudah pasti masuk ke kantorku jika kau menyetujui perjanjian ini,” ucapnya dengan wajah sumringah. Aku terdiam mendengar ide gila pemuda yang sama sekali belum aku ketahui siapa namanya, namun ide pemuda itu tidaklah buruk. Lagi pula pekerjaan ini hanyalah sementara untukku dan tidak selamanya aku ingin bekerja di sini. “Baiklah, deal,” ucapku sambil mengulurkan tanganku. “Pilihan yang cerdas, oh iya perkenalkan namaku Exel Sanjaya, kau bisa memanggilku dengan nama Exel, bagaimana denganmu?” tanya pemuda itu yang ucapannya sudah terdengar lebih santai daripada tadi. “Gea Alesandria, panggil saja Gea,” ucapku menyebutkan nama lengkapku, nada suara Exel benar-benar sudah lebih hangat setelah perkenalan itu, sepertinya dia memang hanya dingin jika belum mengenal seseorang secara akrab. Setelah mengatakan itu, kami pun memutuskan untuk pergi ke sebuah restoran ternama yang berada di dekat café tersebut. Sebenarnya aku tidak ingin ke restoran itu karena aku tahu restoran yang kami tuju benar-benar sangat mahal dan aku tidak mempunyai uang untuk membayar makananku sendiri. “Kau yakin ingin ke restoran ini?” tanyaku mencoba untuk meyakinkan diri. “Ya, di sini makanannya sangat enak dan aku menyukainya, aku juga jamin kau akan menyukai makanan di sini,” ucap Exel dengan sangat yakin padahal kalau saja dia tahu yang aku pertanyakan bukan masalah makanannya, tapi harganya. Bagiku makan tempe pun tidak akan jadi masalah selama aku bisa membayar tempe itu. “I—ini sangat mahal aku tidak bisa membayar makanannya,” gumamku dengan nada pelan, aku yakin Exel tidak bisa mendengarku. Namun, ternyata ia tetap menarikku untuk masuk ke dalam membuatku lebih kalap lagi. Aku beberapa kali mencoba untuk menghentikan langkahnya agar tidak membawaku masuk lebih dalam lagi apalagi memesan makanan untukku karena rasanya tidak lucu jika aku harus mencuci piring jika nanti makan dan tidak bisa bayar. Aku melihat Exel sehari-hari di area café tempatku bekerja dan aku sudah menduga bahwa Exel tidak mempunyai finansial seberuntung wajahnya yang tampan itu. Bagaimana jika nanti kita berdua akan disuruh cuci piring atau lebih memalukan lagi harus menghadapi amarah yang punya restoran di depan pelanggan di restoran tersebut?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN