Seorang Lelaki

2755 Kata
Hari ini rumah saya kedatangan seseorang. Awalnya saya ndak tahu apa-apa. Ketika saya asyik menggoreng tempe, simbok datang dari pasar. Jadwal kerja kami berbeda. Saya punya jadwal pagi buta untuk menghitung ikan-ikan. Setelah selesai dengan acara catat-mencatat, ikan-ikan itu dilelang dan dijual. Simbok bagian distributornya. Ah, itu istilah keren dari saya, kok! Sama saja, toh? Perantara begitu, dari nelayan ke konsumen. Saya mengerjap beberapa kali. Apalagi ketika ada personil baru yang muncul di rumah saya. Simbok yang membawanya. Entah dari mana asalnya, tapi saya bisa menyimpulkan kalau orang ini bukan dari desa kami. Desa kami kecil, penduduknya juga hanya terdiri dari lima RT saja. "Ndalu!" Simbok menepuk bahu saya sejenak. Saya menoleh ke arah simbok. Hari ini ikan yang datang ndak terlalu banyak, jadi saya bisa pulang lebih awal. "Iya, Mbok?" "Kenalan dulu sana!" Saya menatap orang yang datang bersama simbok itu. Wajahnya lusuh berdebu, bajunya sobek di bagian perut. Celananya kumal sekali. Lalu sebuah pemikiran melintas di otak saya... "Mbok, yakin dia bukan orang gila?" tanya saya spontan. Wajar, lah saya bertanya begitu! Tampilan lelaki itu mencurigakan sekali. Kumal mirip orang gila. Sudah begitu dia hanya bisa nyengir. Saya yakin kalau dia orang gila! "Hush, ngawur kamu! Dia bukan orang gila! Sama duit aja tahu, kok!" "Lah, Mbok... orang waras juga bisa jadi gila kalau lihat duit, Mbok. Semua orang bisa gila kalau sama duit. Orang gila apalagi!" Saya mengeluh. Simbok menyenggol lengan saya. Saya kembali memperhatikan lelaki itu. Sesekali mata saya mengerjap pelan. Lalu sebuah pemikiran melintas begitu saja. Saya mendekat ke arah lelaki itu. Usianya mungkin lebih tua daripada saya. Atau saya saja yang punya wajah baby face? Ndak, ndak... saya yakin kalau dia memang lebih tua. Saya mengalihkan poni panjang yang jatuh di wajahnya dan melihat wajah asing itu dari dekat. Kalau orang gila, badannya ndak sekeren ini. Masa iya dia ikut gym biar kece? Orang gila ini ganteng, eh! "Kenalin, Ndalu! Dia Wowo. Simbok kenal sejak semingguan yang lalu. Dia kerja di pasar, makanya badannya kotor gitu. Tiap hari angkut-angkut sampai bajunya sobek. Simbok kasihan, jadi Simbok tanya dia tinggal dimana." Simbok mengambil alih tugas saya menggoreng tempe. "Ah, ternyata bukan orang gila! Maaf, Mas." Saya benar-benar merasa bersalah. Lah ya jangan salahkan saya, toh! Dia sendiri yang muncul bersama simbok dengan tampilan kumal dan baju sobek begitu! Dia tersenyum. Duh, makin ganteng deh, Mas! Mandi dulu sana! Simbok tersenyum dan kembali mengajak Mas Wowo masuk. Simbok menyuruh dia mandi. Ketika Mas Wowo mandi, kami mulai berdiskusi. Simbok ini terlalu baik apa, ya? Kok ya sudah mempercayai orang asing untuk ikut pulang ke rumah. Diajak nebeng, lagi! Saya curiga! Curiga! "Kok Simbok percaya ke dia? Dia kan orang asing! Kalau dia sengaja memanfaatkan kita bagaimana?" tanya saya cepat. Simbok menggeleng ndak setuju dengan kecurigaaan saya. Simbok selalu saja begini. Selalu baik hati pada orang yang membutuhkan, tanpa mengetahui motif utama orang itu. Kali ini simbok dengan entengnya mengajak Mas Wowo ke rumah. Apa itu artinya... "Gini, Ndalu... Simbok minta maaf karena bawa orang asing tanpa persetujuan kamu sebelumnya. Simbok lupa belum cerita. Namanya saja orang tua, toh? Karena itulah Simbok ingin ngomong sesuatu. Ndalu, dia baik banget sama Simbok. Dia kerja di pasar dan butuh kos katanya. Selalu bantu angkut-angkut tanpa minta imbalan. Wowo nanya ke Simbok awalnya dimana ada kos atau kontrakan murah. Lalu Simbok ingat kalau di rumah kita ada satu kamar kosong. Ini juga bisa kita pakai sebagai sumber dana." Saya menerima dengan ikhlas semua penjelasan simbok, hanya saja... "Yakin kalau Simbok akan tega?" Raut wajah simbok saya berubah. Niatan simbok ini sudah saya terima dan saya mengerti dengan baik. Simbok hanya ingin menampung Mas Wowo di rumah, ndak lebih. Lagipula Mas Wowo ini juga ndak terlihat seperti orang jahat. Terlihat seperti gembel iya. Begitu pintu kamar mandi terbuka, saya melongo. Mas Wowo mengerjap pelan ke arah kami. Simbok dan saya menelan ludah. Di depan kami berdiri seorang lelaki. Dia ndak memakai baju, hanya memakai celana pendek. Tubuhnya masih basah. Oh, Dragon! Perutnya kotak-kotak! Simbok, ini konspirasi! Saya ndak terima ini! Kok dia bisa punya perut begitu? Kok perutnya bagus? Kok... Dan mata saya kembali memindai bagian tubuh lainnya. Duh, Gusti! Mas Wowooooo... kok ya Mas terdampar di desa pelosok begini? Mas itu ganteng, cocok kalau muncul di TV sebagai aktor atau minimal jadi model iklan cemilan. Mas Wowo... kok ya ganteng panjenengan, Mas! Hidungnya mancung, rahangnya tegas, alisnya tebal, matanya tajam. Duh, Gusti! Kalau bisa saya minta yang seperti ini lagi! "Ma... Makan dulu, Mas." Saya menawari dengan gugup. Ndalu, kamu ini kenapa, toh? Kamu mulai ndak waras apa? Dia itu lelaki, sama sepertimu. Ah, tapi kan wajar kalau kagum dengan lelaki lain. Mas Wowo ini memang pantas untuk dikagumi, kok! "Iya..." Astaga, Komodo! Suaranya pun seksi! Duh, Simbok! Terima kasih sudah membawanya ke rumah. Ini ibarat rumah kita dijadikan penginapan artis. Simbok tersenyum ketika saya melongo takjub. Ini konspirasi, Simbok! "Mari makan, Dek Ndalu!" Dia tersenyum pada saya. Simbok, dia memanggil saya 'Dek'! Dia menjadikan saya adiknya. Simbok ndak masalah kalau punya anak satu lagi, toh? Simbok menyenggol lengan saya. Saya menoleh sekilas dan nyengir. Kami makan bersama setelah itu. Meski menunya sederhana, tapi rasanya lebih nikmat daripada biasanya. Ini indah sekali, Gusti! Setelah makan, Mas Wowo membantu simbok mencuci piring. Orangnya gesit juga ternyata. Bahkan Mas Wowo juga menyapu rumah. Simbok sudah menunjukkan kamar barunya dan lelaki itu sudah mulai beres-beres di sana. Pantas saja simbok luluh dengan Mas Wowo ini. Orangnya ramah, rajin, dan juga santun. Saya ndak tahu kalau pada akhirnya dia bisa bertingkah manis begini meski masih baru kenal. Mas Wowo ini tipikal lelaki ceria dan ramah lingkungan. "Jadi begitu, Mas." Saya membuat sebuah epilog. Mas Wowo mengangguk mengerti. Saya sudah menjelaskan banyak hal soal peraturan dan kesepakatan di rumah ini. Mas Wowo kami bebaskan biaya sewa, namun Mas Wowo harus ikut iuran untuk biaya makan, air, dan listrik. Adil, toh? Dimana lagi ada harga semurah dan seramah ini? Kami juga membebaskan Mas Wowo untuk tinggal kapan pun dia mau, asal dengan peraturan mengikat lainnya. Mas Wowo dilarang melakukan perbuatan asusila dan tercela lainnya. Seperti mencuri, zina, dan sejenisnya. "Mas mengerti, Dek Ndalu." Duh, Gusti! Kok tiap kali dia panggil saya, saya jadi deg-degan ndak karuan begini, ya? Saya kan galau dan pusing setengah nafsu begini. Jadi malu-malu sendiri. Apalagi wajah ganteng Mas Wowo itu njawani banget. Tersenyum tapi penuh dengan sopan santun. Tertawa tapi renyah. Bicara tapi lembut. Meski saya kira awalnya dia gila. "Kalau begitu selamat datang di rumah kami ya, Mas!" Saya tersenyum lebar. Mas Wowo mengangguk lagi. Saya masih ingin bertanya banyak hal soal asal-usul Mas Wowo. "Saya boleh tanya?" Saya mencoba untuk ndak membuatnya tersinggung. Masa iya baru kenal sudah tanya-tanya urusan pribadi? Saya bukan tipe orang yang berani berbuat seperti itu! "Boleh. Apapun, Dek Ndalu!" Apalagi sama Mas Wowo yang santun dan juga mengayomi begini! Saya jadi sungkan sekali. Tapi kata orang kan tak kenal maka tak sayang. Kalau sudah kenal sayang-sayangan boleh, ndak? "Mas ini asalnya dari mana? Kok bisa sampai di desa kami ini bagaimana ceritanya?" Saya mencoba membuat sebuah pertanyaan halus. Mas Wowo tersenyum lebar dan akhirnya mulai mengambil napas. Sepertinya cerita ini agak panjang. "Mas berasal dari luar desa, Dek Ndalu. Di kampung dulu Mas ndak punya kerjaan, jadi merantau. Kok ya di desa ini Mas nyaman, akhirnya tinggal di sini." "Kampung mana itu, Mas?" "Kalau Mas bilang kampungnya, Dek Ndalu ndak akan mengerti. Tapi kalau Mas sebutkan ciri-cirinya, mungkin Dek Ndalu paham." "Iya, dimana?" "Lereng Merapi." Oh, Gusti! Ini namanya sungguh kebetulan. Dulu saya pernah tinggal di sana, jadi saya tahu bagaimana rasanya tinggal di lereng gunung dan pindah ke pantai. Dari yang dingin-dingin pindah ke yang panas-panas. "Simbok saya dulu juga pernah tinggal di daerah sana, Mas." Meksi saya tahu kalau lereng gunung Merapi itu ndak selebar daun kelor, tapi saya yakin kalau Mas Wowo dan simbok saya setanah air. Senasib sepenanggungan. Kami mulai mengobrol akrab. Mas Wowo juga orang yang mudah diajak bercanda. Selera humornya receh. Tiap kali saya bicara, dia selalu tertawa. Padahal jelas-jelas ndak ada yang lucu dari obrolan kami. Saya ngomong biasa, tapi Mas Wowo ini selalu tertawa. Saya memang baru kenal dengan Mas Wowo, tapi kok rasanya saya pernah melihat dia di suatu tempat. Sudah ndak asing begitu rasanya. Mas Wowo seperti seseorang yang pernah saya kenal. Siapa, ya? Ayo ingat-ingat, Ndalu! Siapa? Siapa? Ah, saya ingat! Tukang angkut-angkut ikan di pasar! Mas Wowo ini mirip sekali dengan orang itu. Duh, Ndalu! Itu memang pekerjaannya! *** Sebenarnya saya ndak pernah keberatan dengan kehadiran Mas Wowo. Sama sekali ndak pernah. Mas Wowo orang yang baik, kok! Meski akhir-akhir ini tingkahnya jadi agak berbeda dari sebelumnya. Mas Wowo yang dulu sukanya diam dan tertawa, sekarang ndak lagi. Dia masih punya selera receh di humor, tapi dia bukan lelaki pendiam lagi. Dia mulai agak banyak ngomong. Simbok senang sekali mengobrol dengan Mas Wowo, hingga saya kadang jadi iri. Sebenarnya ndak ada yang berniat merebut simbok dari saya, hanya saja saya terlalu sensitif. Hal paling menyebalkan yang sering Mas Wowo lakukan adalah dia sering nongol secara misterius. Kemunculannya itu ndak bisa diprediksi. "Mas ngapain di sini?" Saya shock. Ketika saya sudah berbugil ria dan mencuci muka, seseorang sudah berdiri di samping saya. Mas Wowo! Pintu kamar mandi rumah kami memang ndak ada kuncinya, tapi semua tahu kalau tertutup artinya ada orang. Hanya saja Mas Wowo ini selalu asal masuk begitu! Kalau sekarang saya memang sedang bugil dan cuci muka. Kalau saya sedang eek bagaimana? "Cuci muka, Dek Ndalu." "Ndak lihat saya lagi mandi?" "Lihat." Mas Wowo menunduk, memperhatikan timun saya di s**********n. Lelaki itu lalu tersenyum geli. Asem! "Kok masih masuk?" "Kan kita sama-sama lelaki, Dek Ndalu. Jadi Mas ndak masalah kalau harus berbagi kamar mandi." "Saya bugil, Mas!" Saya sudah menyambar handuk dan menutupi bagian tubuh bawah saya dengan itu. Mas Wowo ini kadang ndak tahu malu. Sangat! Awalnya saya menganggap itu ndak masalah. Kami kan sama-sama lelaki, jadi seharusnya ndak ada masalah. Tapi lama-lama kok ya... "Kalau simbok yang mandi bagaimana?" "Kalau simbok selalu ninggalin sandal di depan. Lagi pula sekarang simbok masih belum datang." Saya menunggu Mas Wowo selesai dengan acara mencuci mukanya. Begitu selesai, dia berbalik dan memutuskan untuk keluar lebih dulu. Sebelum dia pergi, dia menoleh ke arah saya dan tersenyum lebar. "Dek Ndalu badannya bagus, ya!" Asem! Tingkah aneh Mas Wowo ndak hanya bertahan sampai di sana. Dia juga sering menyelinap di balik selimut saya ketika tidur. Saya terbangun tengah malam ketika merasa sesuatu seperti sedang menelusup ke dalam selimut saya. Tentu saja, Mas Wowo seperti biasanya. "Ngapain Mas di sini? Mas sudah punya kamar sendiri. Kamar Mas juga lebih luas daripada kamar saya!" Itu kalimat yang saya ucapkan tiap kali Mas Wowo bergerilya. Perang gerilya ini terjadi malam-malam, sama seperti kelakuan Mas Wowo yang abnormal ini. "Dingin, Dek Ndalu!" Astaga, Dragon! Daerah pantai itu panas! Mana ada dingin begini? Saya saja sampai tidur telanjang d**a begini. Mas Wowo ndak peduli. Saya juga ogah berdebat malam-malam. Saya sering ngadu ke simbok soal ini, tapi simbok malah tertawa. Ndak apa-apa katanya. Kan sama-sama lelaki. Selain itu simbok juga sangat bersyukur. Akhirnya saya punya teman dekat untuk berbagi. Dulu saya punya teman, tapi ndak sedekat ini. Iya, lha wong ndak serumah. Beda, lah sama kasus dengan Mas Wowo ini. "Sekarang Ndalu punya tandingan." Itu kata simbok. "Tandingan dalam hal apa ini, Mbok?" "Dulu Ndalu yang sering bikin Pak Kampung marah-marah, sekarang Ndalu dapat balasannya." "Itu namanya hukum karma ya, Mbok?" Saya mengeluh sedih. Simbok mengangguk cepat, setuju. Saya pasrah akhirnya. Saya sempat bingung dengan kelakuan Mas Wowo ini, tapi saya ndak mau marah-marah. Mungkin dia memang seperti itu dan saya sudah coba untuk memaklumi. Bahkan ketika siskamling sekalipun, Mas Wowo ikut. Jam terbang Mas Wowo ini lebih banyak daripada saya. Di pasar dia jadi komponen penting untuk mengangkuti ikan. Dia juga membantu pembeli yang datang ke pasar lelang untuk mengangkut belanjaannya. Mas Wowo ndak pernah merasa lelah. Saya sendiri sempat bingung awalnya. Tugas saya hanya mencatat dan membantu menghitung, tapi rasa lelahnya ndak bisa dijamah dengan kata-kata. Tetapi Mas Wowo ini luar biasa. Ketika saya siskamling pun, dia juga ikutan ngintil. "Mas ndak capek? Kan tadi kerja. Kalau saya besok libur, jadi bisa ikut siskamling," ucap saya pelan. Mas Wowo menggeleng pelan. "Kan Mas pengen nemenin Dek Ndalu." "Ndak perlu, Mas. Ada bapak-bapak lain juga, kok." "Pokoknya Mas pengen ikut!" Mas Wowo berkata tajam. Duh, kalau dia sudah berkata begitu, saya saja ndak akan pernah bisa memaksa. Mas Wowo itu selalu punya aura mutlak yang ndak bisa dibantah oleh siapapun. Mungkin dia lahir di weton yang panas. Jumat wage misalnya. Sebenarnya saya ingin menemui seseorang. Minggu kemarin saya bolos siskamling karena sudah terlalu lelah. Sekarang saya ingin menemui orang itu dan meminta maaf. Saya kangen sekali dengan Mas Segawon. Kalau ditanya pilih Mas Segawon atau Mas Wowo, saya jawab saja dua-duanya. Saya senang dengan Mas Segawon, tapi juga senang dengan Mas Wowo. Dua-duanya menempati tempat tertentu di hati saya. Tapi sekarang saya ndak bisa menemui Mas Segawon! Kemarin-kemarin Rangga, sekarang malah Mas Wowo! Maunya apa, sih para lelaki ini? Saya ingin bertemu dengan Mas Segawon dan memeluknya. Astaga, Dragon! Astaganaga! Saya kangen dengan Mas Segawon! "Oh, ini Mas Wowo, ya?" Pak Yu mengajak Mas Wowo kenalan. Bapak yang lain juga menyambut baik kedatangan Mas Wowo. Mereka berkumpul akrab. Kali ini para bapak sangat nyambung ketika mengobrol dengan Mas Wowo. Mereka membahas macam-macam, mulai dari ikan-ikan, lalu soal pemasaran ikan, dan hal-hal perikanan lainnya. Saya tahu soal ikan-ikan, tapi saya ndak terlalu ahli dalam hal itu. Saya golput. "Saya keliling dulu ya, Pak!" Saya berdiri. Mereka semua menatap saya bengong. "Kok buru-buru, Mas?" "Biar pulangnya ndak malam-malam, Pak. Biar Mas Wowo di sini saja, jangan ikut!" Saya melarang Mas Wowo ikut. Lelaki itu hanya mengerjap ke arah saya dan kembali bermain kartu dengan Pak Yu. Syukurlah dia ndak gila macam Rangga waktu itu! Saya melangkah cepat, bahkan sedikit berlari. Ketika sampai di tempat favorit saya waktu itu, tempat itu sepi. Entah sudah berapa lama saya ndak pernah mengunjungi tempat ini. Rasanya kangen sekali. Kangen pada orangnya, sih! Saya mencoba mencari keberadaan Mas Segawon. Saya memanggilnya, namun dia ndak muncul juga. Mungkin saya terlambat. Saya sudah janji akan datang kemari, tapi minggu kemarin saya ingkar. Mas Segawon pasti marah dan kecewa, lalu pergi akhirnya. Karena apa yang saya cari ndak ada, akhirnya saya kembali dengan wajah kecewa. Saya benar-benar putus asa. Saya ndak tahu bagaimana cara menemui Mas Segawon lagi. Ketika saya sampai di poskamling, mata saya mengerjap pelan. Mas Wowo masih sibuk bermain kartu dengan Pak Yu. "Tumben cepet, Mas. Biasanya baru balik menjelang subuhan." Pak Yu bertanya pelan. Saya mengangguk. "Ndak ada, Pak." Saya berbisik kecewa. "Hm? Ndak ada apanya?" Saya menggeleng pelan. "Kok kebetulan datangnya barengan sama Mas Wowo?" Pak Agus menyenggol lengan saya pelan. Saya menoleh spontan. Terkejut sedikit. "Barengan gimana, Pak?" "Tadi Mas Wowo juga baru keliling." Saya tahu apa yang terjadi sekarang! Ternyata Mas Segawon ndak datang dan muncul karena tahu kalau ada orang yang mengikuti saya! Dasar Mas Wowo ini! Ndak tahu apa kalau saya ingin bertemu dengan Mas Segawon?! Pasti Mas Segawon enggan menemui saya karena tahu ada Mas Wowo yang ngintil! Saya mengerjap beberapa kali dan mencoba untuk ndak marah-marah sekarang. Bisa gawat kalau sampai para bapak ini tahu saya sedang menemui seseorang. Begitu jam jaga kami usai, saya berjalan beriringan dengan Mas Wowo. Kami melangkah pulang sebelum azan subuh. Para nelayan biasanya sudah pulang jam segini. Kali ini saya ingin bertanya banyak hal pada Mas Wowo. "Jelaskan!" ucap saya ketus. Mas Wowo menoleh ketika saya menghentikan langkah. Lelaki itu mengerjap beberapa kali dan tersenyum ndak berdosa. Dia ndak sadar dosanya apa? Apa perlu saya tabok dulu? "Jelaskan apa, Dek Ndalu?" "Mas Wowo dari mana?" "Poskamling." "Bukan itu jawaban yang saya inginkan." "Tapi itu jawaban yang benar, Dek Ndalu!" Asem! Ini namanya karma. Dulu Pak Kampung sering bete kalau saya menjawab pertanyaan dan mengajukan pertanyaan balik. Sekarang saya mendapatkan orang setipe saya, namun dalam formasi lebih manly dan lebih jleb. "Pak Agus bilang katanya Mas Wowo ikut saya!" Mas Wowo mengangguk. "Ah, yang tadi, ya? Mas emang buntuti kamu, tapi bukan buat keliling. Mas hanya mau pipis, kok." "Dusta." "Apa ada bukti kalau Mas dusta ke kamu, Dek Ndalu?" Nah, loh! "Lalu Mas pipis dimana?" Alis Mas Wowo naik sekian centi. Dia tersenyum lebar sekali. Saya mengernyit karena kesal dengan jawaban Mas Wowo. Sekarang saya sedang ndak ingin bercanda, tahu! "Kamu ingin tahu Mas pipis dimana? Mau lihat jejaknya, ndak? Mungkin masih ada." Gila! Omongan nyelekit Mas Wowo ini kok bikin baper begini. Omongannya agak gila sampai saya ndak bisa mendebat balik. Pokoknya saya serba salah kalau ngomong sama Mas Wowo. Dia berhasil membuat saya mingkem seketika. "Saya curiga sama Mas Wowo." "Silakan." Kok malah silakan? "Mas Wowo, siapa Mas sebenarnya?" Saya bertanya cepat. Bukan apa-apa, saya hanya curiga dan takut kalau Mas Wowo ini berasal dari PKS. Perkumpulan Kecurigaan Segawon. Tugas utamanya memburu siluman anjing. Saya curiga begitu! "Dek Ndalu, jangan berprasangka buruk dulu! Mas ndak ada niatan untuk melukai dan berbuat jahat, kok! Jangan curiga begitu pada Mas." Hanya orang gila yang ndak curiga dengan tingkah Mas Wowo! Manusia ganteng separuh gila ini bukan manusia normal. Tingkahnya santun, omongannya sopan, kelakuannya mengejutkan, tapi... dalam sekejap bisa menusuk. Tusuk, tusuk! Kok tiba-tiba ada bau daging? MAS SEGAWON! TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN