Seperti malam jumat sebelumnya, saya ikut siskamling lagi. Sebenarnya saya ogah. Selain karena saya harus kerja keesokan harinya, para bapak itu juga melakukan perbuatan yang sia-sia. Saya ndak mau seperti itu. Saya ingin berguna bagi kelangsungan dan keamanan warga desa. Lagi pula saya ini paling muda di antara mereka. Saya ndak boleh begitu, ya! Saya harus jadi orang yang bisa mempertanggungjawabkan apa yang sudah diberikan pada saya. Kata simbok, nanti di akhirat apa yang kita perbuat akan ditanyakan.
Personil masih belum lengkap untuk jaga malam ini. Sisa satu yang belum muncul. Seperti biasa, Pak Yu selalu saja terlambat. Biasanya Pak Yu muncul dengan ular tangga ataupun monopoli. Itu juga datang terlambat. Pak Yu ini yang paling nyeleneh. Sudah telat, pakai bawa permainan, pula!
Sudah begitu, yang ditanyakan selalu kopi.
"Ndak ada yang punya keinginan menyeruput kopi, apa?" Seperti itu!
Saya kan juga malas kalau harus diberi kode begitu. Masa iya saya harus keluar modal? Ogah, saya kan yang paling getol kerja di sini. Saya yang sering keliling-keliling. Sudah seharusnya kalau saya yang menikmati masa damai sehari saja.
"Pak Yu kok belum datang? Tumben banget ini!" Saya bertanya iseng. Mungkin saya terdengar seperti seorang soulmate yang sedang merindukan sahabat karibnya yang bolos kerja.
"Itu dia, Mas! Itu Mas Rangga, anak Pak Yu."
Saya menoleh spontan. Seorang anak lelaki berlari ke arah poskamling dengan napas ngos-ngosan. Saya mengerjap beberapa kali. Saya belum pernah tahu anak ini. Saya pernah dengar kalau anak sulung Pak Yu sekolah di luar kota. Waktu kecil dulu dia sering digendong dan berkunjung ke rumah saya. Sejak SMP dia sudah sekolah di luar kota.
"Mas Rangga?" Bapak yang lain tersenyum.
"Assalamualaikum," ucapnya.
Kami serentak menjawab salamnya. Saya mengerjap beberapa kali. Dulu Rangga yang saya kenal masih senang mewek dan ogah main dengan teman sebayanya. Anak ini sekarang sudah SMA dan mandiri tanpa orang tua.
"Hai, Mas." Dia menyapa saya.
"Rangga sudah besar, ya sekarang!" Saya mengeluarkan kalimat yang sejak dulu sudah jadi kalimat umum ketika lama ndak berjumpa.
"Masa kecil terus, Mas..." Dia menggantung kalimatnya. Saya peka apa artinya itu.
"Saya Ndalu, Rangga."
"Lho, Mas Ndalu?" Rangga melongo. Kenapa Rangga? Kapan kamu peka? Saya nyengir lagi. Rangga mengerjap beberapa kali dan akhirnya tersenyum.
"Mas berubah banget. Dulu nggak semanis ini."
Saya tahu, saya tahu! Dulu waktu kecil saya sering ikut simbok jualan, sering lari-larian di pantai kalau siang bolong. Waktu itu kulit saya gosong, rambut saya merah dan bercabang. Belum lagi ingus saya selalu meler tiap kali main. Saya tahu, saya tahu! Mbok ya ndak usah membahas masa lalu begitu! Saya ini ingin move on. Saya ingin bangkit tanpa menoleh ke belakang.
"Kok tumben pulang, Rangga?" tanya saya mengalihkan topik. Memuji lelaki lain manis itu pasti sangat aneh. Bikin canggung.
"Iya, Mas. Lagi liburan. Balik hari minggu, kok!"
"Trus Pak Yu mana? Kok kamu yang datang?" tanya saya lagi. Rangga tersenyum dan mengangguk.
"Bapak sakit, Mas. Masuk angin katanya. Jadi sekarang nggak bisa datang. Bapak nyuruh aku ke sini."
Saya manggut-manggut mengerti. Lumayan, lah! Pak Yu masih ada inisiatif untuk menyuruh salah satu anggota keluarganya datang dan menggantikan. Saya bungkam dan menatap wajah para bapak. Mereka masih sibuk dengan permainan kartu mereka.
Saya memutuskan untuk keliling karena bosan.
"Mas Ndalu mau kemana?" Rangga ikut berdiri.
Ah, saya lupa! Ada personil baru juga di sini yang usianya lebih muda. Pasti dia ndak mau mati bosan di sini. Ah, jiwa muda memang sukanya berpetualang!
"Ada apa?" tanya saya balik.
"Mas Ndalu mau kemana?"
"Ya keliling. Ini namanya siskamling. Kalau jagain poskamling ya ndak jadi jaga namanya."
Rangga mengangguk mengerti. Dia menatap saya beberapa saat dan tersenyum. Jemarinya menggaruk kepalanya. Saya curiga, jangan-jangan dia punya kutu!
"Boleh aku ikut?"
Saya mikir dulu boleh, ndak? Kalau dia ikut, bagaimana saya bisa bertemu dengan Mas Segawon? Saya kan ingin keliling, ndak lain, ndak bukan ya karena ingin ketemu Mas Segawon.
"Yakin?" Saya bertanya lagi. Rangga ini ganteng, tapi kelakuannya agak menye-menye dulu. Kalau ndak salah, dulu Rangga memang gitu. Tapi sekarang saya ndak tahu apa sudah berubah.
"Aku bosen di sini, Mas."
"Jalannya agak jauh, lho!"
"Nggak masalah."
"Gelap juga."
"Eng..." Mata Rangga bergerak gelisah. Aha! Saya tahu, saya tahu! Ternyata Rangga ini takut gelap.
"Kalau kamu takut, diam saja di sini, Rang! Saya sendirian ndak apa, kok."
"Tapi aku pengen nemenin Mas Ndalu."
"Yakin?" Entah kenapa saya senang sekali mengajukan pertanyaan itu pada Rangga. Tiap kali ditanya begitu Rangga selalu gelisah. Saya bahagia sekali. Puas, puas!
Dia jadi ragu.
Saya menepuk bahunya sekilas, lalu berbalik dan melangkah pergi. Saya tahu jawabannya. Mas Segawon, saya datang! Tunggu saya, Mas! Saya akan bergerak ke sana.
Namun ternyata saya salah. Rangga menyusul saya setelah itu. Dia berlari dengan napas ngos-ngosan dan akhirnya menempeli lengan saya. Ternyata Rangga ini penakut sekali. Saya juga takut akhir-akhir ini, tapi kan ya ndak harus selalu begitu! Akhirnya kami memutuskan untuk berkeliling daripada menunggu di poskamling.
Di tengah acara keliling kami, saya berhenti. Saya menoleh ke arah Rangga dan tersenyum penuh rahasia. Kali ini saya benar-benar ingin kami berpisah, bukannya ingin nempel-nempel ndak tentu arah begini!
"Jadi, Rangga... kenapa kita ndak berpencar saja?" tanya saya cepat. Rangga melongo, menggeleng cepat setelah itu.
"Nggak mau, Mas," katanya.
"Lho, kenapa? Yang namanya siskamling ya keliling sendiri. Kamu di sini, Mas di sana. Hanya berjumpa via suara..." Saya mulai ngelantur. Rangga mengedikkan bahunya. Dia ogah berpisah sepertinya. Tubuhnya makin mendekat. Kepalanya menggeleng unyu.
"Pokoknya aku mau bareng Mas Ndalu!"
"Kamu takut? Takut apa? Setan ndak ada, Rangga." Saya terpaksa berbohong.
"Setan itu ada, Mas."
"Tapi kamu kok pede banget? Memangnya mereka mau ketemu sama kamu?" Mulut saya pedes lagi. Rangga merengut dan makin menempel pada saya.
"Mas..."
"Kita harus pisah. Kita ndak ditakdirkan bersama. Arah kita berbeda..." Oh, saya mulai berdrama lagi!
"Aku takut, Mas."
"Trus kenapa ikut?"
"Di poskamling kan isinya bapak-bapak semua, aku canggung, lah!"
"Kamu pulang aja."
"Nggak mau! Ntar dibilang nggak solid, lagi!"
Bilang itu sama bapakmu, Rangga!
Saya membatin dalam hati. Untung saja anak ini ndak sama dengan bapaknya. Meski sama-sama penakut, tapi paling ndak dia tetap stay tuned di siaran saya. Rangga masih menempel pada saya meski saya ingin sendiri sekarang ini. Dia ingin ikut saya. Iya, sungguhan ikut. Maksudnya ikut kemana saya pergi. Saya ke kanan, dia ngikut. Saya ke kiri, dia ngintil. Maunya apa ini anak? Saya kan ndak mau dibilang kembar siam sama dia!
"Kalau kita keliling berdua begini percuma saja, lah!" Saya kecewa. Sebenarnya alasan saya kecewa bukan karena Rangga nempel seperti ini. Ah, itu juga termasuk, sih!
Saya hanya takut kalau Rangga bisa menjadi batu sandungan bagi saya untuk bertemu dengan Mas Segawon. Saya kan kangen sekali dengan beliau. Saya masih penasaran. Saya ingin menatap wajahnya. Kemarin saya ndak bisa menatap wajahnya. Mata saya ditutup dan dia ogah menunjukkan wajahnya. Mungkin Mas Segawon khawatir saya akan kabur. Tampilan awal Mas Segawon kan dulu menyeramkan sekali. Pertama kali bertemu memang kukunya panjang dan runcing, tapi kemarin itu kukunya sudah ndak panjang dan runcing. Ah, Mas Segawon sampai rela potong kuku begitu!
Manis sekali, ya!
"Kamu pulang saja lah, Rangga!" Saya memaksa, lho ini!
"Nggak mau!"
"Kalau begitu kamu balik saja ke poskamling."
"Nggak!"
"Lalu kamu maunya apa?" Saya gemas juga sama anak ini. Namun lebih dari itu, saya galau akut. Saya ndak bisa menemui Mas Segawon karena dia pasti ogah menunjukkan diri ke orang asing. Mas Segawon pasti ogah nyusul saya.
Mas, jangan pergi, Mas!
Saya masih melangkah, sementara Rangga juga menempel pada saya. Jari besarnya menggenggam pergelangan tangan saya. Anak sekarang kok cepat sekali, ya besarnya! Saya merengut dan mencoba melepaskan diri. Namun semakin saya meronta, Rangga akan semakin mengeratkan cengkeramannya.
"Kamu kok nempel-nempel begini sih, Rangga?" Saya kesal sekali. Rangga ndak peduli dengan teriakan saya dan masih sibuk dengan jarinya.
"Aku nggak mau Mas tinggalin!"
"Rangga, yang kamu lakukan ke saya itu... jahat."
Rangga masih ndak peduli meski saya bicara begitu. Dia masih ngintil-ngintil menyebalkan.
"Mau sampai kapan kamu begini?" tanya saya.
"Sampai Mas balik ke poskamling."
"Kamu bukan anak kecil lagi, Rangga."
"Tapi kan setan bisa menghantui anak besar juga, Mas."
"Kamu mau denger mitos desa ini?" Saya menaikkan alis. Kalau ada orang yang seperti ini, saya jadi makin gemas dan ingin makin menistakan. Saya nyengir dengan wajah ndak berdosa.
"Nggak! Nggak!" Rangga menggeleng kencang.
"Dulu, di desa kita ini ada sebuah cerita mistis..."
"Jangan cerita soal itu, Mas! Please..." Anak itu memohon dengan raut putus asa. Saya merengut ndak peduli.
"Lalu kamu mau cerita yang seperti apa?"
"Pokoknya yang nggak serem."
"Zaman dulu, ada seorang saudagar kaya. Dia memiliki banyak uang dan juga seorang anak. Saudagar itu..."
"Mas! Aku tahu cerita itu! Dulu bapakku juga sering cerita!"
"Trus kamu maunya apa?"
"Balik yuk, Mas!"
Oalah, Rangga! Kalau kamu mau balik ya balik saja! Saya masih ingin berkeliling desa. Maksud hati ingin bertemu dengan Mas Segawon, tapi kok ada kamu ini! Akhirnya saya batal bertemu beliau. Muak juga saya ini kalau begini terus!
Sudah begitu Rangga selalu memeluk saya tiap kali kaget. Padahal badannya lebih besar dan lebih tinggi daripada badan saya! Kan percuma juga ini namanya!
"Rangga..."
"Mas... ayo pulang, Mas! Aku takut."
Astaga, tolong! Anak ini kok ya bikin ribet saja! Saya ini ingin berkeliling untuk menemui seseorang. Pertemuan kami rahasia. Memangnya perang gerilya saja yang bisa dijadikan ajang ketemu malam-malam?
"Kalau kamu takut, kamu balik sendiri."
"Tapi Mas..."
Kalau kamu nempel ke saya, saya ndak bisa bertemu Mas Segawon nanti! Kamu ini, Rangga... Apa yang kamu lakukan ke saya itu... jahat!
"Saya takut, Mas."
"Saya antar kamu balik, tapi jangan ikut saya lagi!" Saya mencoba bernegosiasi.
"Nggak mau."
"Kamu ini maunya apa, toh Rangga?"
Rangga masih menggeleng kencang. Sesekali dia merangkul bahu saya. Kepalanya menoleh ke sana kemari, mencari sesuatu yang mencurigakan. Kalau merasa takut, dia akan memeluk saya lagi. Terus begitu! Dengan badan yang lebih tinggi dan besar, terkadang dia hampir membuat saya terjungkal ke belakang.
Pokoknya Rangga itu jahat!
Saya ndak bisa bertemu dengan Mas Segawon, kan akhirnya! Asem! Asem!
Saya memang risih karena tingkah Rangga, namun rasa itu menghilang sejenak. Kami sampai di tempat pertemuan saya dan Mas Segawon. Sebenarnya saya ogah mengajak Rangga ke sini, tapi saya malah berharap Rangga melarikan diri ketika sampai di tempat gelap ini.
Grusuk... Grusukkk...
"Apa itu, Mas?" Rangga panik.
Ah, itu pasti Mas Segawon!
Bagaimana, ya cara mengusir Rangga pergi dari tempat ini? Apa saya harus beralasan kalau saya kebelet pipis? Apa saya pura-pura kesurupan saja agar dia kabur? Tapi kalau saya pura-pura kesurupan, Rangga pasti akan membawa geng dan datang kemari. Bisa-bisa mereka membawa saya pergi.
Grusuuukkk... Grusukkkk...
Rangga memekik dan memeluk saya erat. Tubuh besarnya memeluk saya erat. Kepalanya sudah menyuruk di antara bahu saya. Dia menyembunyikan wajahnya di antara perpotongan leher dan bahu saya.
Astagaaaa...!
"Itu pasti setan, Mas! Pasti setan!"
Saya ndak peduli, ya! Saya kenal setan yang kamu maksud itu! Dia tujuan saya datang kemari, tahu!
"Rangga, mending kamu lari dulu! Saya nyusul kamu nanti."
"Nggak mau! Kita berangkat bareng, pulang juga harus bareng!"
"Kalau kita berdua diculik setan, kita ndak bisa minta tolong. Pergi dulu sana, Rangga!" Saya separuh memaksa. Tujuan saya jelas, kok! Saya ingin berduaan dengan Mas Segawon. Hihihi...
Rangga masih ketakutan. Ekspresinya juga menyebalkan. Dia masih memeluk saya erat, enggan melepaskan. Sekelebat bayangan muncul di depan saya. Karena Rangga masih memeluk saya, jadi hanya saya yang bisa melihatnya. Lagi pula Rangga ini membungkukkan badannya, jadi saya bisa melihat dari balik pundaknya.
Itu Mas Segawon!
Saya ndak berhasil melepaskan pelukan Rangga, jadi saya pasrah saja. Semakin saya mendorongnya, dia makin mengeratkan pelukan. Saya ogah juga menatap wajahnya. Kalau dia melepaskan pelukannya, dia akan tahu apa yang ada di balik punggungnya.
"Jangan menoleh, Rangga! Ada bayangan mencurigakan." Saya berbisik, menakuti. Meski itu faktanya, tapi saya harus melakukan itu.
Rangga makin mengeratkan pelukannya. Saya hampir kehabisan napas karena ulah jahatnya ini. Lalu bayangan Mas Segawon muncul di depan saya. Mas Segawon masih senang berada dalam kegelapan. Meski tertutupi kegelapan, namun bayangannya masih terlihat. Rambut panjangnya berkibar seperti bendera.
Rangga, ini semua gara-gara kamu!
"Rangga, saya ndak bisa napas."
"Maaf, Mas. Tapi jangan suruh aku lepas pelukanku. Aku takut."
"Iya, tapi jangan kenceng-kenceng begini, Rangga."
Rangga mengangguk pasrah dan agak melonggarkan pelukannya. Saya tersenyum lega sedikit. Lumayan, lah daripada tadi! Saya kembali fokus dengan Mas Segawon di sana. Dia berdiri agak jauh dari kami. Tubuhnya berdiri dalam kegelapan, namun bayangannya masih terlihat.
"Pergilah! Pergilah!" Saya berteriak kencang, mencoba bernyanyi. Isyarat yang gagal!
"Ada apa, Mas?" Rangga gemetar tiba-tiba.
"Ini mantra pengusir setan, Rangga."
"Apa nggak sebaiknya baca doa?"
Saya menggeleng. Saya belum pernah mencoba itu pada Mas Segawon, tapi saya memang ndak akan melakukannya. Kalau Mas Segawon sampai menghilang karena ayat suci bagaimana? Saya belum siap kehilangan beliau. Meski beliau adalah makhluk dari dunia lain, tapi kan dia ndak mengganggu. Dia juga ndak berniat jahat pada saya. Kami hanya berteman. Saya juga hanya kagum pada beliau, bukan berniat menjadikannya dewa atau Tuhan yang baru. Tuhan saya tetap satu.
"Ini mantra khusus, Rangga. Pergilah, Segawon... Segawon pergilah...!" Saya berteriak kencang.
"Segawon itu anjing, kan, Mas?"
"Iya, ini mantra kalau ndak pengen dihantui anjing-anjing jahat." Saya berbisik pelan. Ndak lama setelah itu, saya melihat Mas Segawon mendekat.
"Oh, ndak, ndak! Jangan mendekat kemari, Segawon!" Saya berteriak kacau. Mas Segawon menghentikan langkahnya. Bagaimana ini? Kalau sampai Rangga tahu soal Mas Segawon, dia bisa menyebarkannya pada orang lain!
Mas Segawon menggeleng kencang dalam kegelapan. Lalu dalam beberapa detik, dia melolong. Suaranya seperti anjing yang sedang kesakitan. Ndak lama setelah itu, suara anjing lain juga menyahut.
"Mas, apa itu, Mas?" Rangga panik.
Astaga, pasti Mas Segawon marah! Apalagi sekarang saya malah membawa orang lain. Bagaimana cara saya meminta maaf, ya? Saya juga ingin memeluk Mas Segawon. Dibanding dipeluk Rangga, saya lebih senang memeluk Mas Segawon. Lagi pula Rangga kan sudah ada Cinta. Saya ini Ndalu. Segawon melolong tiap ndalu. Tiap malam hari.
"Saya akan kembali! Saya akan kembali!" Saya berteriak kencang, sebelum Mas Segawon membangunkan banyak orang dan banyak anjing.
"Mas, aku takut!"
"Kan saya sudah bilang ke kamu, Rangga! Lebih baik kamu balik dulu! Kalau begini, kamu yang merepotkan!" Saya sudah kesal setengah mati. Kalimat yang awalnya saya tahan itu akhirnya tercurah begitu saja.
"Maaf, Mas."
"Sekarang bagaimana ini? Kalau memang penakut, mendingan ndak usah sok ikut-ikutan saya ke sini! Kita harus pulang sekarang. Tapi minggu depan saya akan kembali ke sini lagi!"
"Iya, Mas. Kan hari minggu besok aku juga udah balik. Senin aku sekolah dan minggu depan aku nggak pulang."
Sasaran saya bukan kamu, Rangga! Tapi Mas Segawon yang sedang berdiri di sana. Mas Segawon bungkam dan berdiri di sana. Saya merasa bersalah dan sedih sekali. Akhirnya Mas Segawon pergi dari tempat itu. Duh Gusti, saya ini kangen sekali dengan Mas Segawon! Kok ya ada saja gangguannya!
Begitu Mas Segawon pergi, saya mencoba melepaskan pelukan Rangga. Kami melangkah kembali ke poskamling. Selama perjalanan itu Mas Segawon membuntuti saya dari jauh. Saya merasakannya. Saya mencium aromanya, merasakan auranya. Dia mengawasi. Jantung saya berdegup kencang karena membayangkan Mas Segawon yang sampai rela mengekori saya begitu. Duh, so sweet sekali ya Mas Segawon ini!
Sekarang, rasa bete saya ke Rangga makin besar. Malam ini saya pulang tanpa bisa menemui Mas Segawon! Rangga... apa yang kamu lakukan ke saya itu... jahat! Saya ndak bisa menemui Mas Segawon malam ini!
TBC
Lagi suka nyindir elegan... :v Mas Ndalu ini isi otaknya banyak, lho... :v