Beberapa hari berlalu setelah itu. Saya ndak datang ketika Siskamling. Saya masih trauma. Saya ndak berani kalau harus bertemu makhluk itu lagi. Saya kapok. Mungkin kemarin saya hanya digigit, tapi bisa saja nanti-nanti saya dimakan. Saya ndak mau cari resiko. Selain itu kaki saya masih ngilu, meski saya bisa bekerja. Halah, ngaku saja kalau kamu takut, Ndalu!
Sudah dua minggu ini saya bolos, ndak mau Siskamling dulu. Saya kapok kalau harus keliling menunggu dimangsa oleh binatang buas itu. Apalagi bintang buas yang jadi-jadian. Saya ndak mau jadi serigala juga. Kalau setahu saya manusia yang digigit vampir akan jadi yang seperti itu juga. Kalau saya jadi siluman anjing juga bagaimana?
"Mas Ndalu ini masih sakit?" Pak Yu datang ke rumah saya. Niat hati mungkin ingin menjenguk, tapi saya tahu kalau Pak Yu butuh personil tambahan untuk siskamling. Saya mingkem. Kali ini saya diam saja, ndak mau cerita macam-macam.
"Lumayan, Pak." Saya menjawab PHP. Biar Pak Yu ndak ngira saya bohong, tapi juga ndak ngira saya sungguhan. Lumayan itu ada di tengah-tengah posisinya.
"Besok malem datang, ndak, Mas?"
Saya mulai ragu.
Kalau saya datang, bisa saja nanti siluman itu menemui saya lagi. Tapi kalau saya diam saja di sini, saya juga ndak berani. Lalu maunya apa? Saya mau diam di rumah saja. Saya mau bokep, bobok cakep. Biar kecakepan saya abadi sepanjang masa.
"Insya Allah, Pak! Kalau kaki saya ndak sakit lagi." Halah, hanya alasan! Saya sudah masuk kerja, kok! Jadi kaki saya memang sudah ndak sakit lagi. Tapi demi meyakinkan diri sendiri dulu, saya mengatakan kalimat yang ndak bisa dibantah. Kalau Tuhan ndak menghendaki, memangnya manusia bisa apa?
Alasan yang aman.
"Kami kekurangan personil, Mas."
Saya curiga dari awal. Pak Yu datang ke rumah saya begini pasti punya motif tertentu. Saya ndak lantas percaya. Pak Yu ini masuk dalam jajaran orang penakut yang ogah keliling. Mereka mungkin ndak mau ada yang dikorbankan untuk berkeliling.
"Tapi kaki saya masih sakit, Pak."
"Lho, katanya sudah lumayan."
"Kalau untuk siskamling pasti sakit. Saya kan bagian keliling. Kalau untuk duduk main kartu, sih saya bisa datang." Nah, mulut nyindirable saya kumat lagi.
Saya ndak terlalu suka ngomong lemah lembut. Saya lebih senang ngomong tajam, tapi dibalut sebuah kelembutan. Kata simbok, saya ini mirip pisau. Bisa halus kalau pakainya salah, tapi bisa tajam kalau pakainya benar. Jadi mending saya salah saja daripada harus tajam.
"Mas sudah dua minggu lho bolosnya."
Bolos? Macam anak sekolah saja Pak Yu ini!
"Saya kan sudah izin kalau saya sakit, Pak."
"Kalau ndak ada Mas Ndalu, poskamling sepi." Pak Yu mencoba menyogok saya dengan ucapan persuasifnya. Saya pintar istilah, ya? Makanya, baca buku! Meski saya lulusan SMP, saya juga harus pintar.
Saya ndak percaya dengan ucapan manis Pak Yu. Itu semua dusta! Dusta! Ngapusi! Kalian harusnya tahu kalau Pak Yu sengaja bicara begitu hanya untuk memengaruhi saya agar saya ikut siskamling. Saya tahu itu!
"Bukannya dari dulu saya selalu kebagian keliling, ya, Pak? Bukannya Bapak dan yang lain yang asyik-asyik duduk di poskamling?" Oh, mulut sayaaaa!
Pak Yu bungkam.
"Kali ini kami mau keliling kok, Mas! Tapi ya gitu, harus cari temen."
Kalau gitu mau keliling! Apa? cari temen? Lah, kemarin-kemarin kalian kemana saja waktu saya keliling? Saya ndak dikancani. Ndak ditemeni begitu! Saya jalan sendiri, muter-muter sendiri. Bahkan waktu saya diserang, kalian semua datang terlambat. Sudah terlambat, Pak! Terlambaaaattt!! Saya sudah digigit!
Duh, Gusti! Kok ya ada saja godaan orang yang ingin hidup damai!
Karena saya ndak tega, akhirnya saya mengiyakan saja. Besok malam saya harus stand by di sana dan duduk manis. Saya ndak mau ya kalau harus keliling sendiri. Akhirnya dengan berat hati saya setuju.
Besoknya, saya benar-benar datang. Itu pun setelah saya konsultasi dengan simbok. Simbok bilang, saya harus datang. Meski hanya sebentar. Nanti kalau ndak mood, saya bisa izin pulang. Ah, simbok memang konsultan terbaik sepanjang masa!
Saya sampai di poskamling dan mendapati para bapak sudah berkumpul. Ketika melihat saya, mereka tersenyum cerah. Lalu, apa benar kalau mereka akan mau diajak keliling? Kita lihat saja nanti!
Malam semakin larut. Kami duduk di poskamling sambil ngopi. Pak Yu mengajak saya keliling berdua lebih dulu. Kami berkeliling berdua.
"Pak, sepertinya kita harus berpencar." Saya mengajukan usul. Kalau keliling berdua begini, yang ada malah ngobrol sepanjang jalan. Sejak awal berangkat, Pak Yu sudah ngobrol soal anak istrinya. Saya bukannya ndak responsif, tapi saya ini juga punya batas kebosanan. Saya bosan kalau harus mendengarkan kisah seperti itu.
"Mas yakin?" tanya Pak Yu cemas.
"Bapak yang sepertinya ndak yakin."
Pak Yu merengut, tapi kemudian melangkah pergi. Menyerah. Saya mengangguk pelan dan berbalik. Persetan dengan siluman itu. Saya sudah muak setengah mati. Saya belum siap mati, tapi saya yakin kalau Tuhan itu lebih dekat daripada urat nadi. Saya cinta Tuhan saya. Cinta simbok setelahNya. Pokoknya I love you, deh!
Setelah saya yakin kalau sendirian, saya mulai berbalik mengkhianati. Saya ingin pulang ke poskamling. Saya ingin balas dendam.
"Pak, perut saya tiba-tiba sakit. Saya izin pulang dulu, ya!" Saya kembali beralasan. Para bapak yang sedang ngopi di poskamling akhirnya mengangguk pelan.
Saya separuh berlari agar cepat sampai di rumah. Ketika sampai di jalanan sepi, kaki saya terhenti. Saya kembali mencium aroma daging dan suara grusak-grusuk itu. Saya menegang di tempat. Saya ndak bisa bergerak meski ingin. Keringat dingin sudah mulai mengucur di kening saya.
Tahan, Ndalu! Tahan! Jangan teriak atau mengejutkan! Anjing kan memang begitu. Kalau kita panik, nanti dia malah nyerang. Kita dia kira maling mungkin.
Oh, ndak! Sepertinya makhluk itu ingin... Dia mendekat! Dia mendekat! Dia ingin menghampiri saya! Dia pasti akan memakan saya!
Dan benar.
Makhluk itu muncul di depan saya. Jalanan sedang gelap. Dia menyerupai bayangan hitam, dengan rambut panjang berkibar. Dia masih menggeram.
"To... Tolong jangan makan saya! Daging saya ndak enak!" Saya masih mengulangi ucapan kemarin. Makhluk itu menggeram lagi.
"Kamu..."
Saya mengerjap. Duh Gusti, dia bisa bicara! Dia bisa ngomong. Saya menatap bayangannya dalam gelap. Dia ndak menampakkan wajahnya lagi, jadi saya ndak merasa diteror. Saya bungkam.
"Jangan takut..."
Oh, suaranya, Mas! Seksi sekali! Astagah! Suaranya berat dan agak serak. Kalau nyanyi pasti merdu!
Astaga, Ndalu! Kamu ini mikir apa, toh?
"Kita harus bicara..." katanya. Saya mengerjap. Dia mau bicara katanya. Kalau saya nolak, kira-kira dia ingin membunuh saya ndak, ya?
"I... Iya..." Saya menjawab takut-takut. Makhluk itu menggeram dan melempar sesuatu pada saya.
Sebuah kain hitam yang sudah lusuh.
Saya mendongak, mengerjap.
"Ini apa?" tanya saya lagi.
"Tutup matamu!" Dia memerintahkan saya. Saya mengangguk takut-takut dan melaksanakan apapun yang dia perintahkan. Saya jadi penurut sekali sekarang, ya!
Sebuah tangan besar dan kokoh tiba-tiba menggenggam tangan saya. Saya berjengit karena terkejut. Makhluk itu menarik jemari saya mendekat. Saya bisa mencium aroma aneh dari tubuhnya. Seperti aroma daging, tapi lebih menggiurkan daripada daging segar. Rasanya seperti apa, ya? Eng... tapi lebih enak kalau sate.
Daging yang sudah dimasak.
"Kita harus bicara." Dia mengatakan itu lagi. Duh, Simbok! Suaranya itu, lho! Seksi sekali, ya!
"Iya..." Saya menjawab dengan mata tertutupi kain hitam tadi. Saya jadi mirip orang yang diberi kejutan begitu. Matanya ditutup, lalu ketika kain itu terbuka, maka... kejutaaaan! Ada simbok dan yang lain membawa kue ulang tahun.
Hush, ultah saya kan masih lama!
"Jadi, ada... apa?" tanya saya takut-takut.
"Kamu... kenapa ndak datang beberapa minggu ini?"
Oh, kok kamu perhatian sekali sih? Eh, lho! Kok saya jadi ndak takut begini? Harusnya saya kan takut karena diajak bicara dengan siluman anjing.
"Saya sakit, Mas."
Mesra sekali cara panggil saya!
"Sakit apa?"
"Kaki keseleo. Lalu ada yang gigit saya."
Jemari kokoh dan besar itu menggenggam jemari saya lagi. Duh, Gusti! Kok saya jadi deg-degan begini bagaimana ceritanya, toh?
"Maaf..."
Saya mengangguk. Rasa takut yang dulu muncul kini lenyap ndak tahu kemana. Yang saya tahu, makhluk ini ndak seburuk yang saya bayangkan dan saya duga. Saya mencintai makhluk lain, kok!
"Mas ini makhluk apa, sih?" tanya saya cepat. Saya panggil semua orang yang lebih tua dengan sebutan 'mas', 'pak', ataupun 'mbah'. Kali ini karena saya yakin kalau makhluk di depan saya ini ndak setua Pak Yu, saya panggil dia 'mas' saja.
"Menurutmu?"
"Saya kan ndak kenal. Ndak tahu. Makanya saya ingin kenalan dan ingin tahu."
Makhluk itu melepaskan gengggamannya. Ada apa lho, Mas? Kok dilepas? Saya kok jadi jalang begini, ya? Dia kan lelaki. Pasti lelaki, lah! Suaranya macho-macho seksi begitu!
"Aku ndak punya nama."
Oh, kasihan sekali!
"Lalu, saya harus panggil Mas apa?" Saya bertanya pelan. Ya panggil Mas, lah, Ndalu! Biar tetep mesra begitu!
"Apa saja!" jawabnya pelan.
Saya mengerjap beberapa kali. Karena penutup mata ini ndak terlalu erat, jadi saya bisa menggerakkan mata. Sesekali ketika saya menunduk, saya melihat ada kaki yang ndak memakai sandal di bawah saya.
"Mas... Anjing. Kok ya ndak sopan. Ah, saya tahu! Mas Segawon," kata saya akhirnya. Makhluk yang sudah punya nama baru itu hanya berdehem. Segawon itu dalam bahasa Jawa halus artinya tetep 'anjing'. Hanya pakai istilah halus, bukan mengubah maknanya.
Saya ndak mau menyalahi kodrat. Kalau memang dia anjing, ya saya sebut anjing, lah! Memangnya saya mau sebut dia apa?
"Usia Mas Segawon berapa?" tanya saya lagi. Sok akrab.
"Lebih dari seratus."
Saya melongo.
"Mbah kalau begitu."
"Ndak, ndak! Aku ndak suka sebutan itu."
Saya mengangguk cepat dan memutuskan untuk memanggilnya 'Mas' saja. Meski terdengar mesra-mesra bagaimana gitu! Ah, Ndalu! Kamu juga sering panggil 'Mas' ke yang lain. Ndak terdengar mesra, biasa saja. Tapi kok ke Mas Segawon ini rasanya beda, ya?
"Mas kalau begitu." Saya mengangguk.
"Terserah kamu."
"Lalu kenapa Mas ada di sini?" tanya saya lagi. Mas Segawon menghela napas lelah.
"Untuk minta maaf."
"Maaf kenapa?"
"Kemarin aku sudah melukaimu."
"Iya, Mas sudah menggigit saya." Saya ngaku. Saya ndak sadar waktu itu kalau sudah digigit. Saya ndak merasa sakit karena sekujur tubuh juga sudah sakit semua.
"Aku kelepasan."
"Maksudnya, Mas?"
"Maaf..."
Mas Segawon ini bagaimana, toh? Menjelaskan, tapi ditanya balik malah mbulet muter-muter. Maunya apa, coba?
"Saya boleh tanya sesuatu, Mas?"
Mas Segawon berdehem. Artinya iya.
"Kalau saya digigit, apa nantinya saya akan jadi seperti Mas?"
Mas Segawon terkikik geli. Kikikan itu saja sangat manly. Macho-macho bagaimana gitu! Saya sudah lama ndak dengar suara sekeren ini.
"Kamu kira aku nularin penyakit?"
Saya yang ketularan film sebenarnya. Saya kan juga suka nonton. Mas Segawon kembali menghela napas dan akhirnya berbisik pelan.
"Meski aku pengen kamu berubah, tapi itu ndak akan terjadi."
Lho, apa katanya tadi?
Saya bungkam. Jadi benar kalau niatan Mas Segawon ini adalah untuk mengubah saya jadi semacam siluman anjing begitu? Ah, tunggu! Memangnya kamu yakin kalau dia siluman anjing, Ndalu?
"Mas..."
"Ya?"
"Mas ini sebenarnya makhluk apa, toh?"
"Menurutmu apa, Ndalu?" Mas Segawon balik bertanya. Oalaaaah... Mas Segawon ini sudah tahu nama saya ternyata! Padahal saya belum pernah kenalan dengan lelaki ini.
"Siluman anjing?"
"Kalau memang kamu anggap begitu, ya sudah."
"Kok Mas malah pasrah?"
"Aku bilang ndak juga kamu ndak akan percaya. Aku jadi-jadian. Siluman anjing, Ndalu." Mas Segawon berbisik sedih. Mendengar bisikan Mas Segawon hati saya jadi cenat-cenut. Mungkin Mas Segawon ini sedang meredam rasa sakit akibat fitnah yang amat pedih.
"Sabar ya, Mas!"
"Untuk apa?"
"Hidup memang berat."
"Trus?"
"Ndak apa, saya hanya pengen ngomong gitu aja!"
Kami sama-sama bungkam. Sejak tadi kami sudah duduk manis, berdua-duaan begitu. Di gelap malam yang menggoda. Diiringi desau angin malam yang membuat saya ngantuk.
"Aku sudah melakukan hal yang ndak pantas waktu itu, Ndalu. Maaf..."
Saya mengangguk. Rasa penasaran itu ndak akan bisa hilang meski saya mencoba mengalihkan pembicaraan. Saya ndak akan bisa mundur dari rasa kekepoan. Saya ndak bakat untuk menyembunyikan rasa-rasa rahasia.
"Mas ini asalnya dari mana?"
Mas Segawon ndak langsung menjawab pertanyaan saya. Lelaki itu hanya bungkam dan akhirnya mengusap punggung tangan saya.
"Ndalu..."
"Ya, Mas?"
"Ada bau orang yang akan datang ke tempat ini."
"Trus?"
"Aku harus pergi."
"Kok buru-buru? Ndak mau mampir dulu?"
Mas Segawon tergelak. Saya senang ketika mendengar tawa beliau. Sangat renyah, mirip kerupuk rambak. Pasti enak, apalagi dicolekin sambel petis. Astaga, Ndalu! Eling, eling! Ingat, ingat! Mbok ya jangan ngelantur begitu!
"Aku pergi, Ndalu."
"Mas?"
"Kamu harus kembali."
Saya pasrah. Mungkin Mas Segawon ini takut kalau diketahui khalayak ramai dan ditangkap. Lebih menakutkannya lagi kalau Mas Segawon ini dijadikan tontonan, dikarcisi, lalu dijadikan ajang selfie. Lebih seremnya lagi kalau disebarkan di f*******:, lalu diberi tulisan, "Wow, luar biasa! Siluman anjing ditemukan di pesisir selatan pulau Jawa. Katakan 'Amin' agar dia tidak membahayakan nyawamu."
Itu jauh lebih serem. Dan juga... bodoh.
"Iya, Mas. Saya akan kembali." Saya berdiri dan berbalik. Mas Segawon ada di belakang saya, tapi saya sudah janji ndak akan menatap wajahnya. Mungkin Mas Segawon ndak pede dengan wajahnya yang sekarang.
Ketika saya ingin melepas ikatan penutup mata saya, Mas Segawon menahan tangan saya. Makhluk itu tiba-tiba memeluk saya. Duh Gusti, badannya kekar sekali! Keras-keras berotot begini. Sudah begitu ketika dia memeluk saya, rasanya saya jadi merasa terlindungi.
"Ndalu..." bisiknya.
"Ya, Mas?"
"Kapan kita bisa ketemu lagi?"
Saya juga berharap begitu, tapi saya takut. Sangat takut. Saya bukannya takut dengan Mas Segawon, tapi saya takut dengan orang-orang. Bagaimana kalau mereka sampai memburu dan membunuh Mas Segawon? Saya ndak mau itu terjadi. Ini juga aneh sekali. Mungkin saya bukan orang penakut, meski beberapa hari ini saya sering takut. Tapi kok dengan Mas Segawon ini saya merasa ndak masalah, ya?
"Tiap malam jumat saya ada jadwal, Mas."
Oh, Ndalu! Kamu jadi harus rajin datang ini nanti!
"Apa aku boleh ketemu kamu lagi?"
Saya mengangguk dalam pelukannya. Kalau Mas Segawon dibawa pulang boleh, ndak? Saya ingin punya yang seperti ini di rumah. Lho?
Mas Segawon melepaskan pelukannya. Saya pun mulai melangkah setelah melepaskan penutup mata saya. Saya bertemu dengan Pak Yu dan yang lain setelah itu. Mereka mengira saya jatuh lagi katanya.
Oh, ndak perlu cemas lagi sekarang, Pak! Saya sudah ndak takut lagi. Bahkan saya sudah berteman baik dengannya. Tapi ya itu... saya masih belum berani menatap wajah seramnya.
Ngomong-ngomong soal itu, kok ya saya lupa nanya sesuatu ke Mas Segawon, ya! Mas Segawon sudah pernah cium saya. Kenapa saya ndak nanya soal itu?
Saya ndak berani, lah cerita ke simbok. Padahal dulu simbok nanya ke saya soal makhluk itu. Saya ndak berani cerita ke simbok kali ini. Biarlah itu jadi urusan saya dan Mas Segawon. Saya pengen ketemu Mas Segawon lagi! Kok ya hari kamis ini lama sekali, ya?
Meski malam itu semuanya sudah mengubah hidup saya, namun saya masih tetap sepreti biasa. Saya bekerja di FPI sebagai bagian pencatatan ikan. Biasanya para bapak akan menggoda saya tiap saya bekerja. Mereka masih bingung mungkin melihat ada cowok unyu manis menggoda seperti saya berkeliaran di antara kotak-kotak ikan.
"Mas Ndalu ini... ganteng-ganteng kok mainnya sama ikan?"
Saya ngaca. Saya memang ganteng, kok! Kulit kuning langsat, keturunan simbok. Badan kurus-kurus seksi. b****g saya padat berisi. Pokoknya saya ganteng. Alis saya tebal, hidung saya memang ndak mancung-mancung mirip bule, tapi paling ndak masih ada ujungnya. Mata saya bulat besar. Simbok bilang katanya mata saya itu ibarat kacane rembulan. Kaca rembulan. Saya narsis, ya akhirnya? Simbok sendiri yang bilang, jadi saya agak sangsi juga mendengarnya.
"Siapa tahu nanti ketemu putri duyung cantik, Pak."
"Ikan duyung itu ndak cantik lho, Mas Ndalu!"
Saya ndak peduli dengan ikan duyung. Mau cantik, mau seksi, mau hot... Yang penting saya kangen dengan Mas Segawon! Titik.
TBC