Fhelicia Sharon terlihat begitu sibuk meracik beberapa minuman yang sudah dipesan oleh beberapa tamu VVIP. Ia di bantu Adhelia, sahabatnya, mulai menuang satu persatu vodka dan margarita ke dalam gelas.
Bila pagi sampai siang hari mereka berdua habiskan untuk berkuliah. Maka setiap malam seperti ini, Fheli dan Adhelia menggunakan waktu mereka untuk bekerja di salah satu Bar Ekslusif yang ada di pusat kota Jakarta. Semua dilakukan demi mendapatkan uang untuk biaya hidup dan juga membayar kuliah.
"Fheli, kamu udah liat berita terbaru Rayden?" Adhelia bertanya pada Fhelicia yang masih menuang minuman.
"Udah, sih. Aku turut berduka," sahutnya tanpa menoleh sedikit pun ke arah Adhelia. "Semoga aja pemberitaan ini nggak merusak eksistensi Rayden di industri perfilman."
Adhelia turut mengaminkan doa sahabatnya itu. Ia tahu benar Fhelicia begitu mengidolakan Rayden Einhard Miller, aktor yang sedang naik daun beberapa tahun belakangan ini. Setiap acara meet and greet, gadis itu selalu menyempatkan diri untuk hadir. Bahkan, sesekali terlihat ikut mengunjungi lokasi syuting sang aktor, walaupun tetap saja tidak bisa bertegur sapa secara langsung.
Baru-baru ini, public tengah dihebohkan dengan pemberitaan Rayden. Ia tertangkap basah oleh paparazzi tengah bercumbuu mesra dengan seorang wanita yang ditenggarai adalah Valeria Tan.
Sampai detik ini, Rayden sama sekali belum angkat bicara. Hanya managernya yang terus-terusan membantah kalau pria didalam foto tersebut bukan artis dari management mereka.
"Aku juga nggak percaya. Masa, sih, cowok se-cakep Rayden pacaran sama emak-emak macam Valeria. Untung banyak dong si nenek tua itu," cerocos Adhelia sembari menyusun gelas minuman ke atas nampan agar bisa segera diantarkan.
"Namun, ketika mereka berdua tengah asyik bercengkrama, tiba-tiba terdengar suara keributan dari dalam ruang VVIP. Tiga orang pria saling beradu argumen hingga menarik perhatian semua orang. Penasaran, Fhelicia membawa dirinya untuk mengecek ada apa sebenarnya yang tengah terjadi di sana.
"Rayden! Tolong kembalikan kamera saya!" teriak pria yang ditenggarai berprofesi sebagai wartawan tersebut. Ia mencoba meraih kamera yang kini sudah Rayden berikan kepada Niko, sang manager yang juga duduk di sebelahnya.
"Enak aja!" ketus Rayden. "Kamu udah ambil gambar saya tanpa izin. Kamu jelas-jelas sudah melanggar privasi saya. Jadi saya punya hak untuk hapus gambar ini," seru pria berperawakan tinggi besar itu.
Wajah Rayden merah menahan amarah. Ia tahu ini memang risiko sebagai artis tekenal. Tapi tetap saja, Rayden memang paling benci dikuntit bahkan diambil gambarnya tanpa permisi, seolah tidak lagi memiliki privacy.
Namun bukannya minta maaf, tanpa diduga-duga dari arah belakang, datang pria lain yang postur tubuhnya lebih besar. Mendekat, detik kemudian langsung mencengkram kerah baju Rayden sambil memberikan peringatan.
"Balikin kameranya!" perintah pria itu.
"Nggak akan! Aku berhak buat hapus gambar di dalam kamera ini. Kalian udah langgar privasi dengan ambil gambar aku dengan sembunyi-sembunyi."
Melihat Rayden yang tetap pada pendiriannya, pria itu berusaha kembali mengintimidasi bahkan mencoba untuk menghajar. Belum lagi sempat tinjuan itu melayang, Fhelicia yang dari tadi memperhatikan dari kejauhan buru-buru mendekat. Tanpa takut, gadis itu dengan serta merta mendorong pria bertubuh besar tersebut hingga tersungkur jatuh.
"Jangan buat keributan di sini. Atau kalian saya laporin ke security!"
"Nggak usah ikut campur," balas pria itu ketika beranjak bangun. "Aku bisa aja hajar kamu, nggak perduli kamu perempuan sekali pun," ancamnya.
"Coba aja!" tantang Fhelicia tanpa takut sedikit pun. Percuma dirinya sabuk hitam taekwondo kalau tidak bisa memberikan perlawanan.
Maka, ketika pria itu maju dan dan hendak membalas, lagi Fhelicia memberikan perlawanan, ia menarik lengan pria tersebut. Memiting, lalu membanting tubuh lawannya dengan mudah hingga jatuh tersungkur dan tidak berdaya.
"Ayo balas kalau bisa. Walaupun aku cewek, aku nggak takut sedikitpun sama kamu!"
Pria itu berusaha kembali membalas, tapi Fhelicia dengan gesitnya lebih dulu melakukan penyerangan. Menghadang kemudian menghajar pria bertubuh besar tadi hingga kembali terjatuh. Di kesempatan inilah, para security bar datang dan langsung meringkus orang-orang yang sudah membuat onar tersebut.
"Kamu nggak apa-apa? Atau ada yang luka?" tanya Fhelicia kepada Rayden. Padahal, dalam hati ia sudah bersorak keras karena bisa bertemu bahkan berbicara dengan jarak begitu dekat dengan aktor yang begitu diidolakannya.
"I'm totally ok," sahut Rayden. "Makasih atas pertolongannya."
Fhelicia mengangguk sopan. Tanpa banyak berbicara lagi, buru-buru ia beranjak pergi meninggalkan ruangan VVIP. Ketika sampai di meja bartender, gadis tomboi itu langsung memeluk Adhelia dengan girang. Meluapkan kebahagiaannya karena bisa bertatap muka bahkan berhasil menolong idolanya yang tengah dalam masalah.
"Fheli, kamu kenapa? Udah kayak orang gila!" tegur Adhelia keheranan sambil mendorong tabuh sahabatnya agar menjauh.
"Kamu tau, nggak?"
Adhelia sontak menggeleng. "Nggak tau, Fheli!" sahutnya cepat membuat Fhelicia langsung memasang wajah cemberut. Belum juga selesai, temannya itu sudah menyahut.
"Ya makanya dengerin dulu cerita aku Adhel!"
"Buruan. Kita lagi kerja."
Mengatur napasnya yang ngos-ngosan, Fhelicia mulai bercerita.
"Tau nggak? Ternyata yang lagi ribut-ribut di ruang VVIP itu Rayden Miller sama wartawan."
Mata Adhelia sontak membola. Bibirnya hampir menganga mendengar apa yang baru saja Fhelicia ceritaka padanya.
"Demi Apa? Kamu serius?"
Fhelicia langsung mengangguk-angguk.
"Demi dewa-dewa Yunani yang kece badai. Serius, Dhel. Aku nggak bohong. Dia lagi hang out, kali. Ada managernya juga."
"Terus, ribut-ributnya karena apa?" Adelia bertanya lagi. Semakin penasaran bercampur antusias dengan berita yang Fhelicia sampaikan.
"Aku nggak tau pasti masalah awalnya gimana. Kayaknya dia nggak suka wartawan ambil foto dia diam-diam. Trus sepenglihatan aku, Rayden rebut kamera si wartawan dan berusaha buat hapus fotonya. Dan akhirnya mereka ribut trus adu jotos," cerita Fhelicia panjang lebar.
"Terus kalian kenalan nggak? Bagi nomor handphone, gitu," seloroh Adhelia sesuka hati. Pikirnya, mumpung bertemu secara langsung, lebih-lebih Fhelicia memberikan bantuan, tidak masalah kalau saling bertukar nomor ponsel, kan?
"Nggak sampe kenalan segala macam, Adhelia." Fhelicia berdecak lalu mengerucutkan bibirnya dengan sebal. "Aku keburu gugup terus kabur. Jadi aja aku langsung lari ke sini. Nggak kuat, astaga. Mana mukanya Rayden cakep banget. Terus ---"
"Mba Fheli," tegur salah seorang security menghentikan perbincangan antara Adhelia dan Fhelicia.
"Iya, Pak Rahman," sahut Fhelicia dengan sopan.
"Tamu VVIP yang mbak Fheli tolong tadi mau ketemu. Dia minta mbak Fheli untuk ke ruangan VVIP."
Kedua belah alis Fhelicia sontak saling bertaut. Pikirannya sudah berlarian ke mana-mana. Apakah Rayden ingin bertemu lagi dengannya karena ingin berkenalan? Siapa tahu saja memang benar demikian. Ia rapalkan doa itu kencang-kencang dalam hati. Berharap apa yang terjadi setelah ini layaknya adegan romantis seperti yang sering terjadi di serial FTV.
"Memangnya mau ngapain lagi, Pak?" heran Fheli ketika kesadarannya sudah kembali.
"Nggak tau mbak," jawab Pak Rahman sambil mengedikkan kedua bahunya. "Mungkin mau ucapin terima kasih sekali lagi sama Mbak Fhelicia
Fhelicia mengangguk. Seperginya Pak Rahman, ia lantas membawa kakinya untuk segera pergi ke ruang VVIP. Langsung menemui Rayden yang kala itu tengah duduk menikmati live music dengan managernya.
"Permisi," cicit Fhelicia sedikit gugup.
"Masuk aja," pinta pria yang ditenggarai adalah manager Rayden tersebut. "Silakan duduk."
Fhelicia menuruti perintah. Ia lantas mengambil posisi duduk tak jauh dari Rayden dan managernya.
"Sebelumnya, sekali lagi saya mau mengucapkan terima kasih atas bantuan yang tadi udah kamu berikan pada Rayden," ucap Nicholas. Dari wajahnya terlihat sekali kalau ia berbicara dengan tulus. "Bisa jadi artis saya babak belur kalau nggak ditolong sama kamu."
Fhelicia mengangguk sopan. Ada perasaan bangga juga terselip di hatinya karena sudah berhasil membantu sang idola lepas dari bahaya.
"Nggak usah sungkan, Pak. Saya melakukan sebisanya saja."
"Tapi omong-omong ... " Nicholas kembali melanjutkan perbincangannya dengan Fhelicia. "Kalau boleh tau, nama kamu siapa?"
"Nama saya Fhelicia Sharon, Pak."
"Panggilan Mas Niko aja, jangan Pak. Rasanya tua banget kalau dipanggil, Pak," interupsi Nicholas. Padahal kalau boleh, ia lebih senang dipanggil 'bestie' ketimbang Mas.
"Ah, iya, Mas Niko."
"Fhelicia sendiri saat ini masih single atau double?"
Fhelicia mengerjap sambil terbengong-bengong. Entah kenapa otaknya jadi lambat mencerna kalimat yang baru saja Nicholas lontarkan. Disangka kasur kali, pake single double segala.
"Maksudnya?"
Nicholas terkekeh pelan, lalu kembali berkata-kata.
"Ya intinya kamu masih sendiri atau udah punya pacar? Atau mungkin udah nikah?"
Paham dengan pertanyaan Nicholas, kali ini bola mata Fhelicia melebar.
"Ohh. Gitu. Iya ... iya ... Eh, nggak ... nggak. Maksudnya saya nggak punya pacar apalagi suami sekarang."
"Bagus," kata Nicholas. "Maaf kalau pertanyaan kali ini agak sensitif, apa kamu pengguna alkohol, perokok aktif, atau mungkin saja penganut s*x bebas?"
Lagi, Fhelicia menggeleng.
"Walaupun saya bekerja di Bar, 100% saya wanita yang bersih."
"Kamu menguasai ilmu bela diri?" tanya Nicholas kemudian.
"Bisa," sahut Fhelicia. "Saya sabuk hitam dan pernah menjadi pelatih bela diri taekwondo."
"Perfect!" Nicholas kali ini sedikit berseru. Kemudian buru-buru bertanya lagi. "Selain pekerjaan di sini, kamu nggak terikat kontrak apa pun dan dengan siapa pun, kan?"
Tadinya Fhelicia ingin mengangguk. Tapi tak lama, ia malah mengajukan pertanyaan.
"Bentar ... bentar ... ini sebenarnya ada apa? Kok tiba-tiba saya diinterogasi?"
Rayden yang sejak tadi duduk diam, terdengar mendesah pelan. Tak lama setelanya ikut bersuara.
"Niko, kamu itu terlalu bertele-tele. Langsung ke intinya aja kenapa, sih? Seneng banget yang mudah dibuat ribet." gerutunya sebal.
"Oke ... oke!" decak Nicholas turut kesal. Baginya, segala sesuatu itu harus jelas dan hati-hati agar tidak salah langkah atau salah mengambil keputusan.
Lantas, setelah sedikit berdebat, pandangan Nicholas kembali beralih pada Fhelicia. Ditatapnya sekali lagi wanita itu dari ujung rambut hingga kaki. Pelan-pelan menilai lalu dalam hati menarik kesimpulan.
"Not bad, sih. Tapi emang perlu di make over sedikit. By the way, kamu beneran nggak punya pacar, kan?"
Fhelicia tidak menjawab, tapi malah melempar pertanyaan lain. Sumpah demi Tuhan, ia merasa bingung sendiri dari tadi diajukan begitu banyak pertanyaan.
"Maaf sekali lagi saya tanya, Ini sebenarnya ada apa?"
Emosi gadis itu sedikit terpancing. Dari tadi bertanya, tidak ada satu pun yang menggubris. Tentu saja lama kelamaan ia kesal sendiri.
"Kamu mau nggak jadi pacar sementara Rayden? Pasti mau, kan?" tanya Nicholas terang-terangan dan penuh percaya diri. Pikirnya juga, pasti tidak ada seorang pun yang menolak bila ditawari hal demikian.
"Hah? Apa barusan?"
"Iya." Nicholas mengangguk. "Kamu nggak salah dengar kok. Saya tanya, kamu mau nggak jadi pacar sementara Rayden?"
Fhelicia terlonjak kaget. Jangankan menjawab, berpikir saja ia tidak bisa. Otaknya langsung blank layaknya komputer tua yang sudah tidak sanggup lagi beroperasi dengan baik. Tapi di sisi lain, ia seperti kejatuhan durian runtuh.
Ditanya tiba-tiba soal kesediaan menjadi pacar Fhelicia tentu saja membuatnya melayang tinggi. Ia sampai memastikan apakah ini kenyataan atau sekedar mimpi.
"Pacar pura-pura?" ulangnya.
"Iya," sahut Nicholas. "Saya yakin, kamu pasti sudah dengar atau baca berita terbaru Rayden soal skandal percintaan dia ---"
"Sama Valeria Tan?" sambung Fhelicia.
"Benar sekali. Itu sebabnya, demi membantah gosip panas ini, kami tim management sedang mencari gadis yang bisa diajak untuk kerja sama untuk menghalau berita buruk tersebut. Tenang aja, kalau bersedia, kamu bakal dapat bayaran yang lumayan besar."
Fhelicia manggut-manggut terus menyahut, "Kenapa nggak jadi pacar beneran aja? Gratis nggak apa-apa, kok," selorohnya dengan polos.
"Enak aja!" Dari tempat duduknya, Rayden langsung menyahut tidak terima. "Kamu ngak usah Aji mumpung, ya!"
"Namanya juga usaha," gumam Fhelicia pelan.
"Jangan mimpi. Asal tau aja, aku nggak tertarik sama cewek tomboi macam kamu," ketus Rayden tidak suka.
"Ya dicoba dulu kan bisa. Lagian, nanti bisa aja dipoles dikit. Untuk Rayden, aku rela kok di make over jadi apa pun," celetuknya sambil mengerlingkan mata.
Rayden mendesah malas. Kepalanya langsung berdenyut nyeri melihat tingkah laku Fhelicia yang seolah ingin memanfaatkan momen ini.
"Niko, kamu yakin mau pilih dia jadi pacar sementara aku? Muka sama kelakuannya aja nggak meyakinkan gitu."
Nicholas tidak perduli. Diabaikannya ocehan Rayden. Lebih memilih untuk kembali bernegosiasi dengan Fhelicia.
"Gimana?" Nicholas kembali mengejar. "Tenang Fhelicia. Ini nggak lama. Mungkin hanya enam bulan. Dan selama menjadi pacar pura-pura, kamu bakal dibayar dengan harga yang pantas," jelas Nicholas.
Fhelicia yang tadinya antusias kini tampak bergeming di posisi duduknya. Dalam otaknya sudah menari-nari bayangan ketika ia menjadi pasangan artis yang selama ini diidolakan. Dikenalkan kepada khalayak luas bahwa dirinya adalah kekasih pria yang sedang populer itu. Tentu saja hal ini seperti apa yang sering ia mimpikan.
"Gimana Fhelicia, kamu bersedia?"
Fhelicia tersadar dari lamunan. Tersenyum tipis wanita itu menggeleng.
"Maaf, tapi saya nggak bisa terima tawaran ini begitu saja."
Niko turut tersenyum. Pria itu mengeluarkan sebuah kartu nama dari dompetnya.
"Saya tau kamu pasti syok. Silakan pikirkan aja dulu matang-matang. Saya beri waktu dua hari. Kalau berubah pikiran tolong segera hubungi saya ke nomor yang ada di kartu ini."
Fhelicia menerima sodoran kartun nama dari Nicholas. Setelahnya wanita itu membiarkan kedua tamunya pergi meninggalkan Bar.
***
Fhelicia baru saja selesai bekerja. Tepat pukul satu malam saat sampai di rumah, ia dibuat terkejut. Ada ibunya yang terbaring tidak sadarkan diri di dapur. Buru-buru Fhelicia meminta pertolongan. Beruntung saat itu ada beberapa tetangga yang kebetulan sedang meronda lalu membantunya membawa sang ibu menuju rumah sakit.
Ketika sampai dan mendapat pertolongan intensif oleh tenaga medis, baru diketahui kalau penyakit jantung sang ibu kembali kambuh. Parahnya, dokter menyarankan untuk segera melakukan tindak operasi agar tidak terjadi sesuatu yang berbahaya kepada ibunya.
"Apa nggak bisa ditunda, dok? Maksud saya, apa harus saat ini juga operasinya?"
Dokter pria itu mengangguk. Wajahnya tampak sekali serius. Seolah tidak ada harapan lagi untuk ibunda Fhelicia sembuh tanpa melakukan apa yang ia sarankan.
"Harus segera dilakukan operasi bypass jantung. Saya sangat khawatir kondisi ibu Amanda bisa semakin menurun. Bahkan fungsi jantungnya sudah tidak normal seperti pada umumnya. Hal ini juga yang membuat ibu anda sampai tidak sadarkan diri."
Fhelicia kembali terdiam. Menarik napas pelan ia berusaha untuk berpikir cepat. Tidak bisa dipungkiri menjalani operasi seperti ini pastilah butuh biaya yang tidak sedikit.
"Dok, kalau boleh tau, berapa estimasi biaya semisal ibu saya menjalani operasi?"
Dokter tersebut membenarkan kaca mata yang ia kenakan. Lantas tak lama menjawab pertanyaan yang baru saja Fhelicia ajukan.
"Untuk operasi bypass sendiri kemungkinan menghabiskan biaya paling sedikit 80 hingga 100 juta. Bisa juga lebih dari itu. Besarnya biaya ditentukan dari banyaknya pembuluh darah yang harus diganti. Dan ini belum termasuk biaya rawat inap selepas operasi."
Tenggorokan Fhelicia tercekat. Mendengar nominal uang yang mencapai angka hingga ratusan juta membuatnya panas dingin. Kemana ia harus mencari uang sebanyak itu dalam waktu singkat. Pun gajinya sebagai waitress di club malam tidak seberapa. Kalau pun harus berhutang dengan rentenir, ia pasti akan setengah mati membayar bunganya. Ini sama saja bunuh diri.
"Dok, kalau uang saya mencukupi, kira-kira kapan ibu saya bisa menjalani operasi?" tanya Fhelicia ragu-ragu.
"Kalau administrasinya lengkap, besok sore ibu Anda bisa langsung menjalani tindakan."
Fhelicia mengangguk paham. Wanita itu kembali berkata-kata pelan.
"Kalau begitu tunggu sebentar, dok. Saya harus menghubungi seseorang."
Fhelicia kemudian beranjak menjauh. Diambilnya kartu nama pemberian Niko dari saku celana jeans yang ia kenakan. Mencatat satu persatu angka yang tertera, Fhelicia memberanikan diri untuk menghubungi manager sang idolanya tersebut di jam yang sudah sangat larut ini. Pikirnya tidak ada lagi yang bisa menolong selain pria itu.
Lagi pula, tidak masalah menjadi pacar kontrak atau pura-pura, toh ia juga tidak sama sekali dirugikan. Malahan mendapat uang sebagai imbalan. Mana tahu nominal yang ditawarkan nantinya berjumlah sesuai dengan apa yang sedang ibunya butuhkan.
Tidak butuh waktu lama, bagi Fhelicia menunggu. Ketika panggilan tersambung, pria di seberang sana langsung mengangkat dan menanggapi.
"Halo."
"H-halo selamat malam," ucap Fhelicia dengan gugup. Ada perasaan tidak enak juga karena sudah begitu larut malam menghubungi.
"Iya, dengan siapa?"
"Maaf mengganggu malam-malam. Ini Fhelicia," ucapnya.
"Oh astaga. Ada apa Fhelicia. Apa kamu berubah pikiran?" tebak Niko. Seolah tahu apa yang akan Fhelicia sampaikan kepadanya.
"Saya sudah memikirkannya matang-matang, saya akan terima tawaran mas Niko. Tapi sebelumnya, maaf kalah lancang. Apa saya boleh tau, berapa nominal imbalan yang akan saya terima jika menyetujui tawaran ini?" tanya Fhelicia hati-hati.
"Saya akan memberi kamu imbalan sebanyak 500 juta untuk menjadi pacar kontrak Raiden selama enam bulan. Kalau kerjamu bagus, kemungkinan saya akan menambahkan lagi nominalnya."
Fhelicia tentu saja terperanjat mendengar angka-angka yang baru saja Niko sebutkan. 500 juta tentu saja sangat jauh melebihi ekspektasinya.
"Oke saya setuju. Tapi saya bisa minta uangnya segera? Saya butuh karena harus membayar sesuatu yang darurat."
"Tentu aja bisa. Besok pagi, silakan datang ke kantor agensi saya. Nanti saya siapkan kontrak beserta uangnya."
"Baik, besok pagi saya akan langsung ke sana. Tolong info aja di mana alamatnya."
"Oke."
Panggilan telpon akhirnya terputus. Meninggalkan Fhelicia yang bisa sedikit bernapas lega. Paling tidak, ia tidak perlu lagi pusing memikirkan biaya operasi yang akan dijalani ibunya besok sore.