ERAT - 2

1034 Kata
Beberapa minggu sebelumnya. MOBIL SEDAN BERWARNA HITAM berhenti tepat di depan gerbang tinggi keemasan dengan papan besar bertuliskan GIS. Kepanjangan dari Golden Indonesia School. Salah satu sekolah swasta yang terkenal karena rekam jejak prestasi dan latar belakang para murid yang berasal dari kalangan menengah ke atas. Dua gadis dengan seragam putih abu-abu di dalam kendaraan hitam itu pun turun dari pintu yang berbeda. Mereka berdua lantas berbalik ketika jendela mobil di bagian depan turun secara perlahan dan menunjukkan wajah Billi di balik kemudi. Dengan wajah sumringah dan lambaian tangannya yang khas, pria itu menyampaikan salam perpisahan. "Semangat sekolahnya ya! Papah pulang dulu." Kedua gadis bernama Sakilla dan Serra itu sama-sama membalas sang ayah dengan senyuman tipis dan lambaian sampai kendaraan berwarna gelap itu berlalu pergi. Sakilla dan Serra lantas bertukar pandang. Namun senyuman Sakilla lah yang paling cepat memudar. Ia menaikkan satu alisnya ke atas dan menyilang kedua tangannya di d**a. "Jangan dekat-dekat sama gue." Dan tubuh kurusnya pun berlalu lebih dahulu. Kaki jenjang berbalut sepatu converse hitam itu melangkah memasuki gerbang tinggi yang terbuka lebar. Sementara Serra mengekor-sedikit-jauh di belakangnya. Melihatnya dari belakang membuat Serra semakin yakin bahwa bukan hanya wajah mereka berdua saja yang berbeda, tetapi sifat dan sikap di antara ia dan adik kembarnya, Sakilla, benar-benar tidak sama. Sakilla lahir dengan pembawaan yang ceria dan hangat. Gadis itu mudah berbaur dan ramah kepada semua orang. Lihat saja, bahkan di koridor sekolah banyak sekali yang ingin menyapa dan berbicara dengannya. Sakilla benar-benar terkenal, dan menjadi lebih terkenal setelah bergabung menjadi anggota ekskul cheers di sekolah ini. Sementara Serra, memang dikenal sebagai pribadi yang lebih dingin dan ketus. Ia tidak pandai berbicara di depan orang banyak dan sangat jujur. Berbasa-basi bukanlah keahliannya, sehingga tidak sedikit yang akhirnya merasa bahwa Serra adalah tipikal teman yang sarkas dan cuek. "Dor!" Langkah Serra mendadak terhenti karena ulah Marcello. Ia memejamkan mata sebentar karena terkejut, lalu membukanya kembali dan mendelik tajam kepada laki-laki yang lebih sering dipanggil El tersebut. Namun Marcello sama sekali tidak menampilkan ekspresi bersalah di wajahnya. "Pagi, Sereh! Muka lo kok ditekuk begitu? Nggak dikasih uang jajan ya sama Mamah?" "El, ini masih pagi. Sumpah," keluh Serra. "Bisa nggak lo gangguin guenya nanti-nanti aja?" "Hm, kapan?" "Apanya?" Marcello mengedikkan kedua bahunya. "Gangguin lo." Membuat kedua alis Serra berkerut seketika. Ia menggeleng tidak habis pikir sebelum akhirnya melanjutkan perjalanannya menuju ke kelas. Dan laki-laki yang jauh lebih tinggi darinya itupun berlari kecil untuk menyusulnya. "Eh, lihat tuh Sakilla. Kembaran lo itu famous banget ya, Ser, by the way. Makin hari makin banyak fansnya." Namun gadis yang hari itu mengikat rambutnya ke belakang hanya melihat Sakilla yang sedang berbicara dengan beberapa anggota cheers di koridor acuh tak acuh. "Katanya dia lagi dekat ya sama Fabian?" Serra melambatkan laju langkahnya dan menoleh kepada Marcello. "Fabian?" "Ketua basket. Masa lo nggak tahu? Rame loh gosipnya." Namun gadis itu hanya menggelengkan kepalanya dan kembali berjalan ke depan. Ia sama sekali tidak tahu mengenai hubungan-gosip-yang sedang dibicarakan oleh Marcello. Bahkan meskipun rumor itu melibatkan adik kembarnya sendiri, Serra tampak tak tahu apa-apa. Dan melihat sikap Serra yang apatis, Marcello pun memutuskan untuk mengganti topik pembicaraan di antara mereka. Lagipula jika dilanjutkan, keduanya hanya akan melewati atmosfer canggung yang tidak nyaman. Marcello berdeham dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Terus gimana, lo udah putusin mau ikut turnamen, 'kan?" Serra menggumam dan mengangguk. "Gue ikut sih. Udah bilang sama bokap nyokap juga." "Udah bilang bakal keluar kota juga?" "Udah." "Udah bilang kalau lo bakal jadi satu-satunya cewek di tim kita?" "Udah." "Udah bilang kalau-" Serra yang jengah pun buru-buru menyela. "Udah, El. Kita tinggal latihan dan berangkat. Oke?" Marcello mengatup kedua bibirnya, menahan tawa karena tak kuasa melihat wajah Serra yang menurutnya semakin menggemaskan ketika sedang kesal seperti itu. Namun pada detik selanjutnya, Marcello segera berlari menyusul langkah Serra yang sudah mendahuluinya. Ia tidak bisa menurunkan senyum dari bibirnya sekarang. Dan tentu saja, bagi Serra, hal itu selalu mengganggunya. "Kenapa lo senyum-senyum sendiri?" tanya Serra ketus. "Enggaa...," Marcello lantas berdeham agar tidak membuat Serra menjadi lebih kesal. "Eh, tapi soal yang tadi." Gadis itu menoleh sedikit tanpa menghentikkan langkahnya. "Soal Sakilla sama ... Fabian. Hm, Itu ... gue dengar kalau Fabian bukan cowok baik-baik. Gue nggak tahu apa gue pantas buat ngomong ini ke elo, tapi gue pikir lo perlu nasihatin Sakilla soal cowok itu." Marcello mengigit bibir bawahnya, sedikit ragu. Ia cukup gugup menanti reaksi dari teman sekelas sekaligus gadis yang ditaksirnya itu kali ini. Namun lagi-lagi, Serra kembali dengan sikap apatisnya tentang Sakilla. Sepertinya hal itu memang berlaku kepada semua orang termasuk adik kembarnya sendiri. Serra berhenti tepat di depan pintu, tubuhnya berbalik, mencoba melihat Sakilla yang masih berkumpul dengan beberapa anggota cheers di koridor berbeda sekali lagi. Wajah Sakilla yang tampak senang dan ceria seperti biasa seharusnya tak membuat Serra khawatir, bukan? "Ser?" Sampai akhirnya suara Marcello pun mengusik lamunannya. Serra menoleh dan menemukan wajah laki-laki tampan itu sedang menatapnya cemas. "Gue nggak maksud menggurui atau apapun kok, cuma gue pikir ... ya ... lo mungkin perlu ngobrol sama saudara lo sesekali. Gue dengar Fabian itu playboy atau kalo bahasa anak sekarang tuh, fuckboy lah," terang Marcello. Sayangnya, semua nasihat bijak yang keluar dari satu-satunya teman dekat Serra itu hanya ditanggapi sekilas olehnya. Serra mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh sambil berkata, "Mau dia playboy atau fuckboy, gue nggak peduli. Itu sama sekali bukan urusan gue, El." Marcello yang takut jika memperpanjang obrolan hanya membuat masalah pun memutuskan untuk masuk ke dalam kelas mereka lebih dahulu. Kebetulan, Marcello dan Serra memang berada di kelas yang sama. Namun sesuatu yang tiba-tiba melintas di benak Serra tak membuatnya segera menyusul Marcello masuk ke dalam kelas. Ia lagi-lagi menoleh, menatap Sakilla dan beberapa temannya dari kejauhan. Ada perasaan khawatir yang mengganggunya. Namun ketika Sakilla tanpa sengaja mengedarkan pandangannya dan bertemu dengan manik hitam milik Serra, Serra tahu bahwa Sakilla tak akan suka jika gadis itu mencampuri urusan pribadinya. Terutama jika itu berkaitan dengan sesuatu yang membuatnya bahagia atau tidak. Jari tengah Sakilla yang mengacung untuk Serra di kejauhan hanya semakin memperkuat keyakinan gadis itu bahwa Sakilla sangat membencinya. Meski Serra sendiri pun tidak tahu, sejak kapan adik kembarnya sendiri itu tidak menyukainya dan apakah penyebab dari semua ketidaksukaan tersebut. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN