Bab 41 - Tertangkap Basah

1049 Kata
Chapter Sebelumnya... "Bagas, kamu masih muda. Kamu bisa cari wanita lain yang lebih baik daripada aku. Aku cuma mau perbaiki hubungan aku, aku mau perbaiki keluarga aku." "Buat apa?!" "Apa?" "Suami kamu aja selingkuh, buat apa kamu perbaiki hubungan yang memang sejak awal sudah berantakan, Wina?" Wina pun berseru. "Cukup, Bagas!" "Semua yang aku omongin itu benar, 'kan?" "Aku bilang cukup. Sekarang, kamu pergi dan jangan pernah temui aku lagi di sini." Namun Bagas dengan tegas menolak. Ia menggeleng dan menatap wanita yang sedikit lebih pendek darinya itu lurus-lurus. "Enggak bisa," pungkasnya. "Aku masih sayang dan masih cinta banget sama kamu. Aku nggak mau kamu ninggalin aku kaya gini, Win." "Lalu kamu mau apa?" Pria itu menarik kedua tangan Wina dan menggenggamnya erat-erat. Lagi, kedua netra hitam itu menembus pandangannya ke arah mata Wina. "Aku mau kamu tetap sama aku, Win. Aku cinta sama kamu dan akan terus menunggu kamu di sini." Namun Wina menepis tangan Bagas dengan keras. "Aku minta kamu pergi sekarang. Aku benar-benar berusaha keras buat perbaiki hubungan aku sama Edwin dan Valerie. Aku nggak mau menyesal lagi." "Oke." "..." "Sekarang aku pergi. Tapi aku akan tetap menunggu kamu. Sampai kapanpun, mau bagaimanapun kamu paksa aku, aku nggak akan berhenti sekarang. Aku akan tetap mencintai kamu seperti sebelum-sebelumnya." "Bagas, tolong pergi sekarang." "Kamu tahu kemana harus menghubungi aku, 'kan?" "Bagas ... please. Semuanya udah berubah dan aku cuma mau yang terbaik untuk anakku." "Tapi kamu tahu kalau Edwin itu nggak baik buat kalian, bukan?" Wina mengerutkan dahinya. "Kamu cuma berusaha kuat, padahal sebenarnya perasaan kamu ke dia itu udah enggak ada sama sekali. Iya, 'kan, Win?" Wina mengalihkan pandangannya ke arah lain, pada tanaman-tanaman hijau yang tumbuh di sekitar bangunan tempatnya berdiri dengan Bagas sekarang. Ia sendiripun tak mengerti dengan perasaannya dan bagaimana seharusnya wanita itu bersikap terhadap keutuhan rumah tangganya yang sempat berada di ujung tanduk. Namun kata perpisahan itu kalah dengan pikirannya terhadap kondisi Valerie sekarang. *** Vanya membaringkan tubuhnya ke sofa. Suasana di dalam rumah cukup sepi, karena Edwin sedang bekerja dan Wina pergi ke toko bunga miliknya. Vanya cukup takjub dengan kehidupan yang dimiliki oleh Valerie. Ia terlahir dari keluarga yang berkecukupan dan sejahtera. Bahkan untuk makan sehari-hari saja, sudah ada asisten rumah tangga yang membantu. Seandainya saja Vanya benar-benar bisa menukar hidupnya dengan Valerie, ia pasti akan sangat merasa bersyukur untuk itu. Sayangnya semua kenyataan memanglah harus dihadapi dengan lapang d**a. Wajah Musa yang babak belur karena dipukuli oleh Baron dan kawanannya membuatnya iba dan terus merasa bersalah setiap hari. Omong-omong soal Musa, Vanya mendadak berpikir untuk menemuinya dan memberinya sedikit uang. Ditambah, situasi dirumah yang sedang tidak ada siapa-siapa juga sudah cukup mendukung. Vanya kemudian berlari ke kamarnya dan segera mengganti pakaian. Jangan sampai Baron melihat seragam sekolah Valerie atau hidupnya tidak akan tenang. Dan dengan kaos polos berlengan pendek berwarna hitam dan celana denim jeans selutut, Vanya pun bersiap untuk pergi. "Ah, jangan sampai ada yang lihat wajah gue," kata Vanya. Mata hitam milik gadis muda itupun berpendar ke sekeliling. Mencari-cari sesuatu yang dapat digunakannya untuk meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkannya. Hidupnya sudah jauh lebih baik sebagai Valerie, jangan sampai Baron atau antek-anteknya itu melihat dirinya. Lalu tangan kurus Vanya pun meraih topi baseball polos berwarna lilac yang tersimpan di bagian bawah lemari pakaian milik Valerie. "Gila, dia punya segalanya di rumah ini. Benar-benar enak banget hidupnya si Valerie," gumam Vanya. Vanya kemudian berdiri di depan kaca dan melihat penampilannya sendiri. "Seandainya aja semua ini emang punya gue. Ck, tapi semua ini jelas cuma mimpi dan gue harus bangun dari mimpi indah ini pas Valerie kembali." Gadis itu kemudian diam-diam pergi keluar rumah, melewati Bi Inah dan Pak Jaka yang sedang berbincang-bincang di dapur. Sebisa mungkin Vanya tak bersuara saat berjalan. Agar aksi dan rencananya demi bisa menemui Musa bisa berjalan lancar. Setelah berhasil keluar, Vanya pun segera berlari ke ujung jalan dimana Pak Jaka dan Bu Inah tidak mungkin bisa melihatnya, lalu dengan ponsel baru yang diberikan oleh Wina, Vanya pun memesan ojek daring. "Duh, semoga nggak ada yang lihat gue di sini. Mana belom datang lagi ojeknya." Cuaca yang terik tak menghalangi keinginan Vanya untuk bertemu dengan Musa. Dan setelah menunggu sekitar lima menit, sang ojek pun datang. Perasaan Vanya sedikit was-was selama perjalanan, karena gadis itu tak tahu dimana letak kantor Edwin atau toko bunga Wina. Pikiran-pikiran seperti bagaimana jika kedua orang tua Valerie melihat atau memergokinya keluar tanpa izin dan semacamnya membuat Vanya gelisah. Sampai kemudian motor yang digunakan Vanya berhenti di depan sebuah jalan kecil. "Sudah sampai nih, Neng," kata pria yang menjadi ojek tadi. "Sesuai titik lokasi ya." "Oh o-okay, Pak," balas Vanya dengan gugup. Ia pun turun dari motor tersebut dan mengembalikan helm yang dipinjamkan sang ojek daring kepada pemiliknya. Dan manik hitamnya terus berpendar ke sekeliling dengan cemas. Ternyata gerak geriknya yang gamang itu membuat tukang ojek di hadapannya sadar. "Kenapa, Neng? Kok kaya ketakutan gitu?" Vanya terkesiap karena tiba-tiba pria asing itu mengajaknya berbicara. Ia pun segera berkata, "Nggak apa-apa, Pak." Lalu dengan cepat berlalu meninggalkan sang ojek tadi. Masih dengan mengendap-endap, Vanya berjalan menuju tempat yang diingatnya sebagai tempat peristirahat anak-anak jalanan. Dan ketika jaraknya dirasa sudah cukup dekat, Vanya pun merendahkan tubuhnya agar bisa bersembunyi di balik tumpukan besi di sisi gang. Dari kejauhan, Vanya bisa melihat Musa bersama anak-anak jalanan lain sedang menghitung hasil upah yang mereka dapatkan setelah seharian mencari botol-botol bekas. Dilihatnya dari tempatnya sekarang, Musa sama sekali tidak terlihat baik. Masih sama seperti biasa. Menderita. Namun sebuah suara dari belakang, mendadak membuat Vanya bergetar hebat. Karena gadis itu tahu betul suara berat nan mengintimidasi itu milik siapa. "Hey, lagi ngapain lu ngintip disitu?" Suara seseorang yang selama ini memukuli, menyiksa dan merampas haknya sebagai seorang anak-anak. Siapa lagi kalau bukan Baron, sang pemimpin anak jalanan. "Woy, lu nggak denger ya gue ngomong? Lu lagi ngapain disitu?" Jantung Vanya semakin bergetar hebat saat indera pendengarannya mendengar langkah kaki di belakangnya berjalan dan semakin mendekat. Ia dengan cepat menurunkan topi untuk menutupi wajahnya dan berdiri dari tempat persembunyiannya tadi. Sial. Gue harus gimana sekarang? "Lo nggak denger apa pura-pura nggak denger sih, hah?!" Kedua mata Vanya pun membulat seketika saat tiba-tiba Musa juga hadir di sana dan melihat wajahnya. Gimana ini? Sekarang bukan cuma gue yang dapat masalah, tapi Musa juga. Bodoh! Lo benar-benar bodoh, Vanya!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN