ERAT - 1

1105 Kata
Golden Indonesia School (GIS), Jakarta Selatan. Terik matahari diam-diam menyelinap melalui celah tirai di kamar ini. Namun yang membangunkan sang empunya kamar justru nyaringnya dering telpon yang tak mau berhenti. Mata Serra, gadis yang sudah menempati kamar ini selama enam belas tahun, terbuka secara paksa. Rasanya seperti ada lem yang menempel di antara bulu-bulu matanya. Ia harus mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya berhasil mendapatkan kesadaran maksimal, dan tentu saja, saat tahu bahwa ada yang menelponnya sepagi itu, Serra merasa sangat kesal. "Siapa sih yang telpon pagi-pagi banget," gerutunya. Tangannya yang kurus lantas bergerak menggapai-gapai ke arah nakas di samping ranjangnya sendiri. Ingin tahu siapa yang berani membangunkan harimau di waktu yang tidak tepat. Selain menggerutu, Serra sebenarnya juga sudah menyiapkan cacian dan u*****n pada siapapun nama yang muncul di layar ponselnya. Namun niat itu terpaksa diurungkan karena hanya ada nama Marcello di sana. Marcello Wijaya. Gadis berambut panjang itu mengembuskan napas berat sebelum menekan ikon hijau di layar. Panggilan automatis tersambung dan Serra menempelkan benda pipih itu di telinga kanannya. Awas aja kalau nggak penting. "Ser?" " ... " "Serra?" Serra menyemburkan napas kuat-kuat dan berseru, "Lo nggak bisa telpon gue ntar siangan aja apa? Ini masih pagi tahu, El!" Namun kata-kata bernada tinggi itu tidak langsung sampai ke hati. Marcello atau yang lebih akrab dipanggil El, justru tertawa setelah Serra menyelesaikan kalimatnya dan membalas, "Ini udah siang kali, Serree. Lo lagi dimana?" "Menurut lo?" "Ih. Ketus amat," komentar Marcello. " ... " "Ser?" " ... " Serra beranjak dari kasur empuk berseprai putih miliknya dan mengacak-ngacak rambut dengan frustrasi. "El, sumpah ya, kalau lo nelpon gue bukan karena hal penting, ada agi-zuki buat lo pas kita ketemu," ancamnya. Marcello pun buru-buru menyela. "Eh, eh, ampun, Ser. Galak banget sih. Gue tuh kebetulan lagi lari pagi, dekat dari rumah lo, nih." "Terus?" Gadis itu akhirnya berjalan menuju jendela, membuka tirainya yang berwarna abu-abu sebelum kemudian turut membuka pengait dan mendorong jendela ke arah luar. "Mau mampir. Boleh?" Aroma segar dari suasana pagi langsung menyambut Serra. Pantas saja jika Marcello sudah keluar dari rumahnya dan menikmati udara sesegar ini sambil berolahraga. "Enggak." "Ih. Pelit amat, Ser," protes El. Samar-samar Serra mendengar suara Billi, sang ayah dari kamar sebelah. Memanggil nama Sakilla, saudara kembarnya. Namun Serra tak langsung menggubrisnya dan memilih untuk tetap menikmati pemandangan pagi dari kamarnya yang berada di lantai dua. Lagipula Sakilla memang sering membuat masalah akhir-akhir ini. Serra berpikir bahwa Billi hanya datang untuk menegur anak itu lagi seperti kemarin. "Ayolah, Ser. Sekalian gue mau bahas soal pertandingan karate kita," bujuk El. "Kalau lo nggak keberatan, ya ... gue sekalian mau numpang sarapan di rumah lo juga, sih." Kikikan tawa dari Marcello terdengar melalui sambungan telpon, membuat Serra tersenyum kecil di tempatnya. Marcello tidak tahu saja kalau sikap jahil dan refleksnya itu terkadang membuat Serra merasa lucu. Betapa menyenangkannya pagi itu, suasananya yang cerah dan Marcello, teman laki-laki yang disukai Serra menelpon. Terlihat sangat sempurna untuk Serra mengawali harinya, bukan? Namun Serra tidak tahu bahwa di balik pagi yang begitu cerah, ada tragedi buruk yang menantinya. "Mah! Serra!" Serra menoleh ke pintu, suara dari sang ayah di kamar sebelah semakin terdengar jelas dan mendesak. "Suara apa itu, Ser?" Bahkan kerasnya suara Billi bisa sampai ke telinga Marcello yang berada jauh di seberang sana. "Hm, nggak tahu nih," jawab Serra tak yakin. Ia lantas menimbang-nimbang sebelum akhirnya berkata, "Tunggu sebentar ya, gue cek dulu. Kayaknya dari kamar Sakilla." "Apa gue matiin aja telponnya?" tanya El memastikan. "Jangan!" Serra menggigit bibirnya dan buru-buru mengoreksi. "Maksud gue, nggak usah. Cuma sebentar kok, tunggu ya." "Oke." Gadis itu berbalik dan meninggalkan jendela sebelum akhirnya berjalan menuju pintu kamarnya yang tertutup rapat. Mata hitam miliknya sempat menoleh ke jam dinding di atas kasur dan menemukan jarum jam tengah mengarah ke angka tujuh. Masih terlalu pagi untuk membuat keributan dengan orang tua, pikirnya. Ada apa sih? Namun rasa penasarannya semakin menjadi-jadi ketika Andin, sang ibu, berteriak histeris di ambang pintu kamar Sakilla. Kedua alis Serra berkerut heran. Kakinya terus melanjutkan langkah meski perasaannya berkata bahwa sepertinya ada sesuatu yang salah. Terutama setelah Andin menutup mulutnya dan mulai menangis lebih keras. "Bu?" Andin berbalik perlahan, seperti adegan film yang diperlambat. Manik hitamnya yang basah menatap Serra lekat-lekat sebelum kemudian kedua tangannya bergerak merengkuh putrinya itu. Pada langkah selanjutnya, ketika tubuh mereka akhirnya bersatu, di sanalah mata Serra melihat sesuatu yang begitu mengerikan. Seolah tak percaya dengan kenyataan di depan mata, Serra pun bergerak merenggangkan pelukan. Ia melewati ibunya untuk memastikan apakah yang baru saja dilihatnya di sana, sesuatu yang mengerikan yang tak pernah ia lihat sebelumnya, benar-benar menimpa adik kembarnya. "Ser, ada apa?" Marcello yang tak kuasa menahan rasa penasaran pun mencoba membuka suara. Membuat Serra yang masih terpaku di tempatnya mendadak terusik. Ia mengangkat telpon dan menempelkannya kembali di telinga. Bersamaan dengan satu air mata yang jatuh, Serra membalas, "Sakilla ...," "Sakilla?" El terdengar memastikan. "Ada apa sama Sakilla?" " ... " "Serra? Are you okay?" Namun gadis itu tak kuasa lagi menahan dirinya. Ia menjatuhkan ponsel yang masih terhubung dengan Marcello dan menangisi apa yang begitu jelas terlihat di depan matanya pada hari itu. Tubuhnya merosot ke lantai, seolah otot-otot yang sebelumnya menopang, mendadak melemas. Serra menutup mulutnya dan menggeleng tak percaya, sebelum kemudian tangisnya ikut pecah bersama ayah dan ibunya. Andin segera menghampiri Serra, memeluknya dari belakang. Menguatkannya meski dirinya sendiripun merasa tak bisa apa-apa. Matanya yang sedih kini bertemu dengan Billi. Layaknya orang tua yang merasa telah gagal, keduanya hanya bisa meratapi kenyataan dengan perasaan gamang. "Ser? Serra?" Suara Marcello sudah tenggelam oleh tangis mereka bertiga. Tak ada kesempatan bagi laki-laki itu untuk mencari tahu atau sekadar berbasa-basi di sana. Tubuh Sakilla yang terduduk di lantai dengan kubangan darah di sekelilingnya menjadi pemandangan mengerikan yang tak akan pernah dilupakan oleh Serra. "Serra?" Sebuah pisau yang diam-diam diambil Sakilla dari dapur tergeletak di sampingnya. "Serra lo masih di sana, 'kan?" Pemandangan itu, seolah terekam jelas diingatan Serra. Ia tidak pernah menyangka udara pagi yang baru saja ia hirup tak benar-benar menandakan bahwa harinya akan berjalan menyenangkan. Hari itu, Serra memandangi ayahnya, keduanya menangisi hal yang sama;kematian anggota keluarga. Dan di hari itu juga, Serra memutuskan untuk mencari tahu apa penyebab dari kematian saudari kembarnya yang sampai nekat menghabisi nyawanya sendiri. "Mah?" Dengan nada serak dan sumbang, Serra mencoba berbicara kepada Andin yang masih berlutut di sebelahnya. "Aku bakal cari tahu siapa yang udah bikin Sakilla kaya gini. Aku nggak akan pernah berhenti buat temuin orang itu dan buat pelajaran sama dia. Aku bakalan bikin orang itu menderita selamanya!" "Serra," bisik Andin. Mereka lantas kembali berpelukan dan menangis bersama. Menangisi kepergian Sakilla yang begitu cepat dan tiba-tiba. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN