9. Mendatangi Rumah Mama

1129 Kata
Bagian 9 Sesuai janji, setelah pekerjaan Papa selesai, aku dan Papa akan mendatangi rumah Mama. Aku akan meminta maaf terlebih dahulu, sekaligus ingin merayu Mama agar bersedia rujuk lagi sama Papa. Papa menjemputku di butik, dan aku ikut dengan mobil Papa. Ya, semenjak memutuskan untuk resign dari perusahaan, aku diam-diam membuka butik tanpa sepengetahuan Mas Hanif dan juga ibu mertua. Butik itu dikelola oleh Dinda, sahabatku, seorang janda yang menjadi korban perselingkuhan suaminya. Aku hanya menanam modal, dan Dinda yang mengelolanya. Mas Hanif melarangku untuk beraktivitas di luar rumah, alasannya agar program kehamilan yang sedang aku jalani berhasil. Tapi ternyata itu hanya alasannya saja. Mas Hanif melarangku keluar rumah agar ia bebas berkeliaran dengan selingkuhannya itu di luar sana. Ibu mertua sama seperti suamiku, beranggapan bahwa aku tidak lagi memiliki penghasilan setelah berhenti bekerja. Itulah sebabnya ibu mertua tidak lagi suka padaku. Menurut mereka aku hanyalah istri dan menantu yang tidak berguna. Nyatanya mereka keliru. "Mir, kamu kemana saja sih? Seharian gak pulang-pulang?" Sebuah pesan dari Mas Hanif. "Lagi sama Papa!" balasku singkat. Mas Hanif takut sekali kepada Papa. Jika aku sudah menyebut soal Papa di depannya, Mas Hanif tidak akan bisa berkutik. "Kenapa gak kasih kabar, sih? Gak pamitan juga?" Mas Hanif protes. Ah, aku tahu, Mas, kamu sudah tidak peduli padaku. Jadi untuk apa aku harus pamit segala? "Pulangnya jangan lama-lama, ya, mas mau makai mobil itu. Gak enak mau kemana-mana harus naik taksi." Rasain, emang enak! Itu kan ulahmu sendiri. Nikmati saja! "Apa susahnya sih naik taksi? Kan tinggal duduk manis. Enggak usah capek-capek nyetir." "Gak seru, pokoknya. Berasa kayak orang miskin." "Kamu 'kan dulunya orang miskin, Mas. Setelah nikah sama aku baru jadi orang kaya. Kamu lupa? Kuliahmu aja aku yang bayarin, Mas!" Aku sengaja menulis pesan seperti itu, agar ia sadar berasal dari mana. "Jadi ceritanya sekarang udah berani ngungkit-ngungkit?" Sepertinya Mas Hanif tidak terima. "Bukan ngungkit sih, Mas. Lebih tepatnya ngingatin, biar Mas engak lupa bahwa Mas dulunya adalah orang miskin." "Kamu pulang sekarang, Mir, mas mau bicara sama kamu." "Enggak bisa." "Mira, kamu sudah tidak menghargai mas?" Aku segera memasukkan lagi ponsel ke dalam tas. Sengaja tidak membalas biar Mas Hanif semakin kesal. Biarkan saja. "Barusan chating sama siapa?" tanya Papa, pandangannya tetap lurus ke depan. "Mas Hanif, Pa. Dia nyuruh aku pulang!" "Terus gimana sekarang? Lanjut atau putar balik?" "Lanjut dong, Pa. Mas Hanif itu udah enggak penting bagiku. Mungkin sebentar lagi hubunganku dengan dia akan menjadi mantan." "Yasudah, kita lanjut, ya." Aku pun mengangguk, pertanda mengiyakan. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua jam, akhirnya Papa menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah minimalis yang di depannya ditanami aneka macam bunga dan juga ada pohon mangga yang rimbun, membuat udara di sekitar rumah ini terasa sejuk. Papa turun lebih dulu, dan aku pun mengikutinya. "Ini rumah Mama, Pa?" "Iya, mamamu tinggal di sini." Jadi selama ini mama tinggal di sini? Pantas aku tidak tahu keberadaan Mama. Rumah Mama yang sekarang jauh dari pusat kota. Kenapa Mama memilih rumah ini ya? Padahal rumah ini jauh dari penduduk. Apa karena Mama ingin menyendiri? Entahlah. Papa pun mengetuk pintu. Satu kali, dua kali, tiga kali, namun tidak ada jawaban. Aku dan Papa memutuskan untuk menunggu, kami duduk di bangku yang berada di teras rumah. Lima menit kemudian, sebuah mobil Avanza warna hitam berhenti di depan kami. Seorang lelaki turun terlebih dulu, lalu membukakan pintu mobil. Lalu turunlah seorang wanita yang sangat kukenal dari dalam mobil tersebut. "Mama …." Aku langsung menghambur memeluk Mama. Tapi Mama malah mendorong tubuhku. Aku tersungkur ke tanah, lalu Papa segera membantuku berdiri. "Ngapain kalian kemari? Pergi kalian dari rumahku. Aku tidak butuh kalian," bentaknya. Tidak kusangka kalimat itu yang keluar dari mulut Mama. Hatiku sakit sekali mendengarnya. "Ma, maafin aku. Aku khilaf, Ma, tolong maafin aku!" Aku langsung bersimpuh di kaki Mama. "Simpan saja kata maafmu itu. Menyingkirlah dari hadapanku, aku mau masuk. Tolong jangan halangi jalanku." "Ma, aku tahu aku salah. Tolong maafin aku, Ma. Aku nyesal, Ma. Aku sudah menyadari semua kesalahanku, Ma." "Sekali lagi kukatakan, minggir! Aku mau masuk!" Ternyata Mama masih marah padaku. Mama sama sekali tidak mau membuka hatinya untukku. "Diana, tolong beri kesempatan pada Mira. Biarkan Mira menjelaskan semuanya. Mira ini anakmu, Diana. Apa kamu tidak melihat kesungguhannya? Mira benar-benar ingin minta maaf, dan Mira juga sudah menyadari kesalahannya selama ini." Akhirnya Papa angkat bicara. "Ayah sama anak sama saja. Lebih baik kalian pergi dari sini. Kalian hanya buang-buang waktu berada di sini karena aku tidak akan sudi memberikan maaf untuk kalian berdua. Luka yang sudah kelian torehkan di hatiku sudah telanjur berdarah dan bernanah, tidak akan bisa sembuh hanya dengan kata maaf. Paham?" Aku terdiam mendengar ucapan Mama. Apa yang dikatakan Mama memang benar. Aku sudah sangat melukai hatinya. "Sabar, Tante. Jangan menuruti emosi. Bicarakanlah semuanya dengan kepala dingin," saran lelaki yang bersama Mama tadi. Berusaha menenangkan Mama. Tunggu dulu, sepertinya aku pernah bertemu dengan lelaki itu, tapi dimana ya? Oh iya, aku baru ingat, ia adalah Mas Ahmad, yang mobilnya tidak sengaja kutabrak tempo hari. Kenapa Mas Ahmad ada di sini? Ada hubungan apa antara ia dengan Mama? Mama sepertinya tidak peduli pada ucapan lelaki yang bernama Ahmad itu. Mama melepaskan tanganku yang memeluk kedua kakinya dengan kasar, lalu beliau pun masuk ke dalam. Papa kembali membantuku berdiri, kemudian meyeka air mata di pipiku dengan punggung tangannya. "Sabar ya, Nak, mungkin mamamu belum bisa maafin kita." "Maaf, Om, Mira, sebaiknya kalian pulang dulu. Beri waktu pada Tante Diana. Insyaallah lambat laun hati Tante Diana pasti akan melunak. Mungkin sekarang bukanlah waktu yang tepat." Mas Ahmad memberi saran. "Kamu kenal dengan anak saya? Mira, kamu kenal lelaki ini?" tanya Papa, memandangi aku dan Mas Ahmad secara bergantian. "Iya, Pa. Kami pernah bertemu." "Iya, Om, tempo hari Mira tidak sengaja menabrak mobilku," sahut Mas Ahmad. Papa hanya manggut-manggut. "Oh ya, kenapa Mas Ahmad berada di sini? Ada hubungan apa Mas dengan mamaku?" "Oh, itu. Aku memang sering mengunjungi Tante Diana kemari. Dulu mamaku dan Tante Diana adalah rekan kantor, persahabatan mereka terjalin hingga sekarang. Aku sudah menganggap Tante Diana seperti ibuku sendiri. Tadi Tante Diana menelpon dan memintaku untuk mengantarnya cek up ke rumah sakit." Degh! Jantungnya berdetak lebih cepat saat Mas Ahmad menyebutkan rumah sakit. Apa mungkin Mama sakit? "Mama sakit apa, Mas?" Aku bertanya dengan perasaan yang mulai tidak tenang. "Ahmad ... tolong bawain obat Tante, tadi ketinggalan di mobil," teriak Mama dari dalam. Mas Ahmad pun segera membuka pintu mobilnya, lalu mengambil plastik bening yang berisi obat. Obat apa itu? Apa Mama sedang sakit keras? Tidak mungkin, Mama pasti cuma sakit biasa. Aku mencoba membuang pikiran buruk, berharap Mama akan baik-baik saja. "Mir, Om, sebaiknya kalian pulang dulu. Aku akan berusaha membantu. Nanti aku akan menghubungimu, Mir. Nomormu sudah ada di ponselku. Permisi!" Mas Ahmad pun berlalu dari hadapan kami. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN