10. Perhiasan Imitasi

1516 Kata
Bagian 10 "Pa, apa yang harus kita lakukan? Sepertinya Mama tidak akan mau maafin kita. Gimana ini, Pa?" keluhku pada Papa saat dalam perjalanan pulang. Hampir saja aku putus asa melihat perlakuan Mama padaku. "Sabar, Nak. Ini baru permulaan. Tidak mudah untuk meluluhkan hati seseorang. Apalagi sudah bertahun-tahun, tentunya memberi maaf tidak semudah membalikkan telapak tangan. Semua itu butuh waktu dan proses. Papa maklum kenapa mamamu bersikap seperti itu." Apa yang dikatakan Papa memang benar, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa aku sangat sedih melihat sikap Mama seperti itu. "Kita harus sering-sering datang ke sana agar mamamu luluh kembali. Abaikan sikap mamamu yang cuek dan kasar padamu. Pada dasarnya mamamu itu adalah wanita yang lembut dan penyanyang. Papa yakin, lambat laun pasti mamamu akan maafin kita." Aku hanya mengangguk, pandanganku tertuju pada kendaraan yang lalu lalang. Pikiranku tidak fokus. "Mir, bisa kita ketemu nanti malam?" Sebuah pesan masuk dari Mas Ahmad. "Siapa, Mir?" "Mas Ahmad, Pa, ngajakin ketemuan." "Siapa tahu ada hal penting. Untuk menghindari fitnah, sebaiknya suruh datang ke rumah papa saja. kalian bicara di sana biar lebih enak." "Iya, Pa." "Bisa, Mas. Jika Mas setuju kita ketemuan di rumah Papa saja. Memangnya Mas sudah pulang dari rumah Mama?" "Sudah, ini lagi di jalan." "Oh! Nanti aku share lokasinya." "Oke," balasnya diikuti emoticon jempol tiga biji. *** Mas Ahmad benar-benar memenuhi janjinya. Ba'da Maghrib ia sudah tiba di rumah Papa. "Oh ya, ada tujuan apa Mas ingin menemuiku?" "Ini soal Tante Diana, Mir!" "Kenapa dengan Diana?" Papa terlihat penasaran. "Tante Diana itu sudah terlanjur benci pada Om dan Mira. Bahkan Tante Diana sudah melupakan kalian." "Apa maksudmu mengatakan hal itu? Tanpa perlu kamu kasih tahu pun, kami sudah tahu akan hal itu," ucap Papa dengan tegas. Papa terlihat kesal pada Mas Ahmad. "Jika tujuan Mas datang ke sini hanya untuk mengatakan hal itu, lebih baik Mas pulang saja," sahutku, merasa jengkel mendengar ucapan Mas Ahmad. "Maaf, jika perkataanku menyinggung perasaan kalian. Justru menurutku, Om dan Mira perlu mengetahui hal ini. Aku berniat untuk membantu agar Om dan Tante rujuk kembali. Tante Diana sudah menceritakan semuanya padaku. Makanya aku mengetahuinya. Jujur, aku kasihan lihat Tante Diana seperti itu. Apalagi Tante Diana itu sedang sakit." "Mama sakit? Sakit apa?" Aku terkejut mendengar perkataan Mas Ahmad. Apa benar Mama sakit? Jika benar demikian, berarti Mama membutuhkan aku dan Papa. "Cuma sakit biasa, kok. Tapi aku gak tega liat Tante murung terus tiap hari. Seringkali aku mendapati kalau Tante Diana menangis. Mama dan adek bungsuku sering nginap di rumah Tante Diana, tapi sepertinya bukan kehadiran mereka yang diinginkan oleh Tante Diana." Ya Allah … berarti selama ini Mama benar-benar tertekan dan juga kesepian. Aku berjanji akan menghapus air mata Mama dan akan membuatnya ceria kembali. "Lantas sekarang apa yang harus aku dan Papa lakukan, Mas?" "Mir, selama kamu masih bersama dengan suamimu, jangan harap dapat maaf dari Tante Diana. Menurut Tante Diana, ibu dari suamimu lah yang telah menghancurkan hidupnya. Mungkin hanya itu jalan satu-satunya." "Apa aku harus bercerai dari suamiku?" "Maaf, bukan maksud Mas untuk ikut campur urusan rumah tangaamu, Mir. Tapi hanya itu satu-satunya cara. Silakan buat keputusan. Tetap bersama suamimu atau ingin kembali pada ibumu." Jelas aku lebih memilih Mama. Apalagi setelah tahu bagaimana kelakuan suami dan ibu mertua. "Kalau aku sih gampang, Mas. Lantas gimana dengan Papa? Gimana caranya agar Mama bersedia maafin Papa dan rujuk lagi sama papa?" "Ini yang sulit, Mir. Ini yang harus kita pikirkan." Papa terdiam, mungkin Papa juga bingung, tidak tahu bagaimana caranya agar Mama mau maafin Papa. "Baik, aku ngerti sekarang. Dan aku sudah tahu apa yang harus kulakukan. Pa, Mas, aku permisi dulu ya!" Aku kemudian beranjak dari tempat dudukku, mencium punggung tangan Papa. "Mau kemana, Mir? Mobilmu kan ada di butik?" tanya Papa. Aduh, aku sampai lupa bahwa mobil aku tinggalin di butik. "Biar aku saja yang ngantar Mira, Om! Mir, jika kamu bersedia, kamu boleh ikut denganku," tawar Mas Ahmad. Aku pun mengangguk, sudah tidak sabar untuk menjalankan rencanaku. Lebih cepat lebih baik. "Mas, gimana? Aku tidak akan lari dari tanggung jawab, loh. Berapa biaya yang harus aku ganti?" tanyaku pada Mas Ahmad saat kami sedang dalam perjalanan menuju butik. "Udah, gak usah. Mobil ini sudah Mas bawa ke bengkel, udah mulus kembali. Tenang aja, gak usah khawatir," jawabnya santai sambil memperlihatkan senyum manisnya. Jika dilihat-lihat, Mas Ahmad ganteng juga. Bahkan lebih ganteng dari Mas Hanif. Astaghfirullah … aku langsung mengusap wajah kasar. Biarpun aku akan bercerai dari Mas Hanif, tapi aku tidak boleh memikirkannya lelaki lain. "Kamu kenapa, Mir? Terpana ya melihat kegantengan mas?" "Geer bangat sih jadi orang." "Habisnya kamu dari tadi liatin mas terus sih," godanya. "Siapa juga yang liatin Mas. Mas tuh yang liatin aku. Aku ini istri orang loh, ingat, enggak boleh naksir sama istri orang." "Iya, tahu kok." Mas kan cuma bercanda. Oh ya, kita makan dulu yuk! Kamu harus traktir Mas, anggap saja sebagai ganti rugi atas kejadian kemarin. Biar kamu gak merasa punya hutang lagi, gimana?" Aku pun menyetujuinya. Mas Ahmad lalu membelokkan mobilnya ke sebuah restoran. *** "Mir, ini sudah malam loh, kamu kenapa belum pulang?" Sebuah pesan dari Mas Hanif. "Mir, kamu kemana sih? Kenapa chat dari Mas tidak dibalas?" Aku sudah malas sama Mas Hanif, bahkan tidak berniat membalas pesannya. Mengingat semua yang sudah kulakukan untuknya, dan balasan apa yang ia berikan padaku, malah pengkhianatan yang kudapatkan. "Assalamualaikum, Bi, apa Bapak sudah pulang?" tanyaku pada Bi Inah. Aku sengaja menelepon asisten rumah tanggaku untuk memastikan apakah Mas Hanif sudah berada di rumah. Jika tidak, berarti ia hanya pura-pura perhatian padaku. Terpaksa aku bertanya pada Bibi, soalnya aku tidak mendapat informasi biarpun aku sudah menyadap ponselnya. Entah Mas Hanif mengetahui ponselnya telah aku sadap atau tidak, yang jelas belakangan ini tidak ada lagi informasi yang kudapatkan. Terlalu sibuk memikirkan Papa dan Mama sehingga aku tidak mempedulikan hal itu. "Waalaikumsalam, belum, Bu. Hari ini Bapak belum pulang sama sekali," jawabnya di seberang telepon. "Oh gitu, yasudah, Bi!" "Bu, ini makanannya gimana? Simpan ke kulkas dulu atau dihangatin lagi? Tadi sudah Bibi hangatkan, tapi sekarang dingin lagi, Bu." "Simpan saja, Bi, kalau Bibi mau makan silakan dimakan saja. Kemungkinan malam ini aku enggak pulang. Titip rumah ya, Bi." "Baik, Bu." "Udah dulu ya, Bi, assalamualaikum." Aku pun menutup telepon setelah mendengar jawaban salam dari Bibi. Mas Hanif sibuk bertanya aku di mana, ternyata dia sendiri juga belum pulang. Ketahuan belangnya! Manis di mulut saja! Sok perhatian padahal aslinya bulshit! Malam ini aku sengaja tidak pulang ke rumah karena akan menginap di rumah ibu mertua. Ada hal penting yang akan kulakukan di sana. Aku sengaja tidak memberitahu Mas Hanif, biarkan saja! Setelah tiba di halaman rumah ibu mertua, aku memarkirkan mobil, lalu turun dari dalam mobil tersebut sambil menenteng Tote bag yang akan aku berikan kepada ibu mertua. Kurang baik apa diriku, coba? Biarpun aku sudah mengetahui semua rahasia yang mereka simpan selama ini, tapi aku masih tetap berbaik hati, bahkan memberikan hadiah segala. "Assalamualaikum." Aku mengucap salam setelah mengetuk pintu terlebih dahulu. "Waalaikumsalam." Terdengar jawaban salam dari dalam. "Mira!" Ibu mertua terkejut melihat kedatanganku. "Bu." Aku meraih tangannya, lalu menyalaminya. "Tumben datang kemari." "Aku kangen sama Ibu, sekalian bawa oleh-oleh buat Ibu." Mata Ibu berbinar saat melihat Tote bag yang aku tenteng. "Wah, kamu baik bangat sih, mari duduk dulu." "Iya, Bu." "Kamu bawa apa?" tanya ibu mertua penasaran. "Oh, ini. Tadi aku ketemu sama teman, kebetulan dia jual beli berlian. Sekalian aja aku beliin buat Ibu." "Kamu serius?" Sepertinya ibu mertua tidak percaya. Aku menyerahkan Tote bag itu pada ibu, lalu ibu pun membuka isinya. "Wah, bagus bangat, ini pasti mahal. Ibu suka, Mir, makasih ya!" Mata ibu mertua berbinar memandangi satu set kalung berlian tersebut. Beliau mengambilnya, lalu memakai cincin dan juga gelang berlian tersebut di tangan kirinya. Sebenarnya tidak mahal sih, itu 'kan cuma berlian palsu. Mana mungkin aku mau memberikan berlian asli untuk orang yang selama ini tidak tulus padaku. Entah bagaimana reaksi ibu mertua kalau beliau tahu bahwa berlian itu hanya imitasi. Tak lama kemudian, Mbak Nuni- kakak iparku ikut bergabung bersama kami. Wajahnya terlihat murung, tidak seceria ibu mertua. "Mbak, aku ada sesuatu buat Mbak," ucapku, lalu memberikan amplop putih yang berisi uang ke tangan mbak Nuni. "Ini apa?" tanya Mbak Nuni. "Buat jajan dan juga biaya sekolahnya Vino, Mbak." Selama ini aku memang selalu rutin memberikan uang bulanan untuk anaknya Mbak Nuni, tapi sekarang jumlahnya tidak seperti dulu lagi. Mbak Nuni melirik ibu mertua sekilas. Dari tatapan matanya saja, aku bisa melihat sepertinya ada sesuatu yang ingin Mbak Nuni sampaikan pada ibu mertua. "Oh ya, Mira, tumben kamu kasih Ibu perhiasan? Memangnya kamu punya uang? Kamu kan sudah tidak bekerja lagi." "Siapa bilang, Bu. Biarpun aku sudah tidak bekerja, tapi aku masih punya penghasilan. Aku kan punya butik, Bu. Soal uang, gampang bagiku!" Ibu mertua dan kakak ipar tampak terkejut mendengar jawabanku. Mereka saling lirik. Pasti mereka menyesal karena ingin mencampakkanku. Mereka pikir bahwa aku tidak punya penghasilan lagi, nyatanya mereka salah besar. Karena alasan tidak bisa hamil dan tidak bisa lagi menghasilkan uang untuk mereka, makanya mereka berniat mencampakkanku. Makan saja rasa sesal kalian karena itu sudah tidak berarti bagiku. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN