Bagian 8
"Pa, aku menyesal karena enggak mau dengerin nasihat Mama sama Papa. Tenyata apa yang dibilang Mama sama Papa itu benar. Aku menyesal, Pa, maafin aku, Pa!" Aku berlutut di hadapan Papa, memohon maaf karena tidak mendengarkan nasihatnya. Seandainya saja waktu itu aku mendengar nasihat Mama dan Papa, mungkin tidak akan seperti ini jadinya.
Masih tersimpan jelas dalam ingatan saat aku menentang Papa, begitu juga dengan Mama. Bahkan aku rela meninggalkan Mama demi untuk hidup bersama lelaki yang ternyata adalah seorang pengkhianat.
Ya, cinta memang buta, telah membutakan mata hatiku. Tidak peduli pada nasihat orang tua, yang ada di pikiranku saat itu hanya ingin bersama dengan lelaki pujaan hati. Tak ingin berpisah walau sekejap. Semua akan terasa indah jika bersama dengannya. Pesonanya telah berhasil mengalihkan duniaku.
Sekarang baru kusadari bahwa keputusanku telah salah. Dan penyesalan itu sudah terlambat. Aku sudah telanjur menyakiti hati orang tua yang sangat menyayangiku. Mama rela bertaruh nyawa untukku, tapi aku justru memilih untuk meninggalkannya hanya demi seorang lelaki pengkhianat seperti Mas Hanif. Anak macam apa aku ini? Seharusnya aku membalas jasa-jasa orang tua, bukannya malah menorehkan luka di hatinya.
Astaghfirullah … ampuni aku ya Allah.
"Bangun, Nak, sebelum kamu minta maaf, papa sudah memaafkanmu." Papa menyeka air mataku, kemudian mengelus kepalaku.
"Makasih, Pa." Ada rasa lega di dalam hati saat mendengar bahwa Papa telah memaafkanku.
"Pa, aku ingin ketemu Mama, aku ingin minta maaf. Papa tahu dimana Mama berada?"
Sejak kepergianku dari rumah, Mama memutuskan untuk menjual rumah itu. Aku tahu, pasti Mama sakit hati padaku. Oleh karena itulah Mama pindah ke tempat yang tidak kami ketahui hingga sekarang. Mama bagaikan hilang ditelan bumi, tak ada kabar berita sama sekali tentangnya.
"Papa tahu dimana keberadaan mamamu, Nak!"
"Papa tahu? Kenapa enggak pernah memberitahuku, Pa?" Aku terkejut sekaligus bahagia mendengarnya.
Selama ini, Papa terkesan cuek jika aku membahas soal Mama padanya.
"Berarti diam-diam Papa nyari informasi tentang Mama, iya 'kan? Ayo, ngaku!"
Papa hanya tersenyum mendengar candaanku.
"Papa masih sayang sama Mama 'kan? Jujur aja, Pa!"
Ya, aku tahu kalau Papa masih menyayangi Mama. Buktinya setelah mereka berpisah, Papa masih tetap sendiri. Padahal Papa itu punya kuasa dan juga duit. Beliau bisa menikahi wanita yang dia mau. Tetapi entah kenapa sampai saat ini Papa masih sendiri. Begitu juga dengan Mama, sejak berpisah dengan Papa, pernah ada yang meminang Mama, tapi Mama menolaknya dan aku tidak tahu apa alasannya.
Papa mengangguk.
"Jika masih sayang kenapa enggak rujuk lagi sama Mama, Pa? Aku ingin keluarga kita utuh kembali seperti dulu."
"Papa sudah mencoba mengajak mamamu rujuk kembali. Tapi mamamu justru menolak Papa. Mamamu itu benci sekali dengan Papa. Bahkan beribu kata maaf dari Papa tidak bisa meluluhkan kembali hati mamamu."
"Maaf, Pa, kalau boleh tahu kenapa sih, Papa sama Mama pisah? Padahal aku tahu sendiri kalau Mama sama Papa itu masih saling sayang. Tiap nanya sama Mama, pasti Mama akan mengalihkan pembicaraan."
Ya, Mama tidak pernah mau menjelaskannya padaku. Mama menutupi semuanya dariku. Mama hanya meminta agar aku selalu hormat sama Papa, jaga silaturahmi biarpun Mama sama Papa sudah pisah.
"Semua ini gara-gara Zamila, Nak, ibu mertuamu," ungkap Papa.
"Apa hubungan dengan ibu mertuaku, Pa?" Aku masih dilanda kebingungan.
"Kejadiannya sudah lama sekali, saat itu kamu masih duduk di bangku TK. Mamamu dan mamanya Hanif itu sahabatan sejak dari SMP. Saat itu Zamila menelepon papa, meminta papa untuk datang ke sebuah hotel yang tidak terlalu jauh dari kantor papa. Katanya mamamu ingin memberi kejutan buat papa. Saat Papa tiba di hotel tersebut, Zamila mengarahkan papa ke sebuah kamar hotel. Saat pintu kamar hotel terbuka, ternyata mamamu sedang tidur dalam satu selimut bersama lelaki lain. Papa marah sama mamamu, dari situlah awal mula pertengkaran kami." Papa terlihat sedih saat menceritakan kejadian itu, bahkan sampai menitikkan air mata.
"Terus Papa percaya begitu saja?"
"Iya karena papa menyaksikannya langsung dengan mata kepala papa sendiri."
"Terus gimana penjelasan Mama? Aku tidak yakin jika Mama melakukan hal serendah itu, Pa." Aku menggeleng, berusaha menahan bulir bening yang hendak keluar dari kelopak mata.
"Mamamu memberi penjelasan bahwa dia dijebak oleh Zamila. Zamila yang memintanya datang ke hotel tersebut, alasannya papa yang menyuruhnya. Mamamu menurut saja karena percaya sama Zamila. Sampai akhirnya mamamu tertidur setelah meminum jus yang diberikan Zamila. Saat terbangun ternyata mamamu sudah bersama dengan lelaki lain. Mamamu juga mengatakan tidak mengenali lelaki itu."
"Kalau sudah tahu seperti itu kenapa sampai pisah, Pa?" protesku. Jelas saja aku kecewa pada keputusan Papa.
"Papa sudah memaafkan mamamu karena papa berpikiran sama sepertimu. Mamamu itu orang yang setia, dia yang sudah mendampingi papa dari Nol. Tapi …."
Papa menghela napas, seperti ada beban berat yang menghimpit dadanya.
"Tapi kenapa, Pa?"
"Lagi-lagi karena kesalahpahaman mamamu menggugat cerai papa."
"Kesalahpahaman apa yang papa maksud?" Aku semakin bingung.
"Satu bulan setelah kejadian itu, Zamila menelpon papa, katanya mamamu mengulangi perbuatannya kembali. Awalnya papa tidak percaya, tapi pada akhirnya papa terbawa emosi. Ternyata itu semua adalah rencana Zamila. Sesampainya di hotel, Zamila membawa papa ke sebuah kamar, katanya mamamu ada di dalam kamar itu. Saat papa masuk, ternyata mamamu tidak ada di dalam. Zamila langsung mengunci pintu, lalu menanggalkan seluruh pakaiannya. Dia menggoda papa, dan papa marah lalu menamparnya. Secara bersamaan, mamamu datang bersama staf hotel. Zamila memanfaatkan kesempatan tersebut, ia mengatakan bahwa dirinya sudah dinodai oleh papa. Dia berakting sambil memegangi pipinya. Katanya, Papa mengancam akan membunuhnya. Karena dia melawan, maka papa menamparnya. Begitu katanya kepada mamamu. Dan mamamu termakan omongannya."
Astaghfirullah … ternyata orang tuaku begitu menderita akibat ulah dari ibu mertuaku sendiri.
"Apa di hotel tersebut tidak ada Cctv? Dan Papa enggak berusaha buat jelasin sama Mama?" Air mata sudah tidak bisa lagi kutahan, kembali mengalir deras saat mendengar cerita Papa.
Tidak kusangka jika ibu mertuaku sejahat itu.
"Ada. Tetapi tidak terlihat apa-apa di rekaman cctv itu. Sepertinya memang Zamila sudah merencanakan semua itu. Papa sudah berusaha menjelaskan kepada mamamu, tapi mamamu bersikeras akan menggugat papa. Tidak percaya lagi pada Papa."
"Pantas saja Mama benci bangat sama keluarganya Mas Hanif, ternyata itu alasannya."
"Iya, Nak. Ibu mertuamu itu jahat. Dia menginginkan kehancuran rumah tangga papa dan mamamu karena Zamila sakit hati, papa pernah menolak cintanya. Dia meminta papa untuk menikahinya, jadi istri kedua pun tak masalah. Mana mungkin papa mau, papa sangat mencintai mamamu. Dari situlah papa tahu ternyata Zamila itu tidak tulus sahabatan dengan mamamu, Zamila mempunya niat terselubung. Zamila melakukan segala macam cara untuk memenuhi ambisinya."
Setelah mendengar cerita Papa, aku bertekad untuk menyatukan Mama dan Papa kembali. Aku akan membuat keluarga kami kembali bersatu. Tidak akan kubiarkan ibu mertua tertawa di atas penderitaan kedua orang tuaku.
"Pa, aku sempat menguping pembicaraan Mas Hanif dan ibunya. Ternyata ibu mertua hanya menggunakanku sebagai alat untuk balas dendam, Pa. Dan ternyata Mas Hanif tidak tulus mencintaiku."
"Bagus kalau kamu sudah mengetahui kebohongan mereka, Nak. Satu hal yang perlu kamu tahu, pintu rumah papa selalu terbuka untukmu. Papa tidak rela jika kamu bertahan dengan suami dan mertua jahat seperti mereka."
"Soal ibu mertua dan juga Mas Hanif, aku akan memikirkan cara untuk membalas mereka. Ada hal yang lebih penting dari itu, Pa!"
"Menurut Papa, kamu harus selesaikan semuanya sebelum para benalu itu semakin menggerogotimu, Nak! Terus, hal apa yang lebih penting dari itu?" Papa terlihat bingung.
"Mama, Pa!"
"Kenapa dengan mamamu?"
"Aku akan mempersatukan Papa dan Mama kembali."
Wajah Papa tampak berseri mendengar ucapanku.
"Papa mau, kan?"
"Papa masih sangat mencintai mamamu, Nak. Sampai kapanpun perasaan papa tidak akan pernah berubah. Bahkan papa tidak pernah lupa menyebut nama mamamu di setiap doa-doa papa.
Aku terharu mendengar jawaban papa. Aku akan berusaha sedaya mampuku untuk menyatukan mereka kembali.
"Tapi masalahnya mamamu sudah tidak peduli pada papa, Nak! Apa kamu yakin mamamu masih mau nerima papa?"
"Insyaallah, Pa. Aku akan mencari cara. Serahkan semuanya padaku. Apa Papa tidak yakin padaku?"
Papa tersenyum, lalu mengelus kepalaku.
"Papa yakin, anak semata wayang papa pasti bisa. Doa papa menyertaimu, Nak. Jika butuh apa-apa segera hubungi papa."
"Iya, Pa."
Aku pun pamit setelah mencium punggung tangan papa.
Setelah keluargaku utuh kembali, baru aku akan melakukan pembalasan pada suami dan ibu mertua yang tidak tahu diri itu.
Tunggu saja giliran kalian. Mas, Bu!
Bersambung