3. Pernikahan Emma & Raven

1613 Kata
Emma terbangun dengan sakit kepala dan mual yang luar biasa. Ia meraba-raba sisi ranjangnya untuk menemukan ponsel. Biasanya ponsel itu akan ada di sana, tetapi benda pipih itu tak ada. Emma baru sadar, ia berada di kamar asing. "Mampus! Apa yang udah gue lakuin?" Emma terduduk secepat kilat. Ia menunduk untuk melihat tubuhnya. Ia bernapas lega ketika mendapati pakaiannya masih menempel di tubuhnya. "Semalam ...." Emma berusaha mengingat apa yang terjadi. Karena kepalanya begitu sakit, ia hanya samar-samar mengingat tawa renyah seseorang dan desahan kuatnya. "Nggak mungkin!" Emma menutup wajah seketika. "Gue masih berpakaian. Barangkali dia cuma pegang-pegang gue. Tapi ... kenapa rasanya lain?" Emma menunduk ke arah pangkal pahanya. Ia menggeleng keras. Apakah ia terlalu mabuk hingga tidak sadar ia sudah bercinta dengan begitu panas semalam? Atau itu hanya imajinasinya? Pikiran Emma buyar seketika karena ia mendengar ponselnya meraung. Emma kelabakan, bahkan ia tak tahu di mana tas dan benda-benda miliknya. Kedua mata Emma mengedar hingga ia berlari ke sofa yang ada di ruangan. "Raven!" pekik Emma ketika ia melihat nama calon suaminya di layar ponsel. Dadanya seketika bergemuruh. Ia baru saja menghabiskan malam dengan pria asing, ah, bagaimana jika Raven tahu? Bukankah Raven memiliki banyak mata-mata? Emma membiarkan ponsel itu berdering hingga dua kali karena takut menjawabnya. Ia baru menjawab pada panggilan ketiga. "Halo," sapanya. "Kamu di mana? Kamu ngapain aja? Kenapa kamu nggak bales chat dari aku, Emma?" tanya Raven dengan nada cemas. Emma mencebik. Ia tak tahu muslihat apa yang dimainkan oleh Raven. Namun, ia yakin Raven hanya pura-pura cemas. "Aku ... aku menginap di luar. Aku baru mau sarapan lalu pulang," jawab Emma. "Kita janjian untuk sarapan bareng di hotel Seanshine. Dan aku udah nungguin kamu sejak setengah jam yang lalu!" hardik Raven. "Orang tua kita juga ada di sini." "Oh?" Emma menatap ke arah dinding kamar. Hotel Seanshine. Rupanya ia juga menginap di hotel yang sama. Oh, Tuhan! "Aku ke sana sebentar lagi. Maaf, Raven." Emma memijat pelipisnya sendiri ketika ia mematikan panggilan telepon itu. Dengan cepat, ia berlari ke kamar mandi, membersihkan dirinya seperlunya lalu keluar dari kamar. Sepanjang langkahnya menuju restoran hotel, Emma bertanya-tanya, siapa Jax? Apa saja yang Jax lakukan dengannya? Tak mungkin mereka tidur bersama. Mereka hanyalah orang asing. "Emma, kamu dari mana aja?" tanya Saskia yang lebih dulu menyambut kemunculan Emma di restoran. "Aku nginep di rumah temanku, Ma," jawab Emma. "Kamu nggak pernah nginep sebelumnya dan ... kenapa kamu pakai baju yang sama dengan yang kemarin? Kamu nggak mandi?" tanya Saskia menyelidik. Emma menggeleng dan ia bisa merasakan tatapan dingin Raven tertuju padanya. Ia membenci hal ini. Namun, ia lebih membenci dirinya sendiri yang begitu liar semalam. "Udah deh, Ma. Aku laper banget. Ini kita mau sarapan, 'kan? Nggak usah ngomel," ujar Emma. Ia berjalan mendekat ke meja makan lalu duduk di sebelah Raven. "Kamu nggak dandan," bisik Raven di telinga Emma. "Terserah aku!" Emma melotot pada Raven ketika ia menoleh. "Kamu abis mabuk? Aroma tubuh kamu ... rasanya berbeda." Emma meremang ketika Raven semakin mendekatkan hidungnya seolah ingin mengendus lebih banyak aroma tubuh Emma. "Aku belum mandi, nggak usah dekat-dekat. Kita makan aja." Para orang tua mengira Raven ingin mencium Emma dan wajah Emma memerah lantaran malu. Mereka hanya tertawa dan saling lempar tatap. Itu membuat Emma semakin merasa tak nyaman. Jika saja ia bisa terlepas dari tuntutan pernikahan ini. Sayangnya, ia tak bisa! Pernikahan mereka akan terjadi dalam beberapa hari ke depan. *** Emma tak bisa menghentikan waktu apalagi mengubah takdir. Karena tahu-tahu, hari pernikahannya sudah tiba. Ia didandani dengan kebaya putih super cantik serta mengenakan konde hari itu. Saskia dan Jordi dengan bangganya memasuki ruang rias putrinya. "Kamu terlihat luar biasa, Sayang," puji Jordi. "Raven memilih semua ini untuk kamu, termasuk make up artist. Lihat, jemari kamu sungguh indah," ujar Saskia seraya mengangkat tangan kanan Emma yang dihiasi dengan henna. "Raven sungguh perhatian dengan kamu. Dia mungkin sudah jatuh cinta sama kamu." "Nggak mungkin, Ma. Dia nggak suka sama aku!" Emma masih bersikeras. Ia tahu Raven bersikap baik di depan semua orang, tetapi jika mereka hanya berdua Raven akan memprovokasi hatinya dengan ancaman balas dendam. Ia takut akan ada permainan yang sudah disiapkan oleh Raven untuknya begitu ia sah menjadi istri Raven--milik Raven. Emma juga yakin bahwa Raven memilih semua hal yang bagus dan mewah untuk pernikahan mereka hanya demi pamornya. Pernikahan ini akan diliput oleh media dan sudah pasti Raven butuh pencitraan. "Jangan bodoh, Emma. Dia sangat baik," kata Jordi. Ia memeluk Emma yang masih resah. "Papa harus keluar untuk prosesi pernikahan. Kamu di sini saja, sebentar lagi kamu juga keluar." "Papa kamu benar, kamu beruntung karena Raven mau menikah dengan kamu," kata Saskia. "Dia juga pintar memilih gaun." Emma menggeleng pelan ketika menatap gaun yang masih dipajang di manekin. Ia masih ingat kenapa Raven memilih gaun tersebut. Raven hanya tak sabar untuk membuka tubuhnya. "Sialan! Dasar pria m***m!" batin Emma meronta-ronta. Emma duduk dengan gelisah hingga samar-samar ia mendengar kata 'sah' dari luar ruangan. Apa ini? Secepat ini? Ia sudah sah menjadi istri Ravendra Malik? Kedua tangan Emma mengepal karena ia begitu gemetar. "Nona Emma, Anda bisa keluar sekarang," kata seseorang dari arah pintu. "Ayo, Emma," ujar Saskia. Ia membantu Emma berdiri karena gadis itu rasanya sudah tak memiliki tulang lagi. "Di luar banyak wartawan, wajah kamu bakal masuk majalah dan televisi lagi. Kamu pasti senang." Tidak, ini tidak menyenangkan bagi Emma. Begitu ia keluar dari ruangan, ia semakin berdebar saja. Apalagi ia bisa melihat Raven tersenyum padanya. Senyuman miring itu! Senyuman yang menyiratkan bahwa kini ia sudah memiliki dirinya. Ia berkuasa penuh atas dirinya. Emma ingin lari, Emma ingin menghentikan ini. Sayangnya, dalam sekejap Emma sudah duduk di sebelah Raven. "Kamu cantik sekali, Istriku," ujar Raven begitu Emma duduk. "Senyum. Semua orang menatap!" Emma tersenyum kaku. Apalagi ia bisa melihat Raven bicara tanpa suara. "Ini pertunjukan, Sayang. Mainkan peran kamu dengan baik." Emma menunduk pada kotak cincin pasangan yang harus mereka sematkan secara bergantian. Raven juga yang memilih cincin mahal tersebut untuk mereka berdua. Raven bahkan menuliskan nama mereka di balik lingkaran cincin tersebut. Sungguh pertunjukan yang spektakuler! Emma menatap cincin Raven usai pria itu menyematkan cincin untuknya. Raven juga mencium punggung tangannya dengan sangat lembut. Dan kini, giliran dirinya yang melakukan penyematan cincin. Ia menyentuh tangan besar Raven lalu mulai memasangkan cincin tersebut. Kilatan lampu flash kamera menghujani pasangan suami istri itu. Apalagi ketika Raven memberikan kecupan di kening Emma. "Ingat, Emma, kamu adalah milikku mulai hari ini. Aku bebas memainkan kamu sesuka hati aku. Dan jangan lupa, aku bakal bikin kamu berlutut di depan aku." Raven bicara dengan lirih dan sembari tersenyum. Semua orang pasti mengira Raven sedang membisikkan kata-kata romantis pada istrinya. Sayang, yang terjadi justru sebaliknya. Raven kini merangkul Emma. Mereka memamerkan cincin pasangan mereka juga buku pernikahan mereka di depan semua orang. Rasanya Emma sudah lelah melebarkan bibirnya untuk membentuk senyuman palsu. Ketika ia menoleh pada Raven, ia tak bisa mengerti karena pria itu tampak sangat pandai berakting. Raven tersenyum begitu lebar. Yah, ia mengerti. Raven memang sangat bahagia dengan pernikahan mereka karena Raven bisa membalaskan dendamnya mulai hari ini. *** Debaran di jantung Emma tak berakhir hingga acara resepsi mereka selesai. Ia baru saja digiring masuk ke kamar pengantin yang ada di hotel yang mereka gunakan untuk menikah pagi tadi. Emma sendirian di kamar karena Raven masih memiliki beberapa tamu khusus. "Ini gila. Dia pasti seneng banget udah nikah sama gue. Apa rencana Raven ke gue? Di mau balas sakit hati dia ke gue dengan cara apa?" Emma tak habis pikir. Ia mondar-mandir sambil bermonolog selama hampir setengah jam. Karena merasa lelah, Emma pun memutuskan untuk duduk lalu mencopot sepatu berhak tingginya. Ia sadar, ia harus mencopot gaunnya sebelum Raven yang melakukannya! Emma mengulurkan tangannya ke belakang punggung, ia berusaha menggapai resleting gaunnya. "Mana sih?" Emma berpindah ke depan cermin besar yang ada di kamar. Ia berusaha sekali lagi untuk menarik resleting gaunnya, tetapi sayang gaun itu memiliki resleting yang begitu rendah hingga ia tak bisa menggapainya. "Sial!" Emma mengumpat keras. Pada saat itu, pintu kamar terbuka hingga ia terkesiap. Senyum miring Raven terlihat lebih dulu. Emma mundur selangkah hingga menumbuk meja rias. "Kenapa kamu gugup begitu? Sini aku bantuin," kata Raven yang tengah mendekat. "Aku kan udah bilang, gaun itu aku yang pilih karena aku yang harus buka." "Nggak lucu, Raven. Aku capek seharian pura-pura senyum dan ketawa. Aku juga capek difoto, aku capek berdiri dan salaman sama banyak orang. Nggak usah m***m!" seru Emma. Raven tertawa kecil. "Aku masih bisa bikin kamu lebih capek sekarang juga. Kita udah sah. Aku penasaran ... seperti apa rasanya tubuh kamu. Bukannya ... ini bukan yang pertama bagi kamu?" "Jangan sembarangan!" hardik Emma tak terima. Ia begitu bodoh menyangkal ucapan Raven. Ia sudah terlalu banyak berpacaran dan jika Raven menuntut haknya saat ini, maka tamatlah sudah. Raven semakin mendekat. Dengan lembut pria itu menyentuh kedua lengan Emma lalu ia membalik tubuh Emma. Gadis itu bernapas naik turun ketika Raven menyentuh punggungnya lalu ia merasakan tarikan kuat di gaunnya. Tidak! Emma menahan napas kali ini. "Raven, aku bilang aku capek," kata Emma ketika tubuhnya kembali dibuat menghadap ke arah Raven. Gaunnya meluncur turun dari tubuhnya seketika hingga menyisakan dalaman. "Aku cuma bantu kamu lepas gaun kamu. Aku tahu kamu lelah karena aku juga," ujar Raven. Pria itu menjangkau sebuah paper bag yang ada di atas meja rias. "Mandi dan pakai itu, Sayang. Kita akan jalan-jalan malam ini ke tempat bulan madu kita." Emma menatap Raven dengan malu karena kini kedua mata Raven tak terpaku pada wajahnya. Entah apa yang dipikirkan Raven karena ia mengira Raven akan segera menerkamnya. "Kamu punya tubuh yang indah. Aku suka dan aku nggak sabar untuk menikmatinya," ujar Raven sebelum pria itu membalik badan lalu melepaskan tuksedonya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN