4. Petaka Malam Pertama

1493 Kata
Emma tak tahu, haruskah ia bersyukur atau bertanya-tanya kenapa Raven tidak melakukan apapun usai adegan pencopotan gaunnya yang super mahal dan seksi? Emma menghabiskan waktu sorenya dengan mandi seorang diri sementara Raven tiduran di atas ranjang pengantin sembari menelepon seseorang, atau beberapa orang. Emma tak ingin tahu. Emma memilih duduk di depan meja rias untuk menyisir rambutnya yang kusut karena bekas konde. Ia agak kesulitan untuk merapikan rambutnya kembali, tetapi Raven terlihat tak peduli. Emma mendengkus, toh, ia juga tak ingin didekati oleh Raven. "Kita makan malam dengan orang tua kita lebih dulu nanti," ujar Raven ketika ia selesai menelepon Erik, asisten pribadinya. "Oke," tukas Emma. Ia mengangkat sejumput rambutnya. "Bisa aku memanggil seseorang untuk membantuku merapikan ini?" "Ya. Seseorang akan datang untuk itu. Jangan khawatir, tunggu aja sebentar," jawab Raven. "Kamu terlihat lebih cantik setelah mandi, Sayang. Aku juga harus mandi." Emma menatap Raven yang baru saja berdiri. Jika tadi Raven mengenakan tuksedo putih, kini yang tersisa di tubuhnya hanyalah selembar kemeja putih tipis. Beberapa anak kancingnya yang terbuka di bagian atas membuat d**a bidang Raven terpampang di mata Emma. Sontak, wanita itu memalingkan wajahnya. Ia ingat, Raven sangat kurus dulunya. Sekarang, Raven sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Emma menatap dirinya di cermin. Berkebalikan dengan Raven, dulunya ia sangat cantik dan memiliki orang tua kaya raya. Ia menjadi pujaan hati para murid laki-laki juga mahasiswa di kampusnya. Apalagi ketika ia menjadi model lokal di ibukota. Ia juga sempat bermain di beberapa film pendek. Sayangnya karir Emma meredup dengan cepat ditambah kemunduran perusahaan orang tua Emma. Kini, Emma hampir tak memiliki sinar lagi di kehidupannya. "Permisi, Nona Emma!" Emma yang melamun tiba-tiba dikagetkan dengan suara seorang perempuan di luar kamar. Ia pun segera membukanya. "Selamat sore, saya diminta tuan Raven untuk membantu Anda merapikan rambut Anda kembali, Nona. Boleh saya masuk?" tanya wanita itu. "Ya, tentu." Emma membuang napas. Ia tak mengira Raven menyiapkan seseorang untuk mengurusnya. *** Emma menghabiskan awal malamnya dengan berkumpul bersama keluarga besar Raven dan orang tuanya. Ia mulai mengenal para sepupu Raven juga paman dan bibinya. Mereka terlihat baik, sama seperti orang tua Raven yang juga baik dan ramah. Emma berharap mereka benar-benar baik bukannya sedang bersandiwara, seperti Raven. Ia tak ingin memiliki drama mengerikan bersama mertuanya. "Kamu akan membawa Emma berlibur malam ini?" tanya Asri pada Raven. "Iya, Ma. Aku ingin suasana yang tenang," jawab Raven. "Ciyee! Yang mau bulan madu," ledek Anisa, sepupu Raven yang tertua. "Iya dong, Kak. Kan perlu quality time sama istri," ujar Raven seraya merangkul bahu Emma. "Kita pergi sebentar lagi." "Ke mana kita pergi?" tanya Emma gugup. "Ke vila keluarga aku, kamu tenang aja di sana pemandangannya bagus banget," kata Raven. "Berapa lama kalian akan tinggal di sana? Bukannya kamu sibuk?" tanya Sadewo, ayah Raven. Raven tampak berpikir. "Rencananya tiga hari aja. Tapi nggak tahu besok. Emma ambil cuti seminggu. Iya, 'kan?" Emma mengangguk. Ia mulai cuti sejak kemarin dan ia memiliki banyak waktu luang hingga enam hari ke depan. "Gunakan waktu kalian berdua," sahut Saskia. "Setelah menikah memang perlu waktu berduaan." "Pulang-pulang nggak berdua lagi ntar," ledek Anisa lagi. Semua orang tertawa, bahkan Emma juga ikut tertawa garing. Yah, itulah yang dilakukan oleh pengantin baru, pikirnya. Raven mungkin tak akan membencinya lagi jika ia bisa melayani pria itu di atas ranjang, pikirnya dalam hati. Beberapa pria seperti itu, mereka akan tunduk setelah merasakan nikmatnya tubuh wanita. "Kita pergi sekarang, Sayang," bisik Raven. Emma mengucap selamat tinggal pada semuanya. Ia agak sedih karena mulai sekarang ia tak akan tinggal dengan orang tuanya. Namun, orang tuanya tampak senang ia bisa menikah dengan pria seperti Raven. "Di mana vilanya? Apakah cukup jauh?" tanya Emma ketika mereka berada di mobil. Jika biasanya Raven akan menyetir sendiri, kali ini mereka bersama dengan Erik. "Lumayan, kamu bisa tidur lebih dulu jika mengantuk," jawab Raven. Emma memang mulai mengantuk, tetapi ia memilih untuk melihat jalanan saja. Ia ingin tahu, ia dibawa ke mana oleh Raven. Ia tak mau tiba-tiba terbangun di tempat asing. Mobil Raven meluncur di jalanan selama hampir satu setengah jam. Hingga akhirnya, mobil itu berhenti di depan sebuah bangunan besar. Emma melirik jam di ponselnya. Ini sudah hampir jam 11.00 malam. "Ayo turun, Emma. Kita harus istirahat," ujar Raven. "Ya. Ayo." Emma sudah bertekad, ia tak akan tunduk di bawah kaki Raven. Malam ini juga ia akan melumpuhkan pria itu. Ia tak mau dijadikan objek balas dendam konyol itu oleh Raven. Jadi, ketika Emma turun dari mobil, ia mengangkat dagunya tinggi-tinggi. "Apa kita hanya berdua?" tanya Emma. Ia baru saja mengedarkan matanya ke penjuru bangunan yang ia masuki. Vila itu sangat besar dengan desain vintage, tetapi terlihat begitu elegan. "Pasti ada banyak kamar di sini." "Kita nggak cuma berdua. Ada banyak pelayan di sini. Erik juga menginap di sini. Tapi ...." Raven menghentikan langkahnya ketika mereka berada di bawah anak tangga. "Kita akan berdua saja di kamar." "Ya, ini malam pertama kita," tukas Emma yang tak ingin lemah lagi di depan Raven. Kedua alis Raven terangkat seketika. Ia tersenyum miring karena ucapan Emma yang menggelitik hatinya. Ia yakin sudah berhasil membuat istrinya itu gentar dengan aksinya, tetapi kini Emma terlihat berbeda. "Di mana kamar kita?" tanya Emma. Raven mengedikkan dagunya ke atas. Mereka lantas menaiki anak tangga. Raven menunjuk kamar mereka lalu membuka pintu. Ia mempersilakan Emma untuk masuk terlebih dahulu. Emma dibuat terkesima dengan kamar mereka yang begitu indah, apalagi ada aroma terapi yang membuat suasana begitu menenangkan. Jika ini adalah bulan madu yang sesungguhnya, maka ia akan sangat bahagia. Emma yang masih melihat-lihat isi kamar, mendadak terkejut karena Raven baru saja memeluk tubuhnya dari belakang. "Raven," bisik Emma. Ia meremang karena sentuhan demi sentuhan yang diberikan oleh Raven ke tubuhnya. Raven tak hanya menyentuh dengan jemarinya, tetapi juga dengan bibir. "Kamu suka?" tanya Raven ketika ia membalik tubuh Emma. Kedua tangannya masih menahan pinggang Emma sementara wajahnya begitu dekat untuk mencium bibir merah Emma. Emma menahan d**a Raven dengan kepalan tangannya karena tatapan Raven begitu mencemooh alih-alih b*******h. Ia yakin, Raven melakukan hal-hal ini hanya untuk menggodanya. "Katakan, Emma. Kamu menginginkan aku malam ini. Kamu ingin ciuman aku, kamu juga ingin dipuaskan dengan tubuh aku," bisik Raven tepat di telinga Emma. "Kalau kamu hanya bermain-main dengan pernikahan kita, aku tak menginginkannya," ujar Emma seraya mendorong d**a Raven. "Jadi, kamu ingin ini menjadi sungguhan? Pernikahan kita, kamu ingin kita serius dengan pernikahan ini?" tanya Raven. Kini telapak tangan Raven mengangkat rahang Emma hingga jarak bibir mereka semakin dekat. "Aku tahu, kamu punya niat jelek," ucap Emma. Raven tertawa kecil. "Kamu selalu menilai hal-hal dengan sebelah mata, Emma. Dulu, kamu menganggap aku begitu jelek dan miskin. Kamu pandai menghina orang lain, tetapi kamu lupa bercermin." "Lepasin aku dan berhenti ngebahas masa lalu, kita sudah tumbuh dewasa, Raven!" seru Emma. Raven menggeleng. "Aku udah bilang, aku nggak akan berhenti hingga kamu tunduk sama aku. Sekarang biarkan aku ... mencicipi kamu." Emma membelalak ketika jemari Raven turun dari rahang ke punggungnya, sama seperti tadi sore, Raven menguliti gaunnya dengan cepat. Emma terdorong mundur ke ranjang dan mendadak ia sudah ditindih. Ia ingin beraksi malam ini, ia yang seharusnya melumpuhkan Raven, tetapi kenapa ia begitu lemah. Padahal, Raven masih bermain-main dengan jarinya. "Bagaimana, Emma? Katakan saja, kamu menginginkan aku," pancing Raven. Ia tersenyum puas karena bisa membuat tubuh Emma menggelinjang. "Itu baru jari aku yang menyentuh tubuh kamu. Bagaimana jika ...." "Hentikan, Raven," pinta Emma. Ia mencoba membalik tubuhnya, tetapi sial, Raven terlalu kuat untuknya melawan. Ia bahkan tak bisa menguasai permainan. Dan tiba-tiba terdengar dering ponsel yang begitu kuat. Raven menarik bibirnya membentuk seringaian. "Tunggu sejenak, Sayang. Aku tahu kamu udah nggak tahan, tapi kita bisa lanjutkan nanti." "Sembarangan!" Emma memukul d**a Raven kuat-kuat. Padahal, Raven tidak sepenuhnya salah, sedetik lalu ketika jari Raven meninggalkan tubuhnya, ia begitu merasa dipermainkan. Ia sudah hampir mencapai ketinggian. Sungguh memalukan! "Halo!" Emma mendengar Raven bicara di telepon. Pria itu mengerutkan keningnya seolah baru saja mendengar sesuatu yang tak mengenakkan. "Di mana dia dirawat? Bagaimana kondisinya?" Emma semakin penasaran karena kini Raven terdengar begitu khawatir. Apakah ada seseorang yang sakit hingga dirawat di rumah sakit? "Apa? Operasi? Kapan?" Sepertinya orang itu agak parah hingga harus dioperasi, pikir Emma yang menyimak ucapan Raven tanpa tahu apa yang dikatakan oleh sang penelepon. "Malam ini juga? Ah, aku akan ke sana. Pastikan dia ditangani dengan baik. Aku segera ke sana. Sekarang juga." Emma mencelos untuk alasan yang tak pasti. Ini malam pertamanya dan Raven justru pergi untuk seseorang. Emma bahkan sudah hampir ditelanjangi dan dimainkan. Ia merasa sangat terhina sekarang. "Apa yang terjadi?" tanya Emma. "Kalisa sakit. Aku harus ke rumah sakit sekarang. Kamu di sini saja," jawab Raven. "Kalisa? Siapa Kalisa?" Emma mengerutkan keningnya. Baru kali ini ia mendengar nama Kalisa. "Dia pacarku. Aku harus mendampingi dia di rumah sakit sekarang juga," jawab Raven. Emma ternganga. Ia hampir menyuarakan protes, tetapi Raven dengan cepat meninggalkan kamar pengantin mereka. Bahkan Raven pergi dengan berlari. Yah, Raven berlari pada seorang wanita bernama Kalisa. Pacarnya. "Sialan, jadi gue nikah sama pacar orang?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN