Emma memutar cincin yang melingkari jarinya sejak 30 menit yang lalu. Ia merasa begitu bodoh karena ia tak bisa menyuarakan isi hatinya ketika pertunangan dadakan itu terjadi. Tahu-tahu, ia sudah bertukar cincin dengan Raven. Tidak! Ia masih bisa protes pada orang tuanya, pikir Emma.
"Ma, plis. Aku nggak mau nikah sama Raven. Orang lain aja, aku pasti nggak akan nolak," kata Emma yang mulai mengeluarkan protesnya.
"Kamu ini bicara apa? Kamu nggak liat bagaimana baiknya orang tua Raven sama kamu? Mereka suka sama kamu. Jadi, itu hal yang baik. Kamu cantik banget, Raven juga ganteng. Kalian berdua bakalan cocok jika bersanding," ujar Saskia meyakinkan.
Emma menggeleng keras. Tidak, Raven memiliki niat yang busuk. Ia tak ingin dipermainkan dalam pernikahan itu. "Raven nggak suka sama aku, Ma. Raven cuma mau ... pokoknya Raven nggak suka sama aku!"
"Omong kosong!" hardik Saskia. Ia tersenyum dan menepuk punggung tangan putrinya. "Kamu nggak liat sejak tadi Raven terus menatap kamu? Dia kelihatan senang banget bisa bertemu dan menikah dengan kamu, Emma."
"Yah, dia senang karena dia bisa balas dendam," batin Emma.
"Kamu nggak usah cemas, Emma," tukas Jordi. "Walaupun kalian dijodohkan, Papa tahu keluarga Raven adalah keluarga yang baik. Raven juga pria yang menjadi incaran banyak wanita saat ini. Kamu nggak akan rugi menikah dengan Raven. Papa yakin, kamu akan kembali bersinar di depan semua orang."
Emma memijat pelipisnya sendiri. Rasanya tak ada gunanya menjelaskan pada mereka. Ia juga tak ingin mereka tahu bahwa ia sudah melakukan tindakan buruk pada Raven 10 tahun yang lalu.
"Papa kamu benar. Yang paling penting, keluarga Raven sangat kaya. Mereka bisa membantu keluarga kita," ujar Saskia memungkas obrolan mereka di perjalanan pulang.
***
Satu minggu berlalu dalam kehidupan Emma. Emma mulai resah karena tanggal pernikahannya mulai dekat. Ia tentu tidak tinggal diam karena ia masih ingin protes. Namun, itu sia-sia. Ibunya akan mengatai dirinya sebagai anak yang tak berbakti jika menolak perjodohan ini. Apalagi selama ini, ia hanya bersenang-senang dan bahkan menghabiskan uang sesuka hatinya tanpa peduli ayahnya bekerja keras.
Dan kini, Emma baru saja selesai bekerja dan hendak pulang. Tiba-tiba Emma dikagetkan dengan sebuah mobil merah yang berhenti tepat di depan studio radio Chiro, tempatnya bekerja. Suara klakson membuatnya dua kali lebih kaget.
"Buruan masuk!" seru di pengemudi yang baru saja mendorong pintu mobil agar terbuka.
Emma menelengkan kepalanya untuk melihat Raven. "Aku bisa pulang sendiri. Aku bawa mobil."
"Calon suami kamu datang jemput kamu. Kamu nggak boleh nolak. Ayo buruan, kita harus pilih gaun pernikahan kamu," ujar Raven yang mencondongkan tubuhnya ke arah jok penumpang. Ia melambaikan tangan pada Emma.
Emma mendengkus keras. Ia akhirnya masuk ke mobil dan duduk di sebelah Raven. "Bukannya outfit kita udah siap kemarin. Apalagi yang mau dipilih?"
"Gaun resepsi. Kamu hanya boleh pakai gaun yang aku pilihkan!" Raven tersenyum miring seraya menarik sabuk pengaman Emma.
Aksi Raven membuat Emma harus menahan napas lantaran ia berada di jarak super dekat dengan Raven. Apalagi kedua mata Raven mengunci matanya. Sumpah, itu adalah tatapan yang membunuh.
Beruntung, Raven langsung menarik dirinya lalu mulai menyetir mobil. Sepanjang perjalanan, Raven tidak bicara apapun. Dan itu justru membuat Emma sangat gelisah, seolah Raven sengaja melakukan itu padanya. Padahal mereka akan menikah 3 minggu lagi.
"Raven, apa kamu serius mau melangsungkan pernikahan itu?" tanya Emma ketika mobil Raven melambat dan memasuki halaman sebuah butik ternama.
"Kenapa? Undangan sudah dicetak, kita akan menikah dengan pesta yang sangat meriah, Emma. Semua orang di negeri ini akan tahu bahwa kamu menikah denganku. Semua orang akan tahu bahwa kamu adalah milikku," kata Raven datar. "Ayo keluar!"
Emma membuang napas panjang. Raven menjadi pria yang sangat tersohor saat ini, ia harus terbiasa dengan sorotan media. Itulah yang dikatakan oleh ibunya. Namun, itu bukan hal yang mudah ketika ia sudah tak memiliki cahaya lagi di dunia hiburan. Ia justru khawatir jika ia dianggap sebagai wanita yang memanfaatkan karir suaminya untuk kembali dilirik publik.
Dengan langkah berat, Emma pun mengikuti Raven. Ia terpukau sejak masuk karena tahu Butik Cakrawala adalah butik milik desainer terkenal yang memiliki koleksi khusus dan mahal.
"Selamat datang, Tuan Raven, Nona ...."
"Emma." Raven yang menjawab. Pria itu menarik lengan Emma dan menggandengnya. "Dia calon istriku. Kami ingin memilih gaun untuk pesta resepsi."
"Oh, ya," ujar wanita yang menyambut mereka. "Silakan masuk."
Emma dibuat terpukau dengan gaun yang ada di rak display dan manekin. Ia yakin, harga gaun ini selangit. Namun, ia bersama dengan Raven yang kaya raya. Mungkin bukan masalah jika hanya membeli sehelai gaun super mahal di sini.
"Anda bisa memanggil saya jika sudah selesai memilih. Saya bisa membantu Nona Emma mencoba gaunnya," kata wanita itu lagi sebelum meninggalkan Raven dan Emma berdua saja di ruangan.
"Kenapa kita hanya berdua?" tanya Emma gugup. Ia tak ingin berduaan dengan Raven. Ini berbahaya, pikirnya dalam hati.
"Kenapa tidak? Pengantin pria yang harus memilih gaun untuk calon istrinya." Raven berdiri lalu mengulurkan jemarinya di deretan gaun yang dipamerkan. "Kamu tahu kenapa seorang pria yang harus memilih gaun untuk calon istrinya?"
Emma menggeleng. Ia tak pernah membayangkan pernikahan sebelumnya, ia juga tak pernah membaca teori tentang pernikahan.
"Kenapa?" tanyanya. "Agar pengantin wanitanya terlihat cantik? Atau ... agar pengantin pria bisa menyesuaikan harga gaunnya dengan uang yang dia punya? Atau barangkali ... aku tak tahu, Raven."
"Kamu salah. Bukan begitu, Emma. Seorang pria tak hanya memilih gaun yang paling cantik dan paling mahal. Tapi, seorang pria akan memilih gaun yang memiliki desain paling mudah untuk dibuka," kata Raven dengan seringaian di wajahnya.
"Apa?" Emma terkesiap dengan wajah memanas.
"Itu yang akan aku pilih. Mana yang paling cocok untuk tubuh kamu dan mana yang mudah dibuka untuk malam pertama kita," ujar Raven. Ia mencondongkan wajahnya ke wajah Emma yang merah padam. Pria itu langsung tertawa karena Emma terlihat malu-malu.
"Ternyata kamu tak hanya berubah secara fisik. Otak kamu juga jadi m***m!" seru Emma.
Raven tampak tak peduli dengan ucapan Emma. Ia terus memilih gaun satu demi satu lalu meminta Emma untuk mencobanya. Hingga akhirnya, ia memilih sebuah gaun putih panjang dengan potongan d**a yang lebar.
"Itu cantik dan itu sangat mudah dibuka. Aku nggak sabar dengan hari pernikahan kita, Emma."
***
Membeli gaun untuk resepsi pernikahan hanyalah satu dari sekian hal menyebalkan yang dilakukan Raven terhadap Emma. Raven hampir selalu muncul secara tiba-tiba di setiap waktu dan tempat seolah ia sedang meneror Emma. Ditambah, berita pernikahan itu juga sudah tersebar di mana-mana termasuk di telinga teman-teman bekerja Emma.
"Hebat sekali, Emma, kamu bisa menikah dengan pria seperti Raven. Dia kaya dan muda, dia juga tampan," komentar salah satu temannya.
"Ya, bagaimana ceritanya kamu bisa kenal dengan Raven?" tanya yang lain.
"Kami teman waktu SMA." Emma menjawab pertanyaan yang berulang-ulang itu dengan jawaban yang sama. Mereka sama sekali bukan teman, ia tidak menyukai Raven dan Raven membencinya!
Emma yang merasa frustasi karena hari pernikahannya semakin dekat memutuskan untuk menghibur diri malam itu. Ia sengaja datang ke sebuah bar kecil yang tak jauh dari stasiun siaran radio Chiro. Ia memesan minuman beralkohol dan meneguknya seorang diri di dekat meja bartender. Hingga tiba-tiba ada seseorang yang juga duduk di sebelahnya.
"Apa ini hari yang buruk bagi kamu?" tanya pria itu.
Emma hampir mabuk, ia tak bisa melihat dengan jelas wajah pria tersebut. Namun, ia mengangguk. Ini bukanlah hari yang buruk, tetapi hari-harinya selalu buruk semenjak ia bertemu kembali dengan Raven!
"Kenapa? Mau cerita?"
"Siapa kamu?" tanya Emma. Baru kali ini ada pria yang menemaninya mabuk di bar kecil ini.
"Jax, kamu bisa panggil aku Jax," jawab pria itu. "Kamu bisa bercerita, aku juga ingin berbagi cerita denganmu. Ini juga hari yang buruk bagiku."
Emma mengangkat gelasnya seolah ia begitu senang karena ia bukanlah satu-satunya orang paling sial di dunia. "Aku harus menikah dengan pria yang pernah aku tolak cintanya ketika SMA. Dia benci sama aku dan dia bilang dia pengen balas dendam dengan pernikahan itu. Sayangnya, aku nggak bisa menolak pernikahan itu. Keluargaku butuh dukungan finansial dari keluarganya."
Emma kembali meneguk minumannya lalu ia membuang napas panjang. "Bagaimana dengan kamu? Apa ada yang lebih buruk dari pernikahan paksa?"
Pria itu tertawa dengan renyah hingga Emma yakin ia tak akan melupakan jenis tawa seperti ini. "Aku harus dioperasi. Aku punya kanker. Mengejutkan."
"Stadium akhir?" tanya Emma terkejut. Jika itu berhubungan dengan kematian, itu tentu jauh lebih buruk daripada situasinya.
Emma tak tahu pria itu menjawab apa karena kepalanya semakin pusing saja. Ia kembali minum, tetapi minumannya justru membuatnya semakin tak bisa mengangkat kepala.
"Aku harus pulang," ujar Emma.
"Jangan. Jangan pergi, aku belum tahu namamu." Pria itu merangkul bahu Emma dengan lembut. "Kamu mau melakukan sesuatu untuk melupakan hari buruk kita? Aku tahu bagaimana caranya."
"Bagaimana? Aku nggak bisa mengusir pria itu begitu saja," ujar Emma seraya menepis tangan Jax.
"Tenanglah, akan kubawa kamu ke tempat yang menyenangkan. Aku jamin, kamu akan melupakan pria itu malam ini."
Emma sangat ingin menolak karena ia tak ingin memiliki masalah baru. Namun, ia yang sudah mabuk berat tak sanggup menolak ajakan Jax. Dalam sekejap, Emma berada di sebuah kamar hotel yang beraroma segar. Emma mencoba mengumpulkan kesadarannya, tetapi justru ia terbuai dengan malam panasnya yang tidak terencanakan.