9. Perbedaan

1306 Kata
Merasa namanya terpanggil, Dzakki sontak menolehkan kepalanya ke belakang. "Eh, iya Pak. Ada apa?" "Lagi makan siang ya?" "Iya Pak." "Nanti sehabis makan siang, pak Fikar bilang suruh temui dia." "Baik pak Adi, terima kasih atas infonya." "Iya sama-sama. Kalau begitu, saya duluan ya Dzak. Mari Mbak." Talita ikut menunjukkan senyumannya sebab dia di sapa oleh pria itu. "Siapa Mas?" tanya Talita dengan pandangan yang terus mengiktu langkah pria yang tadi menyapanya. "Sekertarisnya Fikar. Abis ini, kamu langsung pulang ya. Mas pulang kayak biasa." "Oke. Aku mulai kerja besok kan ya Mas?" Dzat menganggukkan kepalanya, "Iya besok." Mereka melanjutkan makan siang dengan hening. "Mas udah selesai, kalau Mas tinggal gak papa kan?" Talita mengangkat kepalanya, "Iya gak papa. Nanti Lita pulang naik apa Mas?" Dzakki menepuk dahinya, dia lupa jika adiknya itu berangkat bersama dengannya tadi pagi. "Astaghfirullah, Mas lupa. Yaudah, kamu Mas pesenin ojol gak papa?" Talita menganggukkan kepalanya, "Iya Mas gak papa." Mendapat persetujuan dari sang empu, Dzakki langsung memesankan ojol untuk adiknya. "Ta, hafalin alamat rumah ya. Kalau sewaktu-waktu kamu pulang kayak gini." pinta Dzakki, lebih tepatnya perintah mutlak darinya. Tangan kanannya dia tempelkan di kening, "Siap bos." ujar Talita seraya menunjukkan deretan giginya Ojol yang di pesan Dzakki sudah datang. Dzzaki mengantarkan adiknya lebih dulu bertemu siapa pengemudi ojol yang akan membawa adiknya sampai rumah. "Atas nama Pak Ijal ya?" tanya Dzakki setelah membaca pengemudi yang dia dapatkan. "Betul Pak." Dzakki menolehkan kepalanya, "Ya udah, kamu pulang ya. Kabarin Mas kalo udah sampe rumah." "Oghey Mas. Lita pulang ya," Talita meraih punggung tangan Dzakki dan mengecupnya, "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam." Sepanjang perjalanan menuju rumah, senyum di bibir Talita terus mengembang. Dia tidak menyangka jika menunggu dirinya ke terima atau tidak di perusahaan ini sangat mendebarkan. Dan hasil yang dia dapat juga tidak mengecewakan. "Sudah sampai Mbak." Talita sampai tidak sadar jika motor yang di tumpanginya sudah sampai di halaman rumahnya. "Eh," Talita turun dari motornya, "Udah di bayar belum Pak?" "Sudah Mbak tadi sama masnya." "Oke, terima kasih ya Pak." Talita melenggang masuk ke dalam rumahnya. Ketika di dalam rumah, Talita tidak langsung beranjak ke kamarnya melainkan leyeh-leyeh di sofa lebih dulu. Baru saja dia mau memejamkan matanya, suara bel pintu langsung berbunyi sangat nyaring. Tidak mau membuat tamu itu menunggu lebih lama, Talita membukakan pintu rumahnya. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam, cari siapa ya Bu?" "Dzakkinya ada?" "Mas Dzakki masih di kantor Bu." "Oalah, ya sudah. Ini ada sesuatu, nanti tolong sampaikan ke nak Dzakki ya. Kamu siapa ya nak kalau boleh tahu?" Talita taksir, umur wanita yang ada di depannya seumuran dengan ibunya. Tidak jauh beda. "Oh, saya adiknya mas Dzakki Bu. Nama saya Talita." dengan sopannya, Talita sedikit menundukkan kepalanya. "MasyaAllah, kok Dzakki ngga bilang ya ke Ummi kalo adiknya sudah sampai." Ummi? Siapa wanita di depannya ini sebenarnya? Banyak pertanyaan yang tersimpan di otaknya, tapi keberanian belum Talita dapatkan. "Ya sudah, nanti bilangin aja ya Nak. Ummi ke sini gitu." "Iya Bu, nanti akan saya sampaikan." Wanita itu tersenyum sangat manis dan di balas oleh Talita. "Kalau begitu, Ummi pulang dulu ya. Salam buat Dzakki." "Iya Bu, nanti saya sampaikan." "Permisi, wassalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam." Talita masih memandangi langkah wanita itu. Sebentar, ada yang aneh. Wanita itu naik ke dalam mobil tepat di depan rumah bos barunya. Apa mungkin, dia orang tua dari Fikar? Melihat mobil yang di naiki wanita itu sudah menjauh, barulah Talita masuk ke dalam rumah. Dia melangkahkan kakinya menuju dapur. "Siapa ya ibu-ibu tadi?" guman Talita seraya mengeluarkan kue dari dalam kotak makan. Dari harumnya saja, Talita bisa tahu jika kue ini baru selesai di masak. Tapi itu, dia masih penasaran siapa gerangan wanita itu? Apa mungkin ibu dari bosnya? Malas menerka-nerka, selesai menghidangkan kue di atas meja makan, Talita beranjak menuju kamarnya. Sepertinya dia membutuhkan air dingin untuk menyiram tubuhnya yang sudah mulai mengeluarkan keringat di sore hari. Tapi niat hanya sekedar niat. Sesampainya di kamar, Talita malah duduk di pinggiran kasurnya. Mengeluarkan ponsel miliknya dari dalam saku celana jeans yang dia kenakan. Ternyata dia tidak merasa jika ada panggilan masuk ke ponselnya. Tanpa menunggu lama, Talita segera menghubungi orang yang tadi menghubunginya. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk panggilan darinya di angkat. "Halo, kenapa Jo?" [Ck, katanya kalo di telfon ngga bakal angkat lama. Apaan ini buktinya.] "Ya Allah, sorry Jo. Tadi HP-nya gue silent." [Untung ya, gue ngga nyusul lu ke Jakarta.] Talita terkekeh mendengar apa yang orang di seberang sana katakan, "Sini aja kalo berani." tantang Talita. [Nantang ya sekarang. Liatin aja, gue dapet izin dari kantor, lu harus jemput di bandara pokoknya.] Talita merebahkan tubuhnya di kasur dnegan ponsel yang masih setia di telinganya. "Siapa takut." [Lit.] "Hm?" [Kangen.] Lagi-lagi Talita dibuat tertawa. Dia membayangkan raut wajah orang di seberang sana yang merengek kepadanya. "Mangkannya flight ke sini lah, masa iya gue yang balik lagi ke sana." [Argh, minggu depan deh gue ke Jakarta.] "Kangen gue banget ya?" [Banget. Ngga ada yang gue jailin lagi, ngga ada yang manja ke gue lagi.] "Hahaha, tapi kan lu gue repotin mulu Jo?" [Justru itu Lit, gue di sini nganggur ngga ada yang ngerepotin. Cuman lu doang yang berani merintah senior.] Jujur, Talita juga sebenarnya merindukan sosok Joshua disampingnya. Joshua yang selalu ada di saat dirinya merasa sedih, kesepian, galau apapun yang dia rasakan dengan senang hati Joshua akan menemaninya. Joshua kakak tingkat Talita sewaktu di SMA. Talita bukan anak yang polos, dia tahu jika Joshua ini menyukai dirinya. Tapi satu yang menjadi halangan untuk keduanya. Tidak seiman. Berat, sangat berat. Bukan hanya Joshua sebenarnya, Talita juga memiliki sedikit perasaan kepada kakak tingkatnya itu. Dzakki juga tahu perihal Joshua, bahkan kedua orang tuanya sangat percaya dengan Joshua. Ketika Joshua ke rumahnya, sangat mudah dis mendapatkan izin dari ayahnya. "Jo," [Hm?] "Kalo ke sini, bawain bakpia ya." Talita mendengar suara kekehan di seberang sana. [Boleh. Mau berapa pack? Sebutin aja.] "Ck, sombong kali anak ini." [Lit,] Talita mendengar suara sendu yang berasal dari Joshua, seketika panik. Dia langsung mendudukkan dirinya. "Jo? Ada sesuatu?" dia yakin, sangat yakin jika masalah itu kembali terjadi. [Coba lu di sini.] Talita menghela nafasnya, dia tahu Joshua tidak memiliki teman atau sahabat yang lain. Hanya dengan dirinya lah, Joshua mencurahkan segala kegundahan di hatinya. Termasuk permasalahan rumah tangga orang tuanya. "Yaudah, lu pindah aja ke Jakarta." Talita mengucapkan itu hanya bercanda, tidak sepenuhnya dia mengatakan hal tersebut. [Wah, ide yang bagus. Oke, besok gue coba pengajuan diri aja. Kebetulan ada kantor cabang di Jakarta.] Kedua bola mata Talita terbelalak kaget, "Eh, gue cuman bercanda. Lagian kita bisa kan telfonan. Ngga harus lu pindah." [Ngga, gue mau deket sama lu pokoknya.] "Yaudahz terserah lu aja. Tapi inget Jo, jangan di paksain." bukan hal baru jika Talita mengetahui sifat pemaksa seorang Joshua. Dia kenal dengan Joshua sudah lumayan lama. Dari dirinya masuk ke SMA, mereka sudah mulai dekat. "Gimana kabar kak Celin Jo?" tanya Talita yang mengenal kakak dari Joshua. [Puji Tuhan, kabar baik Lit.] "Syukurlah." [Kak Celin juga nitip salam buat lu Lit. Katanya dia juga kangen bawelnya seorang Talita.] "Gue mah emang ngangenin." [Ck, eh udah dulu ya. Gue di panggil pak Bos. Nanti malem gue telfon ya, bye sayang.] "Bye." Tut, Bukan hal yang aneh bagi Talita jika Joshua mengucapkan kata sayang atau semacamnya. Sudah menjadi kata-kata sehari-hari jika mereka bertemu. Joshua termasuk pria yang populer di zamannya SMA dulu. Bahkan Talita sempat menjadi pusat perhatian. Apalagi tidak sedikit orang yang menyukai Joshua. Dan tidak sedikit pula, hampir setiap hari Talita selalu mendapatkan bullyan dari orang yang menyukai Joshua. Dan Joshua juga selalu menjadi tameng untum dirinya ketika dia di bully. Ah, mengingat masa SMA Talita jadi merindukan sosok Joshua disampingnya. Talita sering berandai tentang ini, andaikan Joshua muslim sama sepertinya, mungkin Talita sudah terang-terangan menunjukkan rasa sukanya kepada laki-laki itu. Bagi Talita, jika menyukai seseorang terus teranglah sebelum orang itu di rebut wanita lain. Tapi berbeda kasus jika dia berterus terang kepada Joshua. Joshua pernah mengatakan mau berpindah ke agamnya. Tapi Talita selalu mengingatkan, jika benar mau berpindah pelajari dulu agama yang akan dianut. Bukan pindah karena seseorang. Talita meletakkan ponslenya di atas nakas seraya dia mencolokkan sambungan daya untuk ponselnya. Melihat ada notifikasi dari seorang Joshua, Talita langsung membukanya. Jojo Ganteng Gue udah dapet izin. Besok minggu, gue berangkat ke Jakarta ya. See you? Jangan heran dengan nama kontaknya, Joshua sendiri lah yang menamakan. Tunggu, minggu? Talita buru-buru melihat ponselnya. Ternyata hari ini hati kamis. Berarti empat hari lagi Joshua akan datang. Me Oghey, mau disambut karpet merah? Jojo Ganteng Maunya di nikahin. Talita menghela nafasnya. Dia tahu Joshua berniat bercanda, tapi candaan yang di keluarkan selalu mengarah ke sini. Dan Talita selalu mengalihkan topik jika Joshua mengatakan hal semacam ini. Bukannya membalas, Talita lebih memilih mengirim balasan menggunakan sticker saja. Mau berkata-kata pun rasanya sulit. Terkadang yang berbeda itu memang sangat menyakitkan. Beda cinta agama, itu hal yang paling sulit. Ingin menjauh, percuma. Jadi, antara Joshua dan Talita hanya mampu memendam perasaannya satu sama lain. Dan memilih memiliki hubungan sebagai sahabat. Yang selalu ada di saat senang maupun susah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN