Akhirnya perjuangan Talita berakhir. Perjuangan menjawab pertanyaan interview dari Fikar. Dan sekarang hanya tinggal menunggu hasilnya. Hal yang paling mendebarkan bagi Talita ya ini, menunggu hasil interview.
"Mbak, masih lama ya hasilnya?" tanya Talita kepada receptionis yang berjaga. Tadi Fikar memang menyuruhnya menunggu di lobby saja.
"Masih sepertinya Mbak. Keputusan memang menunggu pak Fikar menghubungi kami Mbak."
Talita membalik badannya dan berjalan menuju kursi di mana banyak orang sepertinya yang juga menunggu hasil interview.
Mengingat sesuatu, Talita langsung menelfon masnya.
Dering pertama tidak diangkat.
Sampai dering entah ke berapa, barulah Dzakki mengangkat panggilannya.
"Halo assalamu'alaikum Mas."
[Wa'alaikumsalam, maaf Ta tadi Mas abis meeting. Gimana? Udah selesai interviewnya?]
"Alhamdulillah udah Mas."
[Alhamdulillah, lancarkan?]
Talita menganggukkan kepalanya, walaupun dia tahu jika Dzakki tidak bisa melihat dirinya yang menganggukkan kepala.
"Alhamdulillah, tinggal nunggu hasilnya aja. Mas, aku lagi di lobby. Kan Mas tadi nyuruh ketemuan di lobby abis aku interview."
[Oke, Mas mau naro berkas dulu di meja. Abis itu Mas susul kamu ke lobby ya.]
"Siap Mas."
[Yaudah, Mas matiin dulu telfonnya. Wassalamu'alaikum.]
"Wa'alaikumsalam Mas."
Tut,
"Atas nama Mbak Talita ya?" Talita kaget ketika penjaga receptionis tadi menghampiri dirinya.
"Iya Mbak betul."
Amplop berwarna putih langsung di sodorkan ke hadapan Talita.
Merasa bingung, Talita tidak menanggapi amplop tersebut. Dia malah menatap penjaga receptionis itu dengan tatapan bingungnya.
"Apa ini ya Mbak?"
"Saya juga kurang tahu. Tadi pak Adi, sekertaris pribadi pak Fikar yang memberi ini Mbak. Sepertinya ini hasil interview Mbaknya."
Walau dia ragu, Talita tetap mengambil amplop tersebut, "Makasih ya Mbak."
"Iya Mbak sama-sama. Mari Mbak saya permisi."
Talita menatap langkah wanita itu. Dia suka penjaga receptionis itu, sangat ramah dan juga cantik. Pakaian yang dia gunakan juga tertutup, tidak seperti pakaian yang digunakan penjaga receptionis lainnya di luar sana.
Entah kenapa, melihat penjaga receptionis itu, dia jadi membayangkan wanita itu nantinya akan menjadi kakak iparnya. Pasti seru, Talita yakin.
"Ta."
Panggilan dari Dzakki lah yang menyadarkan Talita dari lamunannya.
"Eh, iya Mas."
"Apa itu?" tanya Dzakki menunjuk apa yang Talita pegang menggunakan dagunya.
Talita mengangkat amplop yang dia pegang, "Ini?"
"Iya itu."
"Dapet dari receptionis. Katanya sekertaris pak Fikar yang ngasih."
Senyum langsung terbit di wajah Dzakki, "Coba buka Ta." suruh Dzakki yang sudah memiliki feeling bagus. Bukan apa-apa, sangat jarang jika sahabatnya itu mau menginterview orang secara langsung. Apalagi sampai sekertaris pribadi Fikar lah yang mengantarkan surat. Pasti berita bahagia yang akan adiknya dapatkan.
"Bismillah." gumam Talita sebelum membuka amplop tersebut.
Perlahan Talita mengeluarkan secarik kertas dari dalam amplop. Kertas itu sudah menjadi lipatan. Dengan saksama, Talita membaca surat itu dari atas pelan-pelan.
Matanya seketika terbelalak melihat kalimat yang di bold. Kalimat yang menyatakan jika dirinya resmi bergabung dengan ABRAHAM CORP.
Tanpa melihat situasi, Talita melompat kesenangan. Sungguh, dia tidak menyangka dengan otaknya yang pas-pasan perusahaan ini mau menerima dirinya.
Melihat adiknya yang sudah kegirangan, Dzakki yang penasaran dengan hasilnya langsung merebut kertas itu dari tangan Talita.
Dzakki ikut senang dengan apa yang di lihatnya. Akhirnya, penantian sang adik datang. Tidak percuma, Dzakki membawa adiknya ini ke perusahaan tempat dirinya bekerja. Padahal bagian yang di lamar Talita tidak main-main. Bagian yang nantinya akan terjun langsung ke lapangan, mencari tahu bagaimana keadaan lapangan.
"Mas bangga sama kamu Ta."
Tanpa tahu malu, Talita mengecup pipi masnya itu. Dzakki sonta melototkan matanya, dia menggelengkan kepalanya. Pasalnya mereka saat ini afa di lobby, yang mana banyak orang berlalu lalang. Apalagi Dzakki sadar, ada seseorang yang tengah memperhatikannya dari meja resepsionis. Ingin rasanya Dzakki berteriak kepada wanita itu, jika Talita adalah adiknya. Tapi percuma saja, biar nanti dia mencaru waktu yang tepat untuk menjelaskan.
"Udah waktunya Mas makan siang belum?"
"Kenapa emang?"
"Lita teraktir deh yuk."
Dzakki menatap remeh adiknya itu, "Emang punya duit?"
Bukannya menjawab, Talita malah menunjukkan deretan giginya.
"Ada."
"Dari siapa?"
"Dari Mas."
Dzakki terkekeh, "Sudah Mas duga." dirinya memang selalu mengirimkan ke rekening adiknya itu. Mengirim uang ke ibu dan ayahnya beda, ke adiknya beda.
"Ck, yaudah sih Mas. Kan nanti uanganya juga keluar dari atm aku."
Dzakki melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu makan siang ternyata sudah tiba. Dan Dzakki mengiyakan permintaan adiknya itu.
Keduanya berjalan beriringan menuju tempat makan yang berada di seberang perusahaan. Dan sampailah mereka di sebuah resto. Berhubung Talita yang membayar, Dzakki menurut saja ketika adiknya itu menyuruh untuk menunggu di meja makan.
Barulah setelah beberapa menit, Talita sudah tiba dan duduk diseberang Dzakki.
"Mas."
"Hm?"
"Mas kenal sama penjaga receptionis tadi ngga?"
Dzakki mengerutkan keningnya, "Emang kenapa?"
"Cantik tau Mas dia. Aku mau kakak ipar yang kayak dia ya, request ini aku." ujar Talita dengan menaik turunkan kedua alisnya.
"Oke, requestan kamu Mas tabung."
Diam-diam Dzakki bernafas lega. Mendapatkan lampu merah dari adiknya, membuat dirinya bersemangat mendekati Dewi. Penjaga receptionis yang Talita maksud.
"Dzak."
Merasa namanya terpanggil, Dzakki sontak menolehkan kepalanya.