2. Masa Lalu

1177 Kata
Jam menunjukan pukul 04.00 pagi saat Fabian keluar dari apartemennya. Walau Kiren mengantuk, tapi indera pendengarannya masih bisa mendengar semuanya dengan jelas. Sudah menjadi kebiasaan laki-laki itu selalu pergi dari apartemennya menjelang subuh. Kiren membuka matanya secara perlahan melihat telepon genggamnya di samping nakas. Ia menghela napasnya berat, banyak sekali telepon dan pesan khawatir dari Aurel yang terus menerus menanyakan keadaannya. “Kenapa kamu begitu mengkhawatirkan aku, Rel. Ini membuatku semakin merasa bersalah,” ucapnya perlahan. Fajar sebentar lagi akan menyingsing. Ia sudah tak dapat lagi memejamkan matanya, sudah menjadi kebiasaan yang entah selalu terbangun di tengah malam. Tapi jika ada Fabian, ia dapat tertidur lelap di dalam dekapan pria tampan tersebut. Netranya menatap langit-langit kamar dengan cahaya remang-remang dari lampu tidurnya. Pencahayaan yang minim seakan mampu memberikan ketenangan untuknya, meskipun bayang-bayang Tian sering muncul di dalam mimpinya. Masih terkejam dengan jelas saat kejadian 6 bulan yang lalu saat Tian menatapnya nanar. “Aku mohon maaf Kiren,” ucap Tian dengan suara serak. “Untuk apa kamu meminta maaf, jika kamu sendiri ga pernah merasa bersalah,” balas Kiren menatap Tian dengan mata berkaca-kaca. “Kejadian itu terjadi begitu saja Ren. Aku ga pernah bermaksud untuk meninggalkanmu, aku mencintai Vina, tapi aku juga mencintaimu.” Kiren mendengus kasar. Ia menatap Tian dengan amarah yang terlihat jelas di raut wajahnya. Tanpa terasa air mata yang ditahannya menetes di pipinya. “Kamu bilang mencintaiku! Bullshit! f**k you, Tian,” umpat Kiren. “Ren, please… jangan ucapkan kata-kata yang tak pantas keluar dari bibirmu. Hubungan kita sudah terjalin 3 tahun dan kita sudah bertunangan.” “Lalu? Apa kamu pikir dengan kita bertunangan bisa membuatmu dengan bebas menyakiti perasaanku! Menghancurkan hatiku!” “Aku sudah meminta maaf ke kamu, Ren. Aku ga bisa meninggalkan Vina. Dia begitu rapuh, aku ga sanggup membuatnya terluka lagi Ren.” “Kamu ga sanggup menyakiti Vina, tapi sanggup menyakiti aku? Di mana pikiranmu, Tian!” Tian menghela napasnya. Percuma ia berbicara saat ini dengan Kiren yang sangat emosi saat mengetahui perselingkuhannya dengan Vina. “Setelah kamu puas menikmati tubuhku, sekarang kamu juga menikmati tubuh wanita itu. Kamu gila Tian.” Kiren berteriak histeris. “Aku akan bertanggung jawab Ren. Aku akan menikahimu, tapi aku meminta satu hal ke kamu.” Tian menatap mata Kiren. “Setelah kita menikah, ijin aku juga menikahi Vina. Aku harus bertanggung jawab juga padanya. Dada Kiren bergetar. Rasa sesak dan sakit mendera hatinya. Betapa teganya Tian meminta ijin menikah lagi di saat pernikahan mereka belum juga terlaksana. Kaki-kakinya melemas, ia tak pernah menyangka kata-kata kejam itu terucap dari bibir pria yang telah ia berikan seluruh hatinya. Tian melangkahkan kakinya meninggalkan Kiren. Ia mengerti betapa sakit dan hancurnya hati tunangannya, tapi ia sebenarnya juga tidak dapat meninggal Kiren. Ia memang mencintai Kiren, tapi tak bisa dipungkiri Vina juga perlahan masuk ke dalam hatinya. Kiren, wanita yang selalu membantunya di saat masa-masa sulitnya. Ayah Kiren yang berprofesi sebagai pengacara yang melancarkan jalannya menjadi pengacara sukses seperti sekarang. Ada rasa hutang budi sekaligus rasa bersalah di dalam hatinya membuat wanita itu terpuruk. Entah apa yang nanti akan dikatakannya kedua orang tua Kiren dan orang tuanya jika tahu semua kelakuannya. Sangat sulit mencintai 2 orang wanita secara bersamaan. Kiren begitu baik dan lemah lembut, tapi Vina juga sama baiknya. Vina bisa membuatnya tertawa lepas saat bersamanya, tapi saat bersama Kiren itu menjadi berbeda. Kiren menatap punggung Tian yang secara perlahan pergi menjauh darinya. Atap gedung kantornya yang luas seakan menjadi sempit membuatnya merasakan begitu sesak. Napasnya tersengal-sengal membuatnya kesulitan untuk menghembuskan napas. Fabian yang berada di atap gedung tak sengaja mendengar pembicaraan Kiren dan Tian. Ia sengaja ke sana untuk merokok dan mengetahui betapa kejamnya perkataan Tian pada Kiren. Memang ia baru mengenal saat berpacaran dengan Aurel setahun yang lalu. Melihat Kiren yang begitu terguncang dengan ucapan Tian membuatnya tak tega. Fabian pun mendekatinya dan duduk di samping Kiren. “Bian,” ucap Kiren terkejut kehadiran laki-laki itu di sana. Tanpa Kiren duga Fabian merengkuh tubuhnya membawa ke dalam dekapannya yang terasa begitu hangat. “Menangislah Ren. Menangislah,” bisik Fabian lembut sambil membelai punggung Kiren. Bisikan lembut Fabian mampu membuat air mata Kiren mengalir dengan deras di pipinya. Kiren menangis entah berapa lama sampai membuat kemeja yang dikenakan laki-laki itu basah. “Terima kasih, Bian,” ucap Kiren yang mulai merasa lega saat ia menangis di dalam pelukan Fabian. Jari jemari Fabian mengusap lembut air mata di pipi Kiren. Mereka saling menatap secara Fabian mendekati bibir merah Kiren dan menciumnya. Mata Kiren terbelalak, ada rasa keterkejutan di balik ciuman Fabian di bibirnya. Ciuman Fabian begitu lembut dan ia tanpa sadar membalasnya. Setelah puas berciuman Kiren membuang wajahnya. “Kita ga boleh begini Bi,” ucapnya sambil menggelengkan kepalanya perlahan. Fabian terdiam. Ia mendudukan kepalanya sama sekali tak menyangka mencium bibir Kiren. “Maaf aku. Aku terbawa suasana.” Senyum pahit terukir di wajah Kiren. Ia juga sama seperti Fabian terbawa suasana. “Aku benar-benar minta maaf Ren. Aku…” Fabian tak mampu melanjutkan perkataannya. Kiren menghembuskan napasnya perlahan. “Aku mengerti. Anggap saja kejadian ini ga pernah terjadi.” Fabian tidak menjawab perkataan Kiren. Ia hanya tersenyum masam menatap wanita yang sedang terluka itu. “Apa kamu akan menikah sama Tian?” tanya Fabian. “Entahlah…” Kiren sendiri tak tau harus menjawab apa. “Kalau menurutku Tian egois. Jika ia mencintaimu tak akan pernah ada wanita lain.” “Iya. Aku tau itu, tapi aku mencintai Tian.” “Memang ini sulit Ren, tapi belum kalian resmi menikah saja laki-laki itu sudah meminta ijin menikah lagi. Apa kamu yakin bisa berbagi suami, perhatian, kasih sayang dengan wanita lain?” Kiren tahu semua perkataan Fabian tak salah. Sanggupkah ia berbagai suami dengan wanita lain? Sekarang saja Tian sudah memperlakukannya seperti ini, bagaimana jika nanti mereka menikah? “Pikirkan perkataanku, Ren. Kamu bukan wanita lemah yang hanya pasrah diperlakukan acara tidak adil sama pria yang tak menghargaimu,” ucap Fabian bangkit dari samping Kiren. Kiren hanya menundukan kepalanya. Ia membiarkan Fabian pergi dari atap gedung. Lebih baik ia memikirkan semuanya secara baik-baik daripada semakin menghancurkannya. Semalaman Kiren memikirkan semuanya dan ia menghubungi Tian. “Tian, jika kamu ingin meneruskan pernikahan kita dan mencintaiku tinggalkan Vina. Aku ga mau berbagi apapun dengan wanita lain,” ucap Kiren tegas dibalik telepon. “Maaf Kiren, kalau kamu tidak mau dengan persyaratanku untuk menikahi Vina juga lebih baik kita putuskan pertunangan ini dan pernikahan kita tidak akan pernah terlaksana,” balas Tian. Hati Kiren tercabik-cabik. Lelaki itu lebih memilih wanita lain dibandingkan dirinya yang selama 3 tahun menemaninya. “Baiklah jika itu pilihamu. Lebih baik semuanya gagal dan hancur daripada aku harus bersama dengan laki-laki b******n sepertimu dan kamu yang harus mengatakan ke orang tua kita dengan semua kelakuanmu.” Kiren langsung memutuskan komunikasi dengan Tian. Air mata Kiren kembali terjatuh di pipinya. Kenangan kejam 6 bulan yang lalu kembali terkenang dalam kepedihan hatinya. Bayangan masa lalu ternyata begitu membekas terlalu dalam di benaknya. Ia mengutuk takdirnya yang begitu kejam. Tak peduli bagaimanapun cara Kiren ingin menghapus dan melawannya, kenangan pahit dan menyakiti itu selalu datang menghampirnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN