Tak mau ambil pusing, Bima Ardelio sengaja mengeluarkan ponselnya. Ponsel yang Shanum pergoki memakai wallpaper foto sepasang punggung tengah duduk di pasir tepi pantai. Shanum curiga, wanita berambut panjang lurus warna hitam di foto tersebut merupakan Shanum calon istri Bima Ardelio.
“Katakan padaku, berapa nomormu,” ucap Bima Ardelio siap menyimak.
“Totalnya ada dua belas digit,” balas Shanum yang memang masih jengkel. Ditambah lagi, kemarahannya ketika sedang mens dan gampang emosi, bisa lebih awet dari ketika dirinya dalam kondisi normal.
Bima Ardelio yang mendengar balasan ngawur dari Shanum, refleks meliriknya tajam. Tatapan tajam yang juga langsung dibalas dengan tatapan lebih tajam dari wanita muda di hadapannya.
“085 ....”
Tak lama kemudian di tempat berbeda, ponsel Shanum yang masih dipegang Syifa berdering. Kenyataan tersebut sukses mengejutkan Ridwan apalagi Syifa. Syifa nyaris kelepasan menjatuhkan ponsel Shanum begitu saja.
“Nomor yang Anda tuju sedang sibuk ....”
Balasan dari pihak operator barusan sukses membuat Bima Ardelio apalagi Shanum refleks menghela napas. Padahal, keduanya baru menghitung, bahwa sambungan telepon ke nomor Shanum sudah memasuki hitungan empat. Namun, sambungan tersebut sengaja diakhiri dan bahkan sekarang, nomor Shanum jadi tidak aktif.
“Sudah dipegang orang!” lirih Shanum geram sekaligus geregetan. Air matanya sibuk berjatuhan seiring ia yang duduk asal di lantai.
“Kamu enggak nitipin atau malah pinjemin hape kamu ke orang, kan?” tanya Bima Ardelio dengan nada dingin.
“Titip apalagi pinjemin ke siapa?” sergah Shanum Sewot.
“Yang suka minjem enggak bilang, dan sampai kapan pun enggak mau balikin!” balas Bima Ardelio tanpa perubahan emosi yang berarti. Ia tetap santai, bahkan ketika Shanum melempari wajahnya menggunakan hijab.
Ketika heels dari kaki kanannya akan Shanum lempar ke wajah Bima Ardelio, pria itu menatap Shanum penuh peringatan.
“Sebenarnya Shanum anak baik. Enggak tahu kenapa, dia bar-bar urakan banget. Lihatlah, aku tatap penuh peringatan saja, dia enggak jadi lempar heel ke aku,” batin Bima Ardelio. Ia berangsur jongkok di hadapan Shanum yang ia tatap penuh keteduhan.
Setelah menaruh ponselnya di tangan kirinya, ia mengangsurkan tangan kanannya dan siap berjabatan dengan Shanum. Dalam diamnya, Shanum yang masih bersedih sekaligus sial bertubi-tubi, yakin. Bahwa alih-alih membantunya berdiri. Bima Ardelio yang mengangsurkan tangan, justru tengah mengajaknya berjabat tangan untuk melakukan kesepakatan.
“Aku akan menemukan ponselmu. Aku juga akan memenuhi kebutuhanmu, dan aku akan selalu membantumu. Selain itu, kamu akan aku anggap sebagai adikku. Asal kamu mau menjalani kesepakatan kita. Jadi istriku meski hanya pura-pura, selama dia belum kembali. Setelah kita berpisah, aku juga akan memberimu kehidupan layak. Benar-benar semudah itu.” Bima Ardelio berucap penuh ketenangan kepada wanita muda nan cantik di hadapannya. Wanita muda yang telah ia nikahi, menggantikan kekasihnya yang kabur, tepat di hari pernikahan mereka.
“Mau enggak, ya? Masalahnya kalau enggak mau, sementara ponselku belum ketemu, ... aku mana bisa membersihkan nama baikku dari fitnah, termasuk ambil balik duitku dari mbak Syifa. Terus ini si Om-Om bilang, ... dia bakalan membantu menemukan ponselku, dia juga akan mencukupi kebutuhanku, dia akan menganggap aku sebagai adiknya, bahkan setelah kerja sama kami berakhir, dia tetap akan membantuku. BPJS sama bantuan pemerintah saja kayaknya enggak sekomplit ini, kan?” pikir Shanum yang kemudian bertanya, “Ini aku enggak akan bernasib dijual belikan, kan?”
Mendengar pertanyaan Shanum, kedua mata Bima Ardelio yang sebelumnya tengah menatap sendu kedua mata Shanum, langsung jadi mendelik. “Jangan dibiasakan berpikir seperti itu!”
“Nyatanya kehidupan ini memang sangat kejam untuk orang kecil sepertiku. Jangankan orang lain dan mereka jauh lebih segalanya dariku. Calon suamiku, kakak kandung, bahkan orang tuaku saja, termasuk Om, tega ke aku!” balas Shanum.
Tak mau Shanum makin berisik, Bima Ardelio sengaja menyalami paksa tangan kanan Shanum. Ia menganggap itu sudah lebih dari cukup. Apalagi ia yakin, tidak ada pilihan maupun penawaran lebih bagus dari yang ia tawarkan kepada Shanum. Tentunya, dengan adanya Shanum bersamanya, ia bisa menutupi aib keluarganya karena ia tetap jadi melangsungkan pernikahan. Selain itu, jika Shanum bersamanya, ia juga tak akan membiarkan Shanum salah gaul lagi. Hingga kejadian Shanum terlibat melakukan hal senonoh, ia pastikan tak akan pernah terjadi lagi.
“Salaman yang benar,” lirih Bima Ardelio, tapi entah atas dasar apa, yang diberi arahan langsung menurut dan sampai mencium punggung tangan kanannya dengan takzim. Diam-diam, kepatuhan Shanum kepada Bima Ardelio membuat pria itu menyembunyikan tawanya. Ini menjadi kali pertama Bima Ardelio tertawa dalam hubungan mereka, dan Bima Ardelio tak mau membuat Shanum mengetahuinya.
Sekitar setengah jam kemudian, Shanum sudah kembali menjalani rias. Ia sudah kembali cantik dengan hijab dan juga buket pengantinnya.
Perias yang menata ulang penampilan Shanum, berpikir alasan Shanum sampai jadi sangat berantakan, efek baru saja di-unboxing oleh Bima Ardelio yang sudah tidak sabar. Apalagi dari jalan Shanum saja, mereka perhatikan jadi sangat berbeda. Shanum jadi seolah kesulitan berjalan dan itu disebabkan oleh rasa sakit di pangkal perut bahkan kewanitaannya. Yang mana, alasan tersebut juga diperkuat oleh kenyataan Bima Ardelio yang jadi terlihat sangat semringah sekaligus bersemangat.
Setelah semuanya sudah siap, Shanum malah kembali duduk. Dengan sangat sabar Bima Ardelio membujuknya, menunggu gadis itu mau merengkuh tangan kanannya sesuai arahannya. Arahan yang Bima Ardelio lakukan dengan berbisik-bisik lantaran di sana masih ada orang lain selain mereka yaitu, tukang rias. Para perias dibuat baper dengan interaksi Shanum dan Bima Ardelio, yang bagi mereka sangat manis sekaligus romantis. Yang perempuan sangat manja dan hobi tantrum. Sementara yang pria sangat sabar sekaligus selalu memanjakan Shanum.
Ketika Shanum dan Bima Ardelio menjalani pesta pernikahan yang begitu mewah, di rumah sederhana orang tua Shanum, Syifa dan Ridwan tengah ditawan rasa canggung. Keduanya bersiap melangsungkan malam pertama.
Syifa sudah membuka cadarnya, dan belum berani membuka mulutnya. Syifa belum siap Ridwan tahu, bahwa ulah Shanum sukses membuat gigi atas sebelah kanannya patah. Masalahnya, patahnya gigi tersebut sangat mengganggu penampilan Syifa.
“Jujur, aku canggung banget!” Sungguh itu yang Ridwan rasakan karena awalnya, harusnya Syifa menjadi kakak iparnya.
Setelah melihat foto-foto Syifa yang layaknya boneka. Sebagai laki-laki normal, Ridwan merasa cukup tertarik. Ditambah lagi setelah foto-foto senonoh mirip Shanum tersebar tepat di hari pernikahan mereka yang kurang dua minggu lagi.
Mendapatkan wanita yang lebih cantik dari Shanum, kemudian mencampakkan Shanum di dekat hari pernikahan mereka, memang menjadi kepuasan tersendiri bagi Ridwan. Dirasa Ridwan, itu bisa menjadi balas dendam paling membuat hati Shanum remuk redam. Meski setelah melihat wujud asli Syifa, nyatanya sangat berbeda dari foto-foto yang Syifa unggah di f*******: disertai dakwah yang sangat menyejukkan. Apalagi jika wujud asli Syifa dibandingkan dengan Shanum. Syifa kalah jauh dari Shanum, meski ketika di foto, Shanum terlihat biasa saja.
Setelah berdeham, Syifa yang tak hentinya tersenyum malu-malu berkata, “Mas, ... aku mau bikin ... pengakuan. Aku mau jujur ke Mas, bahwa aku ... bahwa ... intinya, ... Mas jangan kaget ya, kalau bukan Mas yang pertama—”
“Aku bukan yang pertama, maksudnya, gimana?” Ridwan langsung menyikapi dengan serius.