“Saya terima, nikah dan kawinnya ... Shanum Qiandra Almahyra ....”
Rasanya baru tadi, seorang Bima Ardelio menanyakan nama lengkap Shanum, berikut nama lengkap bapak Shanum. Namun kini, lafal ijab kabul tengah pria itu ucapkan penuh ketenangan. Bima Ardelio tampak sangat berwibawa, seolah pria itu sudah biasa berurusan dengan hal-hal yang akan membuat orang lain gugup sekaligus tegang, jika mengalaminya.
“Sah!”
Ucapan kompak tersebut membuat kedua mata Shanum berhenti mengawasi wajah Bima Ardelio, secara diam-diam. “Kami sungguh sudah menjadi suami istri.” Hati kecil Shanum berbicara. Shanum sungguh tak menyangka, semuanya serba berubah dalam sekejap.
“Tunangan sama siapa, nikah sama siapa. Seajaib ini yang namanya kehidupan,” batin Shanum yang diminta untuk menyalami tangan kanan Bima Ardelio.
Penghulu di sana menuntun Shanum maupun Bima Ardelio, mengenai apa yang harus keduanya lakukan setelah dinyatakan sah sebagai suami istri.
Di tengah rasa gugup yang melanda, baik Shanum bahkan Bima Ardelio, bersalaman dengan takzim. Keduanya tidak ada yang berani menatap satu sama lain. Hanya melalui lirikan kilat, keduanya menatap. Hingga sang penghulu maupun pak Ardhan, menggoda pengantin baru itu.
Shanum dan Bima Ardelio mendadak jadi bahan banyolan, lucu-lucuan di sana. Pipi kedua sejoli itu bersemu, tetapi keduanya tetap tidak ada yang benar-benar bisa menatap satu sama lain dalam waktu lama.
Semua perhatian tertuju kepada pengantin baru di sana. Ridwan dan Syifa yang harusnya memiliki hajat, malah makin tersisih. Keduanya berdiri di antara teman motoran Bima Ardelio, menyaksikan ijab kabul Shanum dan Bima Ardelio.
“Bismillahirrahmanirrahim, ....” Shanum menatap sungguh-sungguh pria yang sudah resmi menjadi suaminya. Di sebelahnya, Bima Ardelio yang sejak awal pertemuan sibuk menatapnya nyaris tak berkedip, justru jadi seolah tidak sanggup menatapnya lama-lama.
“Ya Allah, tolong jangan pernah mengujiku lewat suamiku. Uji saja mereka yang berusaha menyakiti sekaligus memang menyakitiku!” ucap Shanum dan sukses membuat orang-orang di sana tertawa.
Diam-diam, Shanum merasa ada yang aneh dengan reaksi Bima Ardelio. Karena setelah pria itu menikahinya, Bima Ardelio tak lagi menatapnya penuh minat. Pria yang telah menjadi suaminya itu malah seolah sengaja menjaga jarak.
Beres ijab kabul, Shanum langsung diboyong ke rumah Bima Ardelio. Hingga Shanum juga sengaja memboyong seserahan pemberian pihak suaminya. Suasana menjadi sepi karena orang tua Shanum juga diboyong untuk menjadi bagian resepsi. Tentunya, resepsi pernikahan Shanum dan Bima Ardelio jauh lebih mewah.
Pak Kaswan dan sang istri sengaja ditinggal untuk menggantikan orang tua Shanum menemani Ridwan dan Syifa. Namun, tanpa Shanum sadari, gadis pemberani itu lupa membawa ponselnya. Ponsel Shanum masih ada di tempat duduk sebelah Shanum sempat duduk ketika menjalani ijab kabul.
“Hapenya Shanum ... di situ pasti ada bukti transferku. Aku harus hapus dan bila perlu hancurin tuh hape. Biar Shanum juga enggak bisa komunikasi dengan bosnya. Karena yang akan mengurus uang lima puluh lima juta yang ditransfer ke aku, pasti bosnya juga.” Syifa yang berbicara dalam hati sengaja mengambil ponsel Shanum. Sangat hati-hati ia melakukannya, kemudian mengantongi ponsel bersilikon ungu itu ke dalam tas jinjingnya.
“Kamu boleh dapat boss tajir dari keluarga berada, Num. Namun membersihkan nama baik apalagi menghubungi bosmu tanpa hape ini, ... tidak semudah yang kamu pikirkan!” batin Syifa jadi senyum-senyum sendiri.
Di sebelah Syifa, Ridwan yang tak sengaja melihat Syifa senyum-senyum sendiri, jadi heran. Ridwan mengerutkan dahinya dan diam-diam mengawasi sang istri.
“Kenapa, ya ... aku jadi mati rasa banget ke Syifa. Masalahnya, Syifa ini menantu pilihan bapak sama ibu,” batin Ridwan yang juga penasaran perkara uang Shanum. “Lima puluh lima juta, Shanum pernah cerita. Awalnya mau transfer ke aku karena Shanum belum buka rekening. Namun karena aku enggak enak ke keluarganya, takut dikira itu uang dipakai aku. Aku minta Shanum buat transfer ke Syifa saja. Biar bapak sama mamaknya juga tahu, hasil kerja kerasnya Shanum, dan Shanum bilang mau dipakai buat kuliah,” batin Ridwan.
“A—da apa, Mas? M—Mas, mau langsung ke kamar sekarang?” manis Syifa yang tak sengaja memergoki Ridwan tengah mengawasinya dengan serius.
Karena wajah Ridwan tampak menahan rasa tidak nyaman, dan Ridwan juga tak membalasnya, Syifa berinisiatif mengatasinya. “Enggak apa-apa sih kalau kita istirahat. Ganti pakaian gitu. Toh, tamu pasti maklum. Aku pamit ke uwa dulu, ya.”
Bukannya fokus pada Syifa, dalam hatinya Ridwan malah berandai-andai. Andai Shanum tidak mendadak menikah dulu. Juga, kenapa Shanum sampai mengenal Bima Ardelio dan selama ini tidak pernah menjadi bagian dari komunikasi mereka. Padahal walau LDR, semua yang Shanum lakukan, Ridwan tahu. Nama majikan Shanum dan kebiasaan mereka saja, Ridwan tahu. Karena sesekali, Ridwan juga akan berkomunikasi dengan majikan Shanum, ketika ia dan Shanum sedang teleponan atau videoan.
***
Satu kamar, bahkan ponselnya juga disimpan di tas Syifa, membuat Ridwan menemukan hape Shanum. Hape pertama yang Ridwan dapatkan justru hape android yang layarnya menjadikan kolase foto Ridwan dan Shanum, sebagai wallpaper.
“Loh ... ini kan, hapenya Shanum,” pikir Ridwan. Belum sempat memperkarakannya, Syifa yang sudah memakai piyama lengan panjang warna merah muda, sudah lebih dulu merebut hape Shanum.
Ridwan sampai kaget, dan napasnya pun jadi memburu di tengaj detak jantungnya yang menjadi lebih cepat. Ridwan menatap tak percaya Syifa. Wanita yang terkenal lemah lembut nyatanya bisa kurang sopan asal merebut juga. Bahkan andai hape itu terbukti hape Shanum, Ridwan rasa ulah Syifa perlu ditindaklanjuti.
“Itu hape Shanum, kan?” tanya Ridwan dengan nada curiga, tak kalah dengan tatapannya.
“Duh, ... aku harus jawab apa? Kok aku lupa kalau tadi, mas Ridwan juga titip hape di tas aku. Terus ini gimana dong!” batin Syfa ketar-ketir sendiri. Jauh di dalam dadanya seolah ada bedug yang ditabuh sangat cepat sekaligus keras. Apalagi, Ridwan tak segan merebut balik ponsel Shanum yang ia simpan di balik punggungnya menggunakan kedua tangan.