15. Wanita Suci

1601 Kata
“Dari rumah ini?” Bima Ardelio mengernyit heran. Ia tatap orang kepercayaannya yang berdiri di balik pintu sebelah kemudinya. Aktivitas terakhir sinyal ponsel Shanum, memang terekam di kediaman orang tua Shanum. Alasan yang membuat Shanum tidak bisa untuk tidak berpikir jahat. Terlebih walau sempat tersambung, dengan sengaja seseorang mengakhiri sambungannya, sebelum ponsel Shanum juga malah tidak bisa dihubungi lagi. “Aku mau turun, Om!” Di sebelah Bima Ardelio yang menyetir, Shanum buru-buru turun. Setelah semalaman membuat Bima Ardelio khawatir, Shanum sudah dengan sangat lincah menjalani aktivitasnya. “Ah ... bisa jadi memang kemarin ponsel Shanum ketinggalan di sini. Namun, kenapa sampai enggak aktif dan bahkan sampai tidak ada aktivitas?” pikir Bima Ardelio. Setelah melepas kepergian Shanum, Bima Ardelio berangsur mencabut kunci mobilnya, kemudian menyusul turun. Pria yang memakai jaket kulit hitam di sebelahnya, dan menjadi kunci ditemukannya aktivitas sinyal terakhir ponsel Shanum, turut mengawalnya. Shanum melewati panggung hajatan yang tengah dibongkar. Ketika Bima Ardelio masih bisa santai, tidak dengan Shanum yang sangat tidak sabar. Bima Ardelio sampai menegurnya, memintanya untuk lebih kalem. “Kalem gimana, kalau aku begitu yakin, hapeku sengaja digondol, Om!” sebal Shanum. “Malah kalau kamu sampai macam-macam, takutnya mereka balik nuntut kamu. Santai saja, pasti ketemu. Main cantik,” balas Ardelio masih berucap lirih. Shanum yang awalnya sudah di depan pintu rumah orang tuanya, refleks merenung serius. Kemudian, meski pintu rumah di hadapannya sudah dibuka, ia sengaja balik badan dan menghampiri sang suami. Dirasanya, tidak afdol jika ia tak sampai memanfaatkan keberadaan suaminya di sana. “Aku harus memanfaatkan ketampanan dan kekayaan suamiku dengan sedemikian rupa! Bahkan bila perlu, status sosialnya pun aku manfaatin buat tabok mbak Syifa!” batin Shanum yang langsung ditatap aneh oleh Bima Ardelio. Sebab setelah mendadak kembali, ia juga sudah langsung mendekap erat lengan kanan Bima Ardelio menggunakan kedua tangan. “Itu konsepnya harus gitu?” lembut Bima Ardelio sengaja menyindir. Yang Bima Ardelio permasalahkan itu kenyataan Shanum yang tiba-tiba menyita lengan kanannya sangat erat. Shanum tahu, suami sementaranya itu mempermasalahkannya. Namun dengan santai, ia agak mengerucutkan bibir kemudian menempelkannya di pipi kanan Bima Ardelio, sesaat setelah ia juga wajib berjinjit parah. Bima Ardelio mendelik dan tak bisa berkata-kata saking kagetnya. “Untung kamu cantik. Cantik banget malahan. Sudah, didiamkan saja. Yang model gini biasanya lebih serem dari banci kaleng!” batin Bima Ardelio. Belum apa-apa jantungnya sudah berdetak lebih cepat dari sebelumnya. “Om ... ini kan Om tinggi banget. Aku takut, kepala Om nyangkut di kusen rumah orang tuaku kalau ikut masuk,” ucap Shanum yang sebenarnya sedang mode perhatian. “Aku bukan robot, Num. Aku masih bisa nunduk bahkan lebih. Jangan ngejek kamu!” balas Bima Ardelio masih berbicara dengan suara lirih. “Om enggak bisa membedakan antara mengejek, dengan memuji, ya?” sergah Shanum. “Memang hanya beda tipis, kan?” sergah Bima Ardelio sinis. Di pagi menjelang siang kali ini, Shanum merasa bahwa dirinya dan Bima Ardelio memiliki watak yang bertolak belakang. “Om mah gitu ... di mata Om, aku selalu salah!” kesal Shanum. “Apa lagi sih?” balas Bima Ardelio dan sebisa mungkin tetap menjaga suaranya. Alasan Bima Ardelio sengaja menjaga suaranya murni karena ia jaim dan sebisa mungkin ingin dipandang sempurna oleh semua orang, termasuk sekadar dari tutur katanya. Masalahnya, orang kepercayaan Bima Ardelio dan melangkah di belakang mereka, telanjur mendengar. Alasan tersebut pula yang membuat orang kepercayaan Bima Ardelio sibuk menahan tawa. Terlebih yang orang Bima Ardelio tahu, Bima Ardelio dengan wanita bernama Shanum di hadapannya, saling mencintai. Jadi, cekcok manja dari Shanum yang dibalas agak sewot dari Bima Ardelio, dirasanya menjadi wujud dari kemesraan pengantin baru itu. Kedatangan Shanum dan Bima Ardelio, disambut hangat oleh para ibu-ibu di sana. Ternyata mereka baru beres rewang atau itu bantu-bantu, dan siap untuk pulang. Selain memberi Shanum selamat, mereka yang jumlahnya ada tujuh orang juga memuji kecantikan Shanum, maupun kesempurnaan Bima Ardelio dan bagi mereka ganteng banget. “Enggak usah besar kepala loh Om, dibilang ganteng banget!” lirih Shanum menyindir sang suami. Padahal sampai detik ini saja, meski tak lagi mendekap erat lengan kanan Bima Ardelio, tangan kirinya masih menggandeng jemari tangan suami ganteng bangetnya itu. “Biasa saja. Aku sudah terbiasa dipuji-puji.” Setelah berucap seperti barusan, tetapi bibir Shanum seolah akan mual-mual, Bima Ardelio sengaja berucap tegas, “Jangan wa we wa we. Nanti dikira hamil duluan!” “Oh iya ya, ... aku kan sebobrok itu di mata mereka. Seolah-olah, aku ini penjahat yang selalu salah bahkan hina,” ucap Shanum. “Aku enggak minta kamu buat melow-melow. Elegan, Num. Elegan. Biar orang-orang segan. Sudah aku bilang ke kamu, sekarang kamu wajib main cantik!” lirih Bima Ardelio kembali memberi kode keras. Shanum menyimak serius pernyataan sang suami, sebelum akhirnya ia terusik oleh terbukanya pintu ruangan di sebelahnya. Pintu yang tak lain merupakan pintu kamar Syifa itu dibuka dari dalam oleh Ridwan. Ridwan langsung membeku melihat wajah cantik Shanum, kemudian berganti pada tangan kiri Shanum yang menggandeng tangan kekar memakai kemeja lengan panjang warna abu-abu. Wajah sangat tampan Bima Ardelio, sudah langsung menyambutnya hangat, tapi Ridwan segera menepisnya. “Sumpah, ya. Andai aku enggak punya om Bima, bahkan walau pernikahan kami hanya pura-pura. Lihat pria yang lima hari lagi harusnya menikahiku, justru keluar dari kamar kakak perempuanku, rasanya benar-benar sesakit ini!” batin Shanum. Dunianya seolah berhenti berputar apalagi tak lama kemudian, Syifa juga muncul, keluar dari kamar. Setelah sempat terkejut cenderung ketakutan, Syifa sengaja mengumbar senyum. Tatapannya memang fokus menatap Bima Ardelio, tetapi tangan kanannya sengaja mendekap mesra pinggang Ridwan. Ridwan refleks menghindar, tetapi Syifa sengaja menahan sang suami agar mereka juga tak kalah mesra dari pasangan Shanum dan Bima Ardelio. “Gini yah ... bukannya belum move on. Terlepas mau halal atau mau sudah sah jadi suami istri, ... dua minggu sebelum tersebarnya foto fitnah yang ditujukan kepadaku, status Mas Ridwan itu calon suamiku. Kami LDR lima tahun, dan lima hari lagi, harusnya menjadi hari pernikahan kami. Selama beberapa hari terakhir, aku mendadak dilarang pulang oleh bapak dan mamak. Nomor mereka sampai enggak aktif setelah tahu aku sibuk menghubungi.” Shanum berbicara lirih, tegas, cepat, tapi sangat tertata. “Heh, maksud Shanum bagaimana? Suaminya mbaknya ... calon suaminya. Gitu?” pikir Bima Ardelio. “Harusnya jika hubungan kalian tak lebih untuk menutupi aib karena foto fitnah yang ditujukan kepadaku. Harusnya, jika Mbak Syifa trauma nikah, bahkan tidak mau melukai hatiku dengan menikahi pria yang awalnya calon suamiku. Bahkan sampai detik ini, belum ada kata putus di antara kami. Baik dari pihak orang tua, apalagi Mas Ridwan.” “Ditambah lagi, ... Mbak Syifa ini wanita suci. Jebolan pesantren, guru ngaji, dan tidak pernah bergaul dengan laki-laki lain. Karena dengan calon suami Mbak yang meninggal setelah mengalami kecelakaan lalulintas, kalian taaruf!” “Cara Mbak begini, enggak segan rangkul-rangkul padahal belum genap 24 jam kalian resmi jadi suami istri bikin aku meragukan kesucian Mbak dan juga ketulusan Mas Ridwan selama lima tahun kami bertunangan.” “Ada beberapa kemungkinan yang ingin aku pastikan ke kalian. Kalian memang sudah terbiasa mesra sejak lama, dalam artian, kalian sudah selingkuh dariku sejak lama. Atau, Mbak Syifa sebenarnya sudah lihai gitu ya.” “Soalnya mohon maaf banget ya. Yang di foto itu, bedaknya satu meter. Yang di foto itu wajahnya burik. Sementara aku, mau di kamera biasa apa kamera jahat, ya biasa saja. Enggak langsung jatuh jadi burik!” “Oke, ... coba sekarang beri aku balasan yang masuk akal. Tolong, jangan hanya serba istighfar. Orang gila di jalan sana juga bisa kalau hanya buat istighfar! Apalagi ... ini hapeku mendadak hilang dan sinyal terakhirnya ditemukan di sini. Jangan sampai, hilangnya hapeku juga masih berkaitan dengan beberapa kemungkinan yang baru aku katakan!” jelas Shanum. “Ass ... astaghfirulah, ... Num!” Sungguh itu yang Syifa katakan. “Oke ... jawabannya astaghfirullah?” sinis Shanum kepada Syifa yang malah hanya membuatnya makin dongkol. Shanum jadi makin tak berempati pada kakak perempuannya itu. “Terus sekarang giliran kamu, codot darat! Balasan apa yang ingin kamu berikan. Selama lima tahun ini, kalian selingkuh, begitu? Soalnya kalau istrimu balasnya hanya astaghfirullah, berarti predikat wanita sucinya, enggak bisa geser!” tegas Shanum. “Aduh ... gimana ini. Enggak ... jangan sampai. Jangan sampai mas Ridwan jujur dan bilang kalau hape Shanum juga ada di aku,” batin Syifa ketar-ketir. Jantungnya jadi berdetak sangat kencang, selain keringat dinginnya yang jadi silih berganti keluar dari permukaan kulitnya. “Apakah aku harus pura-pura pingsan?” pikir Syifa, tapi tidak begitu yakin. Karena jika melihat Shanum yang sedang emosi, adiknya itu ia yakini tidak akan pernah berempati kepadanya. Kecuali, jika ada orang tuanya. “Ini bapak sama ibu di mana? Nah itu mereka di dapur mau ke sini. Oke, harusnya pingsan aman!” pikir Syifa yang berakhir pura-pura pingsan. Tubuh Syifa, Ridwan biarkan melorot begitu saja, meski kedua tangan Syifa sempat berpegangan kuat kepadanya. Tubuh Syifa berakhir terbanting di lantai keramik motif kayu yang biaya pembelian sekaligus pemasangannya, murni memakai uang jeri payah Shanum. Seumur hidupnya, Syifa dengan dukanya, sukses menjadi anak kesayangan yang tak perlu bekerja keras untuk mendapatkan segala sesuatunya. Lagi pula, berapa sih, gaji guru ngaji di desa pelosok seperti Syifa? Paling banter juga seikhlasnya, kan? Bisa jadi, sekadar membeli kebutuhan sehari-hari, baik itu keperluan perawatan dan juga pakaian, Syifa masih meminta kepada orang tua. Sementara orang tua mereka mendapatkan uang ya dari Shanum. Walau sekejam itu cara main Syifa, kalian tetap jangan lupa. Pura-pura pingsan tapi dengan cara terjatuh bahkan terbanting karena tidak ada yang menangkap seperti yang Syifa lakukan, juga sangat sakit, ya. “Ya ampun itu Syifa ... kok dibiarin?” sergah pak Kuswo, merasa heran tapi juga kesal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN