Ditegur dulu oleh Papa Tio, barulah Areta terlepas dari cecaran Mama Mega di penghujung meja makan. Kalau Papa Tio tidak menghentikannya maka makan malam ini tidak akan pernah terlaksana.
Posisinya berubah. Tentu saja, ada tamu sekarang, mereka tak mungkin tak menyediakan tambahan kursi dan masih dengan posisi duduk yang sama.
Areta duduk di antara mamanya dan mama si calon. Berbicara tentang calon, Areta tidak terlalu memberi atensi padanya. Pria dengan setelan batik berwarna coklat dengan aksen merah itu, duduk diam di dekat ayah dengan tatapan yang mengarah padanya? Entahlah, itu hanya perasaannya saja atau memang begitu. Yang jelas adalah, pria itu masuk ke dalam kategori tampan yang menjadi tipenya.
Berbeda dengan Areta, sang adik yang memang duduk tepat di depan si calon abang ipar, sedari tadi tak puas untuk memperhatikan detail wajah pria berwajah datar itu. Dirinya merasa sangat familiar dengan wajah ini, perasaannya mengatakan bahwa dia dan kakaknya pernah bertemu dengan si calon. Dan juga, keluarga Darata yang dia tau adalah kolega bahkan sahabat dekat keluarganya. Tapi, kenapa dia sampai tidak mengenal pewaris tunggal yang satu ini?
Dan juga, entah karena dirinya yang terlalu selektif dan possessive terhadap sang kakak apalagi mengenai calon pendamping, atau hanya sekedar instingnya sebagai seorang laki-laki menilai karakter dari laki-laki lain, yang jelas, si calon abang iparnya ini memiliki arti tatapan yang sedikit tak bisa dia jelaskan.
Anze tau, sangat tau bagaimana seorang laki-laki menatap kagum pada wanita, menatap penuh minat, menatap suka atau tertarik. Dan dari semua kategori tatapan itu, tak ada satupun yang masuk pada tatapan yang sedang dilayangkan abang iparnya pada si kakak.
Timing yang tepat. Kala Arza menoleh karena merasa diperhatikan, saat itulah Anze menoleh ke samping di mana mamanya baru saja menghidangkan makan malam untuknya.
Makan malam yang hangat dan hikmad. Keheningan yang terjadi tak serta merta membuat canggung melainkan tentram. Bak sebuah keluarga besar yang sedang merayakan capaian anak-anaknya.
Namun itu hanya sementara. Rasa gugup dan cemas yang sedari awal mendera Areta, sempat hilang kala makan malam berlangsung, dan sekarang kembali hadir ketika mereka semua memilih meninggalkan meja makan dan mendudukkan diri di ruang tamu.
Tak ada tujuan lain selain membicarakan perihal kelanjutan perjodohan yang orang tua mereka sepakati.
Ah, berbicara perihal perjodohan. Areta tadi sempat berkenalan singkat dengan sang calon. Arza Monelio Darata, itu namanya. Keluarga Darata yang memang dia tau dari cerita sang mama adalah sahabat dekat dari kedua orang tuanya. Namun ada yang dia lupakan sepertinya. Nama pria ini terasa tidak asing lagi di telinganya, seolah nama ini sanga dekat dengan dirinya, tapi, kenapa? Dan apa? Siapa pemuda ini?
Lain kali, ketika mama bercerita, dia akan mendengarkannya dengan baik. Ini karena dia memilih tidur saat mama mulai berdongeng, karena itulah banyak cerita yang terlewat dari pendengarannya.
Tapi, sepertinya dia harus menarik lagi perkataannya yang tadi mengatakan kalau pria ini adalah tipenya. Pria dingin berekspresi datar ini sama sekali tidak masuk kategori pria incarannya. Maka, daripada berakibat buruk untuk ke depannya, dia memutuskan untuk lebih baik mencari sendiri cintanya.
"Jadi, Nak Areta. Gimana keputusan kamu?"
Dirinya tersadar dari lamunan. Namanya di panggil oleh calon papa mertuanya_jika dia menerima_membuatnya langsung alihkan tatapan.
Dirinya tidak tau apa yang sedari tadi mereka bicarakan selagi dia termenung. Maka tak ada pilihan lain untuknya menoleh pada sang adik. Bertanya lewat tatapan yang hanya dijawab tolehan kepala ke arah Arza. Ah, dia mengerti sekarang. Bersyukur ikatan batinnya dengan Anze cukup kuat jika dalam hal kode mengode seperti ini.
Pertama, dia hembuskan nafas panjang sebagai permulaan dirinya untuk berbicara panjang nantinya. Selanjutnya dia putar sedikit posisi duduknya untuk menghadap Mama Mega yang duduk di samping kanannya.
"Sebelumnya, Reta mohon maaf, Om Tante," jeda sejenak ketika mendapat raut muram dari Mama Mega yang tadi memasang senyum cerah di sana.
Baru satu kalimat dirinya sudah membuat para orang tua ini kecewa. Tapi dia harus teguh, dirinya harus bisa menyampaikan ini. Berbekal dari nasehat sang sahabat dan adiknya, dia yakin bisa menyampaikannya.
"Ini terlalu tiba-tiba buat Reta. Belum ada satu jam Reta tau nama anak Tante. Dan dia juga belum begitu kenal dengan Reta. Kami masih asing, masih canggung banget buat ngobrol berdua." Reta tarik nafas lagi, lebih dalam kali ini, lengkap dengan tangannya yang menggenggam tangan Mama Mega.
"Jadi, beri kami waktu buat saling kenal lagi satu sama lain. Setidaknya, suapaya kita masing-masing tau gimana karakter dan sifat asli masing-masing. Supaya nantinya nggak ada miss komunikasi, nggak ada salah paham atau malah nggak paham dengan pasangan," ucapnya lagi, menjelaskan dengan baik dan pelan, dengan sebuah harapan besar agar para orang tua ini bisa mengerti dengan kemauannya.
"Belajar dari pengalaman yang udah-udah, banyak temen Reta yang rumah tangganya bahkan belum sampai satu bulan tapi udah retak. Reta mau bangun rumah tangga bener-bener sama satu orang aja. Cukup sekali pernikahan buat Reta, cukup sekali Ayah jadi wali nikah Reta, dan itu akan Reta bawa sampai nanti Allah panggil Reta."
Areta memberi senyum pada Mama Mega, juga pada ayahnya dan Papa Tio, sedangkan mamanya di belakang tengah memberinya dorongan untuk tetap berucap dengan usapan lembut di lengannya.
"Kalau nanti kami rasa cocok buat lanjut ke jenjang yang lebih serius, In Syaa Allah, Reta nggak bakal lepas tangan gitu aja kalau Allah udah kasih takdir ini sama Reta," ucapnya mengakhiri kata-katanya.
Lega sekali, sangat lega rasanya menyampaikan apa yang hatinya inginkan. Terlebih ketika melihat respon positif yang dia dapat dari para orang tua, membuatnya semakin percaya dengan keputusan yang baru saja dia ambil.
Tatapannya kini beralih pada Papa Tio, meminta pendapat atas apa yang baru saja dia sampaikan. Dan Papa Tio tersenyum, senyum tampan yang mungkin saja akan mirip dengan putranya jika saja pemuda di sana mau untuk menarik ujung bibirnya ke atas.
"Papa nggak akan maksa kalian, Nak. Pernikahan ini kalian yang bakal ngejalani nantinya, bukan Papa, Mama atau orang tua kamu. Jadi, kenyamanan kalian buat ngejalanin ini juga penting, dan Papa dukung apapun keputusan kalian," ucapnya yang semakin menghadirkan senyum lebar di bibir Areta.
"Kalau Nak Arza. Gimana keputusan kamu?" Giliran ayah yang bertanya pada Arza yang sedari tadi terlalu fokus pada perkataan Areta.
Dia alihkan tatapan pada si ayah, calon mertuanya yang baru saja bertanya. Lalu kembali dia tatap Areta yang juga ikut menatapnya untuk kemudian dia tundukkan wajah. Mungkin sedikit terintimidasi oleh tatapannya.
"Saya setuju dengan apa yang Areta sampaikan," ucapnya membuat dalam tunduknya, Areta tersenyum senang. Lega karena pria ini sama sekali tidak mempersulit niatnya.
"Pernikahan memang bukan hal yang sepele untuk dijalani. Dan saya tidak mau gegabah yang nantinya akan berujung kehancuran rumah tangga," ucapnya bijak dengan tatapan tak lepas dari si ayah.
Jawaban Arza sama bijaknya dengan pemikiran Areta. Cocok sekali jika dilihat sekilas.
Pandangan matanya kembali dia arahkan pada Areta dengan senyum tipis yang tiba-tiba terukir di bibirnya.
"Tapi saya mau, kami bertunangan dulu," ucapnya kemudian yang jelas saja membuat Areta langsung tegakkan kepala, menatap dengan bola mata melotot. Agaknya terkejut.
"Saya tidak mau waktu yang kami pinta berakhir sia-sia jika saya tidak mengikatnya lebih dulu. Saya juga tidak mau hak saya tiba-tiba direbut orang lain selagi masa pengenalan itu," tuturnya lagi.
***