Calon Menantu

1141 Kata
“Apa kabar? Udah berapa tahun kita nggak ketemu tatap muka kayak gini ya?” ucap si sahabat setelah memberi pelukan hangat pada ayah Areta. Ayah Darta terkekeh sejenak mendengar ucapan si sahabat lama. “Padahal baru minggu kemarin kita ketemu buat ngomongin ini,” jawabnya yang kini gantian Papa Tio yang tertawa. Istilah keren sekarang apa ya? Temu kangen? Ya begitulah. Dua sahabat lama yang sedang melepas rindu, itu maklum. Tapi yang tidak bisa maklum adalah di mama yang sedari tadi berdiri di samping papa. Sesekali kepalanya akan menoleh ke dalam untuk menengok keberadaan calon menantunya yang belum terlihat batang hidungnya. Sahabatnya juga tak terlihat sedari tadi, ke mana kedua ibu dan anak itu? “Eh, kangen-kangenannya udah dong, mana calon besan sama calon mantu gue?” Dan tetap, si mama akan menjadi yang paling bar bar. Azra yang melihatnya saja, jadi malu. Yaa, meskipun mereka adlaah sahabat, tapi tetap saja, ini adlah sebuah acara formal yang seharusnya dijalani dengan normal seperti acara pertunangan lainnya. Tunggu, tunangan? Hah, kenapa Azra jadi ikutan tidak sabar? Dua lelaki paruh baya itu akhirnya menoleh dan tertawa mendengar intruksi itu. Wanita yang sudah tak lagi muda ini, tidak juga berubah dari dulu. “Eh,kenapa berdiri aja depan pintu? Ayo masuk, ayo masuk.” Mama Juli memunculkan diri dan memeluk penuh rindu pada Mama Mega, ikut melepas rindu. Mereka semua ikut berjalan masuk ke dalam, dengan Azra yang berjalan di yang paling belakang, dia berpikir, bukankah dia adalah pemeran utamanya di sini? kenapa malah dirinya yang seperti tak dianggap? Hah! Ya sudahlah, dirinya mencoba maklum dengan para orang tuanya yang baru bertemu setelah sekian lama tak bertatap muka. Azra lihat lebih dalam rumah megah ini, tak banyak orang, hanya benar-benar keluarga inti dari kedua belah pihak, namun yang belum dia temukan adalah si gadis yang katanya akan dijodohkan dengannya. Dia penasaran dengan rupa gadis itu sekarang. Seperti mana teman lama, berbincang ringan di awal pembahasan adalah hal yang tidak boleh tertinggal. Bahas apapun itu yang menyangkut kehidupan masing-masing. Berbeda dengan para wanita yang menyandang status sebagai ibu rumah tangga ini, pembahasan mereka tak akan jauh-jauh dari seputar berita terkini mengenai shopping. Kadang Azra yang kalem dan tergolong sedikit cuek dengan keadaan sekitar, ikut berkomentar kala sang mama tiba-tiba kalap membeli apa saja ketika belanja. Dan di sini, dirinya sendiri bak orang yang tak mengenal mereka, menyibukkan dengan ponsel yang sama sekali tak membantunya dalam hilangkan rasa bosan. Tau begini kejadiannya, dia akan mengajak sang sahabat tadi, hitung-hitung, mereka bisa membahas sedikit mengenai pekerjaan. Pembicaraan si ibu-ibu sosialita itu terjeda kala seorang asisten rumah tangga menghampiri sang nyonya rumah, entah memberitahukan apa, yang penting Mama Juli terlihat mengangguk dan tersenyum setelah berterima kasih. “Maaf semuanya, sebelum lanjut ke pembahasan inti, kita makan malam dulu ya? Makanannya udah siap, ayo,” ucap Mama Juli memberi intruksi. Tak ada bantahan, mereka hanya mengikuti di belakang, ikut langkah si tuan rumah yang akan membawa mereka menuju meja makan. “Eh bentar,” Mama Mega mengintruksi setelah mereka duduk nyaman di kursi meja makan. “Ini Areta mana? Kok dari tadi nggak ada?” lanjutnya bertanya. Si mama dari keluarga Darata itu ternyata sudah sangat tidak sabar untuk melihat sosok sang calon menantu. Mendengar ucapan sang sahabat, Mama Juli jadi menepuk pelan keningnya. “Astaga, bisa-bisanya aku lupa buat manggil Areta. Tunggu sebentar ya,” ucapnya lalu menoleh ke belakang, pada Bi Imah yang berdiri di sana. Meminta untuk bibi memanggil Anze membawa Areta ke sini. Azra? Pria kelewat cuek itu kembali berdiam diri, kembali menyibukkan diri dengan ponsel sebelum ayah dari Areta memanggilnya, lebih tepatnya bertanya padanya. “Gimana pekerjaan kamu?” tanyanya. Apa ini semacam intograsi untuknya? Tak masalah, toh dirinya mapan, membahas soal pekerjaan adalah pembahasan yang mudah baginya. Maka di taruhnya ponsel itu di atas meja untuk dirinya bisa fokus pada pria paruh baya yang tadi melempar pertanyaan padanya. “Alhamdulillah, pekerjaan saya baik dan lancar, Om,” jawabnya tegas dan lugas, Cara jawab serta jawaban yang sangat disukai oleh Ayah Darta. Di sanalah ayah menilai bahwa, pemuda ini memang sudah cocok untuk putrinya. “Kamu mapan, tampan, kamu juga berpendidikan tinggi, kenapa mau terima perjodohan ini?” Lagi, pertanyaan lain terlayang oleh Ayah Darta. Azra menggeleng pelan lebih dulu. “Saya belum terima, Om. Mama yang suruh, jadi saya datang,” jawabnya yang mana sontak menimbulkan pelototan tajam dari sang mama. Mencoba menggapai kaki snag putra di bawah sana, namun berakhir kesal sendiri kala kakinya tak cukup panjang untuk melebihi meja makan ini. Menoleh pada Ayah Darta yang tersenyum halus mendengar penuturan putranya. “Maafin Azra, dia emang gini orangnya, terlalu apa adanya kalau ngomong,” ucap mama mendapat tawa kecil dari Ayah Darta. “Nggak masalah. Lebih baik jujur ‘kan?” ucapnya membuat Mama Mega semakin smengulas senyum canggung. Jangan sampai impiannya yang ingin menjadikan Areta menantu, harus gagal karena kebodohan Erden. Inginnya kembali bertanya beberapa pertanyaan pada pemuda ini, dia suka dengan cara calon menantunya ini menjawab setiap pertanyaannya. Namun harus terhenti kala mendengar pekikan dari istri sang sahabat. Ikut mengalihkan tatapan, dan dia menemukan putri satu-satunya berjalan dengan anggun, digandeng oleh putranya yang juga berjalan normal kali ini. Iya, normal, biasanya putranya itu tidak akan lepas dari ritual narsisnya terlebih dahulu. Ingat kejadian pagi itu? Ya itulah salah satunya. Dan Azra satu-satunya orang yang hanya diam melihat pemeran utama wanitanya pada malam ini, muncul dan berjalan pelan ke arah mereka. Diam, di saat orang-orang terkagum dengan kecantikan si gadis yang dia pun tak ingin munafik, gadis ini memang cantik, sangat malah. Jika ditanya dan dipaksa jujur, maka dia akan menjawab bahwa, wanita ini adalah wanita tercantik yang pernah dia temui, satu-satunya wanita yang mampu menggetarkan hatinya, dan satu-satunya wanita yang— “Maa Syaa Allah!” seru Mama Mega, beranjak dari duduknya, berjalan cepat menuju Areta dan Anze, meyambut si calon dengan hati yang amat sangat senang. “Kamu cantik banget! Fix sih, kamu harus jadi mantu Mama kalau gini!” ucapnya lagi menangkup pipi si gadis yang tersenyum cantik bercampur canggung padanya. “Tante juga cantik,” balasnya, menggapai tangan kanan Mama Mega untuk dia cium punggungnya. Hanya sebuah kebiasaan yang diajarkan kedua orang tuanya, yang justru menambah poin plus di mata si mama. “Selamat malam, Tante.” Intruksi dari pemuda di sebelah Areta, membuat perhatian Mama Mega teralihkan. Sama dengan reaksinya tadi pada Areta, Mama Mega turut memberikan senyum hangat kala tangannya juga dicium oleh pemuda tampan ini. “Kalau aja Mama punya anak perempuan, pasti udah Mama jodohin juga sama kamu,” ucap si mama membuat Anze tersenyum kalem. Mama tak tau saja dalam hati Anze sudah berteriak dengan nada narsisnya, dan hanya Areta yang paham itu. Kasihan sekali anak perempuan Tante Mega jadi koleksinya si buaya empang satu ini, pikir Areta sedikit miris, dan sedikit mengucap syukur karena Mama Mega tidak memiliki anak perempuan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN