Destiny

1262 Kata
“Sialan tau nggak, Ya!” teriak Areta menenggelamkan wajahnya pada boneka berbentuk hati yang ada di kasurnya. Setelah acara bincang keluarga yang berujung dengan keputusan untuk mengadakan sebuah pertunangan, Nia datang ke rumah membawa beberapa bingkis kue dan makanan serta kado untuk sang sahabat, yang Areta tidak tau fungsinya apa. Kenapa juga Nia membawa hal semacam itu ke rumahnya? Yang mana tentu saja membuatnya bertambah kesal. Sekarang mereka sedang berada di kamar Areta, dengan Nia yang duduk di samping Areta sambil memasukkan beberapa potong kue yang tadi diberikan Mama Juli padanya. Katanya itu adlah kue yang tadi dibawa oleh calon besannya. Melihat keadaan Areta yang seperti ini, setidaknnya Nia sudah bisa menebak dengan pasti apa yang tadi terjadi. Ingin kasihan tapi sahabatnya ini masuk pada kategori bodoh menurutnya. Hey, ayolah, gadis mana yang tidak mau dijdohkan dengan pria tampan yang status mapannya sudah snagat jelas? Dirinya saja mau, hanya Areta saja yang berpikiran terlalu negatif. Bagaimana lagi caranya mendeskripsikan pria muda itu? Anak tunggal, kaya raya. Nah begitulah kira-kira. Tapi pria ini tidak hanya sekedar kaya raya, tapi sudah sultannya harta, the real crazy reach! Dan Areta malah secara tidak langsung menolak? Ya Allah, maafkanlah sahabat idiotnya ini yang sudah menolak rezeki yang Engkau berikan, dan buatlah sahabatnya yang satu ini terhindar dari kata sesal dikemudian hari. “Yaya!” pekik Areta sekali lagi dengan tapang menyedihkan menatap Nia yang terlihat santai saja di sana. Menoleh sinis. “Apa sih? Ganggu banget, gue lagi enak-enak makan juga. Atau lo mau nyoba?” tanyanya mengulurkan potongan kue yang maih tersisa di tangannya. Dan itu sudah pasti memancing amarah dan rasa kesal di diri Areta semakin bertambah besar saja. Bangun dari baringnya, duduk dengan bantal di tangannya lalu dengan tak berperikesahabatan, memukulkan bantal itu pada Nia yang jelas kelabakan menerima pukulan tiba-tiba dari Areta. “Ta! Reta! Sakit woi! Udah! Lo pikir gue samsak apa dipukulin!” teriaknya seraya beranjak menghindar dari kebrutalan Areta. Tenaga Areta itu tidak main-main kuatnya, ditambah lagi dengan sebuah bantal yang tentu saja itu bukan main sakitnya. Nia jadi bingung sendiri, sebenarnya sahabatnya ini seorang dosen kesenian atau seorang petinju profesional? Pergerakan Areta tiba-tiba berhenti, nafasnya masih memburu tapi pandangannya mengabur tiba-tiba karena air mata yang mengembun. Melihat itu, Nia tak lagi memasang kuda-kuda pertahanan dari serangan Areta, dirinya menghela nafas panjang dan mendekat ke arah sang sahabat. Dirinya paham,sangat mengerti dengan hal yang tidak disukai dan disukai oleh sahabat cantiknya ini. Dan Nia bisa mengerti dengan apa sang sahabat rasakan saat ini. Maka tak ingin lagi mengulur waktu lebih lama, Nia langsung membawa tubuh Areta untuk masuk ke dalam pelukannya. Pelukan yang akan senantiasa dia berikan kapanpuun Areta membutuhkannya. Areta si gadis yang sedari kecil dibebaskan untuk berekspresi oleh keluarga besarnya, si kecil yang keras kepala dengan pilihannya sendiri, si remaja yang sedai memasuki sekolah menengah pertama sudah mewanti-wanti kedua orang tuanya untuk tidak terlalu mengekangnya dalam hal apapun, termasuk pasangan. Dan sekarang itu yang terjadi padanya. Perjodohan. Sebuah kata yang sangat ditentang oleh gadis ini, kini malah terjadi padanya. Tentu saja sisi berontaknya akan keluar. Namun ini adalah kekangan yang sangat jauh berbeda dari sebuah larangan sayang yang kedua orang tuanya berikan. Kekangan sacral menyangkut harapan dari kedua orang tua, itu yang membuat Areta tidak bisa sekuat dulu ketika ingin membantah. Areta sayang pada orang tuanya, dan Areta tidak mau menjadi anak durhaka dengan membuat air mata kecewa jatuh di mata sang mama yang sangat bersemangat dalam hal ini. “Gue nggak bisa komen apa-apa, Ta. Tugas gue sebagai sahabat nggak masuk dalam kategori ini. Ini urusan kebahagiaan lo, masa depan lo yang gue nggak berhak buat campur tangan di dalamnya. Tapi bakal jadi tugas gue buat hibur lo, nenangin lo, dan nemenin lo di saat kayak gini.” Nia berucap dengan tangannya yang memberi usapan lembut di punggung sang sahabat. “Tapi gue sama sekali nggak bahagia, Ya … gue nggak pernah mau ini, gue nggak pernah minta bakal kayak gini,” lirihnya di dalam pelukan Nia. “Ta, bahagia nggak bisa diukur kalau lo belum mulai apa-apa. Dengan lo nangis kayak orang yang udah pasrah kayak gini gimana bisa lo rasain kebahagiaan?” ucapnya kemudian mengurai pelukan Areta padanya. Dihapusnya air mata berlinang itu, dan tersenyum. “Perjodohan ini bukan akhir dari dunia lo, Ta. Lo masih bisa jadi Areta yang dulu, yang bebas, yang setiap hari bakal nyanyi-nyanyi sampai kuping gue pengeng dengernya, lo masih bisa kayak gitu. Jadi jangan nyerah gitu aja, jangan dibawa nangis terus. Air mata lo bakal habis, emangnya perjodohan ini bakal batal? Enggak, ‘kan?” ucap Nia panjang lebar. “Ta, gue udah bilang dari awal sama lo, kalau semuanya bakal ada jalan keluarnya. Allah nggak akan pernah lepas tangan sama makhluknya, dan lo punya pegangan yang kuat dengan percaya sama kuasa Allah,” ucapnya lagi. Areta hanya diam. Dan Nia tidak mempermasalahkan itu. Diamnya Areta itu berarti apa yang dia ucapkan, berpengaruh padanya dan dia sedang memikirkannya. “Udah, sekarang lo bersih-bersih, habis itu tidur biar besok lo ngajar nggak kusut kayak gini. Lo ada jadwal ‘kan besok,” ujarnya lagi membuat Areta berlaih untuk menatap jam yang ada di nakasnya. Hampir jam sebelas ternyata. Pantas saja Nia sudah rewel, pikirnya. Menyeka sisa air mata, lalu menyeka ingus yang ada di hidungnya untuk dia usapkan pada baju Nia. “Iya bawel,” cibirnya dan langsung berlari menuju kamar mandi. Sedangkan Nia, gadis itu masih melotot dengan tatapan tak percaya melihat ingus Areta yang menempel sempurna di bajunya. Mentap baju dan pintu kamar mandi bergantian, sebelum dia ambil sandal rumahan yang dia pakai untuk dilempar pada pintu kayu itu. “Areta k*****t! Biadab lo!” Dan segala macam u*****n keluar dari bibir berpoles lip-tin berwarna merah milik Nia, dengan segala macam benda yang terdengar menghantam pintu kamar mandi. Reaksi Areta? Apa lagi selain tertawa bahagia mendengar sahabatnya yang tengah mengamuk hebat di kamar. Bisa dipastikan, bahwa nyonya besar akan memberi mereka siraman rohani malam ini dengan keadaan kamar yang tak ada ubahnya bak kapal pecah. *** Di kediaman lain, lumayan jauh dari kediaman Areta yang kini sedang berbahagia melihat kekesalan sang sahabat, ada seorang pria tampan yang tengah berendam di bathub dengan senyum di wajahnya dan mata yang terpejam. Senyum itu tidak pernah mengembang sebelumya, tidak pernah sebahagia ini rasanya sebelumnya, dan tak pernah dirinya merasa senyaman ini berada di dalam bathub sebelumnya. Lalu ada apa sekarang? Entahlah, yang jelas dirinya sungguh senang, senang bukan main. Bahkan dengan melihat wajahnya saja sudah snagat terbaca betapa bahagia dirinya saat ini. “Hah ….” Helaan nafas panajang yang entah keberapa kali, disertai dengan senyuman yang semakin mengembang. “Dunia memang sesempit ini ternyata,” guamamnya. Membuka mata dan onyk hitam legam itu langsung tertuju pada sebuah foto yang dia pajang di dinding. Foto seorang gadis yang dulu sangat dia damba keberadaannya. “Kau memang cantik, sangat malah. Kau juga pintar.” Senyum yang tadi mengembang tampat, kini berubah seringai tajam yang menyeramkan. Seringai yang bahkan membuat orang berkali-kali berpikir ulang untuk sekedar mengintip melihatnya. “Sayang sekali, aku tetap menjadi pemenangnya. Aku pemenangnya, aku! Hahahaha …!” Tawa itu, tawa iblis yang ada dalam dirinya. Sebuah tawa yang sudah dapat dipastikan akan membawa dendam yang selama ini dia nanti untuk terlampiaskan, segera tersampaikan pada objeknya. Dendam. Iya, dendam. Dendam yang entah akan membawa sebuah takdir baik atau buruk, yang jelas, niat salahnya dia benarkan untuk melampiaskannya. Tak peduli lagi dirinya akan kenyataan bahwa, dendam hanya akan membawa kehidupan sengsara pada dirinya di masa depan yang jelas, dirinya bisa tenang setelah berhasil membalaskannya. Iya, itu dia poinnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN