Terbangun dari tidurnya sekitar hampir jam lima subuh, Areta mendengar gemericik air yang berasal dari kamar mandi. Pun cahaya lampu yang sedikit tampak dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup.
Menoleh ke samping, Nia tidak ada di sana. Mungkin sedang ambil wudhu, pikirnya.
Masih berusaha kumpulkan nyawa yang masih mengawang pasca berada di alam mimpi, Areta duduk termenung dengan pandangan kosong menatap kakinya yang berada di balik selimut.
"Woi!" kejut Nia menepuk pelan bahu Areta yang tidak memberikan respon berarti.
Gadis yang masih mengantuk berat itu hanya menoleh, memberikan tampilan wajah bantalnya dengan sedikit sungai kering di sekitar mulut. Nia bergidik jijik melihatnya. Kadang Nia sangat menyayangkan laki-laki yang begitu kekeh menarik perhatian sang sahabat. Andai saja mereka tau keadaan sahabatnya yang seperti ini, apa mereka masih mau menaruh perhatian pada gadis ini?
"Cuci muka sana, ambil wudhu, bentar lagi subuh," ucapnya menarik tangan Areta untuk segera lengser dari kasur empuknya.
"Iya iya ah! Jangan tarik-tarik ...." protesnya dengan suara lirih yang serak khas bangun tidur.
Berjalan sempoyongan menuju kamar mandi. Sempat juga berhenti di dinding samping pintu untuk sekedar bersandar di sana, baru setelahnya melanjutkan langkah yang membawa kepalanya membentur pintu berbahan kayu itu.
Nia jadi meringis sendiri melihatnya. Nia heran, ke mana perginya wibawa yang gadis itu bawa ke kampus tempatnya mengajar?
Mengambil dua set mukenah yang ada di dalam lemari berwarna abu-abu di walk in closet, Nia kembali ke kamar dengan Anze yang sudah duduk dengan pakaian rapi di tempat tidur.
"Widih, Assalamualaikum ustadz," ucap Nia, menyatukan kedua telapan tangannya dan menundukkan sedikit kepalanya pada Anze.
Si pemuda tampan itu ikut mengambil peran, dengan menganggukkan sedikit kepalanya. "Na'am, na'am. Waalaikumsalam ukhti," ucapnya dengan wajah dibuat kalem bak ustadz muda.
"Gaya lo," cibir Nia setelahnya membuat Anze tertawa.
"Dia nangis ya tadi malam?" tanya Anze setelah cukup lama mereka terdiam.
Nia yang sedang merapikan mukennah menoleh lalu memberi anggukan pelan. "Lo 'kan tau sendiri dia gimana," jawabnya.
Anze tak lagi menjawab. Dia tak dapat berbuat banyak. Berbicara dengan kedua orang tuanya mengenai ini, sudah dia lakukan. Namun tetap saja tidak membuahkan hasil yang signifikan. Keinginan orang tuanya sudah tidak bisa di nego lagi, mama terutama.
"Ya udah, gue duluan ke bawah. Suruh cepat, tu anak biasanya renungin nasib dulu di depan kaca," ucap Anze seraya berjalan keluar kamar.
Nia hanya menyumbang tawa kecil. Bagaimana bertolak belakangnya kedua adik kakak ini, nyatanya keduanya tidak akan pernah tidak saling peduli satu sama lainnya.
Shalat subuh berjamaah telah dijalani dengan khidmat dan khusyu, ditambah lagi dengan tadarus yang sungguh membuat tenang dan tentram rumah besar ini.
Kegiatan masing-masing akan dijalani dalam waktu kurang dari satu jam lagi. Saat ini mereka sedang menikmati hidangan sarapan yang sebelumnya sudah dibuat oleh mama dan Nia. Areta? Gadis itu sudah sibuk sendiri dengan nilai para mahasiswanya yang lupa dia periksa. Harus di selesaikan sekarang katanya, pada mama tau kalau anak gadisnya itu sedang malas membantunya.
Yaa ... cukup tau saja mama.
"Maa ...!"
Teriakan itu berasal sari lantai atas, menampakkan Artea yang berdiri di pembatas lantai.
"Mama liat flashdisk warna hitam ngga di meja aku?" tanyanya lagi dengan volume suara yang masih tinggi.
"Turun ke bawah, Reta. Nggak baik teriak-teriak sama orang tua," tegur mama, masih menyibukkan diri dengan tatanan makananya di meja makan.
Dan Areta tak memiliki waktu yang sebanyak itu untuk turun ke bawah, bertanya pada mama yang ujung-ujungnya nanti mendapat kejahilan lain dari manusia-manusia jahil itu.
Maka dia pilih untuk berbalik ke kamarnya, ke kamar Anze lebih tepatnya, untuk mengambil flashdisk milik adiknya itu.
"Je, gue pinjem ya?"
"Iya, Ay. Pinjem aja, punya lo juga kok itu."
"Okay, makasih ya, sayang banget sama lo."
Itulah salah satu keabsurdan Areta. Bertanya dan menjawabnya sendiri seolah jawaban itu memang akan dilontarkan oleh Anze.
"Anak Mama kok nggak ada yang bener sih, Ma," ucap Nia membuat mama mengangguk pelan.
"Turunan bapaknya. Turunan Mama cuma yang paling tua noh, yang belum pulang-pulang dari Belanda," ucap mama membuat Nia tertawa.
"Berarti, Ayah ga bener ya, Ma?" tanya Nia lagi yang lagi-lagi mama mengangguk membenarkan. Lebih kuat lagi kali ini.
"Ayah mereka itu benernya cuma karna Mama. Coba kalau bukan Mama istrinya, nggak tau deh masa depannya kayak apa," ucapnya enteng yang kali ini membuat tawa Nia kian menggelegar.
"Ayah! Mama katanya mau cari daun muda!"
Mama sontak melotot horor, menatap Anze yang kini tertawa sambil kembali berlari ke atas menuju kamarnya. Bisa-bisanya anak itu mendengar pembicaraan mereka.
"Anak itu mulutnya minta di geprek ya," geram mama.
Sedangkan Nia? Gadis itu hanya bisa tertawa. Memang, sepertinya tinggal di keluarga Praja ini bisa membuat awet muda karena terus tertawa.
"Yah! Kata Mama, Ayah udah nggak asoy!"
"Anzee!!"
"Ahahahhaha ...!"
Begitulah suasana pagi yang indah di kediaman Praja. Berisik yang penuh kehangatan. Rusuh yang penuh kedamaian. Huru hara yang penuh kebersamaan.
***
Awalnya Areta pikir, ini adalah hari yang menyenangkan untuk dilalui. Apalagi tadi dimulai dengan menggelegarnya tawa di rumahnya. Tapi nyatanya tidak.
Mungkin benar kata orang, berlebihan itu tidak baik, dan sekarang keadaan malah berbalik, untuknya.
Tepat saat dirinya akan berjalan ke garasi untuk mengeluarkan mobil, saat itu juga telinganya mendengar sebuah klakson dari arah belakang. Tepat di sebelah kiri rumahnya.
Sebuah mobil mewah berwarna silver, terparkir apik di sana. Itu mobil asing baginya, dirinya belum pernah sekalipun melihat adanya mobil itu di sana. Iya, sebelum pria berjas rapi yang duduk di balik kemudi, keluar dari dalam sana.
Areta hanya diam di tempat dengan ekspresi terkejut yang tidak mampu dia hilangkan dari wajahnya. Tentu saja, memangnya ekspresi apa lagi yang harus dia keluarkan kala melihat si pria yang tadi malam melamarnya, berdiri dengan gagah di sana, masih dengan wajah datarnya.
Arza berjalan mendekat, melirik sebentar pada sebuah kunci mobil yang Areta pegang di tangan kanannya sebelum kembali fokus pada si gadis yang lebih pendek darinya ini.
"Masuk, saya yang antar," ucapnya singkat.
Suara baritone itu membuat Areta merinding mendengarnya. Apalagi tatapan mata yang tak pernah melembut dan ekspresi eajah yang tidak berubah itu mendukung situasi untuk mengakui bahwa, pria ini menyeramkan. Mimpi apa Areta sampai bisa-bisa terjebak hubungan dengan pria kaya ini?
Menetralkan degup jantung, juga rasa gugup yang tiba-tiba mendera. Areta berdeham sejenak. "Nggak, terima kasih. Saya bisa sendiri--"
"Saya nggak nawarin. Itu perintah," potong Arza cepat membuat Areta sedikit tercengang.
Seumur-umur, pembicaraannya belum pernah dipotong seperti ini. Pria ini selain minim ekspresi dan irit bicara, juga tidak sopan. Seenaknya memotong pembicaraan orang lain.
"Saya--"
"Lama."
Arza memang tidak memiliki waktu yang banyak untuk mendengarkan ocehan dan kata-kata penolakan dari Areta. Pagi ini dia ada meeting dan harus cepat ke kantor. Dan menjemput Areta adalah suruhan dari mamanya. Wanita itu memaksanya dengan ancaman tidak akan makan kalau Arza tidak menuruti. Ancaman klasik yang terlalu kekanan, tapi apa daya, Arza tak bisa membantah. Lebih tepatnya, ini juga bagus untuk kelancaran rencananya bukan?
"Aduh duh, lepasin. Saya bisa jalan sendiri, saya masih punya kaki. Lepa--"
"Saya kira kamu pincang," ucap Arza setelah melepaskan pergelangan tangam Areta dan berjalan santai menuju mobilnya.
Dan Areta? Gadia itu menganga tak percaya dengan jawaban itu. Ternyata begini aslinya pria ini? Tak salah jika Areta meminta waktu pada orang tua mereka. Sekarang Areta jadi tau bagaimana asli pria ini. Lihat saja, Arza akan menyesal karena berbuat seperti itu padanya.
Tin! Tin!
"Iya! Iya! Elah! Nggak sabaran amat sih!" ketusnya berjalan dengan langkah kesal dan kaki yang dihentak-hentakkan.
Kacau! Paginya yang indah total kacau karena pria ini.
***