9. Terjerat Lagi

1387 Kata
Ferdy mengetuk kamar yang ditempati Bee. Sekali, dua kali, sampai tiga kali ketukan tidak ada sahutan dari dalam kamar. Ferdy penasaran. Ia memutar kenop pintu, lalu mendorong daun pintu pelan-pelan. Kosong. Ia tidak melihat seorang pun di sana. Koper besar milik Bee pun raib. Kelegaan mengaliri diri Ferdy. Kedua pengacau itu sudah pergi dari hidupnya. Ferdy masih tersenyum lega saat Hendro tiba untuk menjemputnya. Ia tidak menceritakan secara detail pada asistennya itu apa yang telah terjadi. Ia hanya memberitahu Hendro bahwa kedua orang yang ia anggap penipu itu telah menghilang dari hidupnya. Perjalanan pagi menuju bandara terasa ringan dan menyenangkan. "Syukurlah sekarang Pak Bos sudah bebas. Tapi, gimana ceritanya tuh sampai mereka mau pergi dengan sukarela gitu, Pak?" tanya Hendro dari balik kemudi. "Saya kasih kapur ajaib anti serangga," canda Ferdy. "Kabur karena kapur," celetuk Hendro, "ah, bisa aja nih, Pak Bos." Ferdy membusungkan d**a dengan bangga. "Apa sih yang nggak bisa Ferdinan Hutomo lakukan? Kalau cuma ngengat begitu sih, kecil." Hendro mengangguk-angguk. Ia sebenarnya tidak ingin tertawa karena memang tidak ada yang lucu. Namun, demi menghargai sang Bos, pria berkemeja ungu itu tertawa. "Hahaha." "Ngapain kamu ketawa, Ndro? Emang ada yang lucu?" tegur Ferdy. Hendro melongo. Ia pikir bosnya akan senang ia menertawakan lelucon tidak lucu sang bos, tapi kenapa ia diprotes? Weirdo. "Nggak apa-apa, Pak. Abisnya Bapak pagi-pagi ngelawak. Pake acara manggil cewek yang kemarin itu ngengat lagi. Kenapa nggak sekalian aja ulet bulu?" "Gatel dong." Tawa Ferdy meledak Hendro tambah bingung dengan kelakuan bosnya. Ia pun akhirnya menanggapi dengan jawaban konyol. "Gatel? Garuk, Bos." Setelah tiga hari bagai bernapas dalam lumpur, pagi ini Ferdy bisa bernapas lega. Ia meluapkan suka citanya dengan tawa meskipun rasa lapar mulai mendera. Ia terlalu jaga gengsi untuk menyantap nasi goreng yang mungkin disediakan oleh Bee sebelum ia pergi. Akhirnya, Hendro yang menghabiskan nasi goreng itu daripada mubazir terbuang sia-sia. Disediakan untuk Ferdy, tapi yang kenyang justru Hendro. Jadi, siapa sebenarnya si anak saleh? Ferdy menyesal. Mobil yang dikendarai Hendro meliuk cantik ke arah gerbang tol Cawang-Grogol. Sementara itu, Ferdy dengan bangganya masih membahas keberhasilannya mengusir Bee. Sayangnya, keberuntungan masih ingin bermain-main dengan pria berkulit putih itu. "Pak Bos, coba tengok arah jam 11. Itu kayak cewek yang ngaku-ngaku jadi istri Pak Bos," cetus Hendro sambil melirik ke arah mobil jenis SUV hitam yang berhenti di bahu jalan. Oh, hell. "What is she doing there?" Ferdy mengernyitkan dahi sambil menatap tajam ke arah perempuan di samping SUV itu. "Stop, Ndro! Stop!" Hendro menepikan mobil ke bahu jalan. Tanpa menunggu Hendro mematikan mesin, Ferdy keluar dari mobil dan berlari menghampiri Bee. Bukan Bee yang membuatnya cemas, tetapi gadis kecil yang menangis histeris dalam gendongan seorang pria berambut pirang. "Hey! Let her go!" seru Ferdy pada pria berambut pirang itu dengan geram. Si rambut pirang menyatukan alis dan menatap Ferdy dengan berang. "Siapa kamu?" Siapa? Ferdy tertegun sesaat sebelum menjawab dengan spontan. "Gue bapaknya dia. Mm, daddy-nya gadis kecil itu!" tunjuk Ferdy ke arah Ara. "Graham, lepaskan anak saya!” Tiba-tiba Bee mengaitkan tangannya ke tangan Ferdy dan membuat jantung Ferdy hampir copot karena terkejut. Sabar, Fer. Ferdy mengingat dirinya sendiri dan berusaha tetap tenang. "Lepaskan anak kami atau kamu akan berurusan dengan polisi NKRI!" ancam Ferdy. Si pirang yang dipanggil Graham menurunkan Ara dari gendongannya dan membiarkan gadis kecil itu berlari menghambur ke pelukan sang mami. Ia lalu berjalan mendekati Ferdy dan Bee. "Saya tidak percaya dia anak kalian. Saya pasti akan kembali untuk mengambil hak saya," ucap Graham, kemudian ia menatap tajam Ferdy. "Kita pernah bertemu, 'kan?" Ferdy mengerutkan dahi. Menatap lekat-lekat pria di hadapannya dan berusaha keras mengingat. Oh, hell. Dia pria itu. "Iya. Kita pernah bertemu sebelumnya. Jangan sampai kejadian malam itu, di Valkyrie, terulang di sini," tandas Ferdy. Graham menyungingkan senyuman sinis. "Kita akan segera bertemu lagi dengan cara dan di tempat yang berbeda, Ferdinan Hutomo." Ferdy tercengang. Graham mengetahui namanya. Sial, apa dan siapa lagi yang akan ia hadapi sekarang? tanyanya dalam hati. "Ayo kita pulang sekarang, Sayang!" Bee menarik tangan Ferdy untuk segera menjauh dari Graham. Ferdy tidak punya ide lain selain menuruti Bee. Ia, Bee, dan Ara yang berada dalam gendongan Bee berjalan kembali ke mobil Ferdy. Sedangkan Hendro, tanpa diperintah, mengambil koper Bee yang masih tergeletak di samping mobil milik Graham. Asisten setia itu sempat bergidikkan melihat Graham yang masih memandang dengan geram bosnya dan Bee. "Kita lanjut, Pak Bos?" tanya Hendro memecah ketegangan yang menyelimuti suasana di dalam mobil Ferdy. "Lanjut. Ndro, pesankan dua tiket lagi. Mereka ikut saya," titah Ferdy. Hendro membelalakkan mata tidak percaya. "Pak Bos ...." "Dua tiket lagi ke Bali." Ferdy memperjelas perintahnya. "Baik, Pak Bos." Hendro segera mengeluarkan ponsel dari saku kemejanya lalu menghubungi agen maskapai penerbangan. "Done, Pak Bos." "Thanks, Ndro." *** Ferdy menutup mulutnya rapat-rapat selama dalam perjalanan. Ia masih merasa kesal terjebak kembali dengan Bee. Perempuan misterius itu berhasil mengikutsertakan dirinya dalam permainan yang ia tidak pahami sama sekali. Namun, dorongan kuat untuk membantu Bee selalu datang dan menghalangi niatnya untuk menjauh. Ferdy sendiri tidak habis pikir. Ia ingin terbebas dari dua pengganggu itu, tetapi setiap kali mereka berhadapan rasa yang tidak bisa didefinisikan oleh kata tiba-tiba hadir, menahan, dan menjeratnya. Mereka tiba di bandara Ngurah Rai tepat pukul 11.20 WITA. Seperti keluarga kecil yang bahagia, Ferdy bertugas membawa barang-barang bawaan mereka, sementara Bee menuntun Ara ketika mereka keluar dari bandara menuju mobil jemputan mereka. "Selamat datang di Bali, Pak Ferdinan." Seorang pria berkemeja putih dan berdasi merah menyambut Ferdy. Pria itu kemudian memandang ke arah Bee dan Ara sambil bibirnya melontarkan senyuman. "Selamat datang di Bali, Bu Ferdinan." Bee hanya tersenyum kaku merespons sambutan pria tersebut. "Oh, iya, Pak Arga. Saya minta suite dengan double bed ya di hotel nanti," pinta Ferdy. "Baik, Pak. Saya akan menghubungi pihak hotel sekarang." Perwakilan dari anak perusahaan Cakrawala Nusantara tersebut segera menghubungi hotel tempat Ferdy akan menginap. Kurang dari dua menit, pria itu langsung memberi laporan. "Presidential suite untuk Bapak dan Ibu sudah disediakan." "Good. Kita berangkat sekarang, Pak Arga." Ferdy memerintah. Tiba di suitenya, Ferdy tidak menyia-nyiakan waktu. Ia mengajak Bee dan Ara untuk menyantap menu makan siang yang telah di siapkan di ruang makan mini. Ferdy wajib mengisi perutnya setelah pagi tadi ia nekad untuk tidak sarapan. Kali ini ia butuh amunisi untuk memimpin meeting yang akan dilaksanakan di meetingroom hotel ini bersama beberapa pentolan anak perusahaan Cakrawala Nusantara. "Ara sudah selesai makan?" tanya Ferdy dengan nada pelan pada Ara yang duduk di samping Bee di seberang meja. Ara menurunkan gelas berisi air putih yang baru saja diteguknya ke atas meja. "Sudah." "Kalau begitu, Ara tunggu Mommy sama Daddy di kamar dulu, ya. Daddy sama Mommy mau mengobrol sebentar. Ayo, Daddy antar Ara ke kamar!" Ferdy bangkit, berjalan melintasi meja, lalu menuntun Ara ke kamar mereka. "Ara bisa nonton film kartun dulu di sini." Ferdy menyalakan televisi dan memilih saluran anak untuk menghibur Ara. "Iya, Daddy," jawab Ara, "Daddy, orang seram tadi itu siapa?" Ferdy mengangkat alisnya. Ia masih belum tahu siapa yang dimaksud oleh Ara. "Orang yang mana?" "Orang yang mau membawa Ara tadi sebelum kita naik pesawat. Apa dia tukang culik?" tanya Ara dengan nada ketakutan. Ferdy tertawa pelan lalu mendekat. Ia mengusap-usap puncak kepala Ara dengan lembut. "Ara tenang saja. Selama ada Daddy, nggak akan ada yang bisa menculik Ara." Ara melingkarkan tangan kecilnya ke pinggang Ferdy sambil berkata, "Thank you, Daddy." Ferdy mengangkat tubuh mungil Ara ke tempat tidur. "Ara tunggu di sini, ya. Daddy mau ngobrol sebentar sama Mommy." "Oke, Dad." Ara mengangkat jempolnya. Ferdy kembali ke ruang makan. Ia melihat Bee masih di posisi semula dan ia kembali ke posisinya di seberang Bee. "Kamu berutang penjelasan pada saya," tuntut Ferdy. "Saya butuh bantuan kamu, Fer." "Kalau kamu butuh bantuan saya. Ceritakan semuanya pada saya agar saya tidak merasa ditipu dan saya tidak merasa sia-sia telah membantu. Siapa laki-laki bule tadi?" "Saya tidak tahu." Huft! Ferdy membuang napas kasar. Ia mengeraskan rahang tegasnya dan mulai geram. "Saya rasa saya sudah membuang waktu berharga saya dengan berhenti di bahu jalan tadi dan membawa kalian ke sini." "Dia ayahnya Ara." Bee menunduk. What the heck am I doing? Ferdy hampir tidak bisa menutup mulutnya yang sedikit terbuka lantaran syok. Ia membantu orang yang salah yang menempatkannya dalam perseteruan rumah tangga dan urusan hak asuh anak. Sial, bisa saja ia dijadikan kambing hitam oleh Bee sekarang, pikirnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN