Dua Situasi Berbeda

1221 Kata
"Aku dan Fitria maksudnya gimana bi?" wajah heran Rezi tidak bisa di tutupi. "Abi dan abah sepakat akan menjodohkan kalian, Tria sudah lulus kuliah jadi sudah cukup umur dan pendidikan." Rezi yang tidak ada gambaran sedikitpun tentang perjodohan tentu saja kaget bukan kepalang. Apa - apaan Abinya ini, tidak ada angin apalagi hujan tiba- tiba main menjodohkan aja. Kan Abi tahu kalo dia punya pacar dan sudah dikenalkan pula,tapi bagaimana menolaknya di depan orangtua wanita yang dimaksud? Diam adalah pilihan yang tepat saat ini. "Kaget ya? Salah Abi yang nggak bilang dari dulu, Abi kira abah Fuad sudah melupakan pembicaraan kami dulu, ternyata abah hanya mengikuti syarat dari Tria yang meminta dia menyelesaikan sekolahnya dulu, makanya baru sekarang dibicarakan lagi," kata Abi menjelaskan pada Rezi. "Iya... Tria minta dia jadi sarjana dulu baru melanjutkan perjodohan ini. Anak ketiga abah ini memang paling banyak syaratnya, kakak - kakak nya dulu gampang betul di jodohkan dengan pasangan mereka masing - masing, mungkin karena Tria anak bontot," jelas abah Fuad. Kedua orangtua itu menjelaskan pada Rezi, tapi pikiran Rezi ntah kemana, wajah Dea yang terbayang. "Hari Sabtu besok kita ke rumah abah ya, biar kamu kenalan dulu sama Tria sambil membicarakan pernikahan kalian," ucapan Abi membuat Rezi menoleh. Secepat itu kah? Apakah Abi tidak menanyakan pendapatnya dulu? Tidak ada kalimat yang keluar dari bibir Rezi, dia hanya meremas kedua tangannya. "Sepertinya sudah malam, Ana pamit dulu Lif...Sabtu nanti ana tunggu ente di rumah ya." ucap abah Fuad pada Alkhalifi abinya Rezi. "InsyaAllah... sebelum Dzuhur Ana sampe di rumah ente...jangan lupa gurame bakar Rosmah ya.." "Ana suruh Rosmah buatin pagi - pagi sama sambel mangganya." "Wahh..makanan surga dunia itu." ucap Abi memuji masakan Rosmah istri Abah Fuad yang masih merupakan kerabat jauhnya itu. Abah dan Ridwan berdiri untuk segera pamit pulang, supir yang menunggu sudah menyalakan mobil melihat majikannya sudah keluar dari pintu ruang tamu. "Assalamualaikum," ucap Abah dan Ridwan bersamaan. "Waalaikumsalam," jawab Abi dan Rezi melepas kepergian tamu mereka. "Abi istirahat dulu, besok kita bicara," ucap Abi lebih dulu, Abi seperti tahu Rezi akan melayangkan protes. "Iya Bi," jawab Rezi yang lemas duluan mendengarnya. Badan lelah, hati resah, pikiran gundah tidak karuan, sementara waktu sudah menunjukkkan pukul sebelas lewat seperempat. Rezi bergegas masuk kamar untuk mandi air hangat dan diusahakan cepat tidur karena besok jam tujuh dia sudah harus jalan lagi ke Rumah Sakit. Sudah tidak ada sisa tenaga untuk berdebat malam ini. Malam berlalu dengan cepat, tidur selama empat jam terasa kurang buat Rezi, tapi alarm subuh sudah memanggil dan membuatnya harus segera berdiri karena sebentar lagi abinya akan menunggu untuk ke mesjid komplek sesaat adzan memanggil. Baju koko dan sarung serta peci sudah terpakai, Rezi keluar kamar dan melihat abinya sedang ngobrol dengan uminya sambil menunggu dirinya. "Sudah? Yuk," ajak Abi. Rezi menyalami uminya dan setelah itu menyusul Abinya keluar rumah. setengah jam berlalu, jam lima lewat seperempat Rezi dan Abinya tiba kembali di rumah. Uminya sedang menyiapkan roti bakar dan kopi pahit untuk Abi, sementara di dapur belakang asisten rumah tangga sedang membuat sesuatu juga untuk sarapan. Rezi meminum segelas air hangat. "Bi...kenapa aku pake di jodohin segala, aku kan sudah punya calon." Akhirnya Rezi yang memulai pembicaraan dari pada menunggu terus tanpa kepastian. "Yang dipilihkan umi sudah yang terbaik nak," begitu jawab Abi dan membuat Rezi menoleh pada uminya yang baru saja duduk. Perasaan Rezi semalam uminya tidak ada duduk bersama abah Fuad, terus apa sebenarnya andil umi? "Umi Rosmah itu teman sekolah umi sekaligus kerabat keluarga Abi. Umi sama umi Rosmah memang sudah janjian akan menjodohkan anak kami. Ya yang ada cuma kamu dan Tria," jawab Umi seolah - olah Rezi itu pohon yang seenaknya saja di okulasi tanpa bisa protes. "Tapi aku maunya sama Dea Bi..." "Pacar kamu itu masih kecil, belum cukup dewasa, dia juga belum menutup auratnya... lagi pula Tria masih kerabat kita, turunan jelas bibit, bebet dan bobotnya, itu hal penting untuk keberlangsungan anak dan keturunan keluarga kita," jelas Abi. "Dea jelas kok keturunan baik - baik, soal hijab nanti aku bilang sama Dea pelan - pelan. Tahun depan Dea juga sudah lulus kuliah, empat tahun lagi kami bisa menikah waktu dia selesai S2nya." "Udah terlalu tua kamu Rez.. sama Tria kamu akan menikah tahun ini. Sudahi hubungan Dea itu, nanti sabtu kita ke rumah abah Fuad," tegas Uminya dan tidak berani dijawab oleh Rezi. Setelah pembicaraan yang tidak seimbang itu, Rezi masuk kamarnya. Dia tidak pernah bertentangan dengan orangtuanya sebelum ini, dan belum pernah juga dia membicarakan ini, kenapa setelah dia mengenalkan Dea tiba - tiba ada wacana perjodohan ini? Rasanya tidak fair buat hubungan mereka yang sudah berjalan sejauh ini. * Azki meletakkan tas ranselnya diatas kursi kerjanya. Sebelum pulang dia mau ke WC dulu buang air kecil. Jalanan kalau sore ini suka macet dan agak repot kalau ingin buang hajat. "Ki... belum pulang?" "Ini baru mau pulang, lo nggak pulang?" Azki balik bertanya pada Hilman. "Lagi nunggu di jemput supir... tadi pagi kesiangan bangun gue ... jadi naik ojek, hampir aja telat," jawab Hilman. "Sama gue aja yuk, gue anter pulang. Batalin aja ke supir lo." "Beneran lo nganterin?" "Iya... gue nggak ngajak dua kali ya," ancam Azki. "Elaah ... pake diancem, yaudah gue ikut," jawab Hilman cepat. Rumah Hilman di jalan Bangka, tidak terlalu jauh dari Kebayoran. Di parkiran mereka masih bertemu Ucok sama Indra yang akan pulang juga. "Bareng lo, tumben?" tanya Ucok. "Hilman nggak bawa mobil," jawab Azki sambil membuka pintu belakang mobilnya untuk memasukkan tas ransel miliknya. "Malam minggu maen yuk," ajak Ucok. "Kemana?" tanya Hilman. "Club mau nggak?" "Males ah, cafe aja.." tolak Azki. "Yaudah, ntar kita ke Kemang aja... tapi jangan Amigos, bosen gue," ucap Ucok. "Ya ntar kita bahas di grup aja, gue cabut dulu," sahut Azki dan langsung masuk ke dalam mobilnya diikuti Hilman. Azki dan Hilman meninggalkan halaman Rumah Sakit dan langsung menuju rumah Hilman. "Lo malam minggu bisa Man?" "Bisa." "Bukannya lo sekarang pacaran sama temennya Jeje ya?" "Iya, tapi dia lagi cuti, pergi sama kakaknya ke Bali hari Jumat besok." "Oo.." "Lo nggak punya pacar sekarang Ki?" "Nggak punya." "Tumben." "Lagi males, nggak tahu ntar kalo ada yang cocok lagi " "Lo mah paling cepat dapat pacar baru." "Manaaa... udah lama nih gue putus sama Noni, udah mau setahun kayaknya." "O ya... perasaan baru deh." "Cuma perasaan lo ajaaaa." Mereka melanjutkan perjalanan dengan obrolan hingga tiba di rumah Hilman. "Ki masih sore, mampir dulu deh..." "Ya boleh deh, malas juga gue pulang buru - buru... Mobile legend satu game boleh kayaknya nih," jawab Azki. "Kuy lah..." Mereka pun masuk ke rumah Hilman yang bisa di katakan cukup besar. "Lho sama Azki pulangnya?" tanya mamanya Hilman yang ternyata duduk di ruang keluarga yang mereka lewati. Mama Hilman tidak sendiri, ada adiknya Hilman dan satu orang dewasa lainnya. "Iya, tadi kebetulan Azki mau pulang jadi ngajak bareng." "Pak Anwar nggak jadi jemput?" "Nggak, kan aku udah telpon pak Anwar tadi." "Owh mama nggak tahu." "Yuk Ki... aku masuk dulu ma," pamit Hilman diikuti Azki. "Ki, nanti makan malam disini aja ya, jangan pulang dulu." "Ya tan..." jawab Azki. Selain Ucok, Boni dan Indra... Hilman adalah teman Azki sejak zaman ospek dulu, jadi sama orangtuanya juga sudah kenal karena mereka suka nongkrong di rumah - rumah secara bergantian. "Man, itu yang sama nyokap dan adek lo siapa?" "Wulan, adik sepupu gue," jawab Hilman.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN