"Ah nggak apa - apa, aku kepo aja liat Dea pacaran serius. Apa Rezi juga serius?"
"Serius kayaknya. Walau kemarin cuma kenalan biasa, tapi Rezi niat banget mau ngajak Dea nikah... Dea paling satu tahun lagi selesai kuliahnya, abis itu mau diajak nikah sama Rezi."
"Memangnya orangtua Rezi setuju bang?"
"Nggak ngomong apa - apa sih kemarin itu kata Rezi, nolak nggak ... nerima juga nggak, mungkin karena baru kenal ya."
"Tapi kan uncle juga belum ngerestuin banget."
"Iya sih, itu tantangan berat Rezi, tapi lama - lama juga pasti di terima, Rezi mau menunjukkan ke uncle keseriusan dia ke Dea."
Perasaan Azki cuma dia yang tahu saat ini. Bahkan abang yang menjadi lawan bicaranya saat ini tidak bisa merasakan apa-apa, Azki terlalu pintar menyimpan perasaannya. Dia hanya diam tidak menanggapi lagi, harapannya akan mendapatkan Dea sepertinya semakin berjarak... baru dua hari yang lalu nekat 'nembak' Dea, sekarang malah semakin jauh rasanya.
"Nanya apa bang?" tanya om No yang baru keluar dari ruang kerjanya.
"Mau ngobrol dikit soal ppds ku om."
"Yaudah sini," ajak Om No lalu masuk lagi dalam ruang kerjanya.
"Aku naik bang," pamit Azki dan mereka berpisah di ruang tengah itu.
Sesampai dikamar atas, Azki mengeluarkan hapenya dari saku celananya. Dicarinya nama Dea disana.
'Tuuut.....ttuuutttt....' hingga panggilan berakhir telpon Dea tidak diangkat dan membuat Azki kesal lalu melemparkan hapenya keatas tempat tidur.
"Hfftt..." dihelanya nafas pendek.
Azki segera mandi karena sudah waktunya sholat maghrib. Dia harus menunaikan sholat maghrib panggilan mamanya memintanya turun untuk makan malam.
Setengah jam kemudian mereka berempat sudah duduk di meja makan.
"Papa rencananya mau ke Eropa sama mama," papa Nino memberitahu anak- anaknya rencananya bersama mama Sarah.
"Kapan pa?"
"Bulan depan, papa ikut acara dari salah satu perusahaan obat, ada banyak dokter yang ikut."
"Bonus dokter ya pa?" tanya Azki.
"Hm.."
"Kita nggak diajak nih?" tanya Kana.
"Emang kuliah sudah libur?"
"Ya belum...malah bulan depan tuh ujian."
"Trus ngajaknya gimana?"
"Ya udah nanti pas liburan, yuk mas," ajak Kana.
"Bilang sama pembimbing koas mas, boleh gak di hold dulu koasnya?"
"Emang bisa pa?" tanya Kana ke papanya.
"Bisa kalo nenek moyang kita yang ngatur."
"Elaah..tinggal bilang nggak bisa aja repot!"
Nino tertawa mendengar gerutuan anaknya.
"Nggak semuanya bisa kita atur, masak koas mau di hold buat liburan, ada - ada aja."
"Emang mas Kana mau kemana liburannya?" tanya mama Sarah.
"Nggak tau... pokoknya jalan-jalan keluar negri lah."
"Yaudah nanti mama temenin," ucap mama Sarah.
"Kamu pergi sama Kana doang?"
"Ya iyalah... namanya juga nemenin."
"Nggak ah, masak aku ditinggal?"
"Papa gitu amat, papa aja sering pergi ke mana - mana nggak ngajak mama," protes Kana.
"Papa kan kalo pergi cuma satu dua hari doang, mamanya yang nggak mau ikut... emang kamu mau pergi liburan dua hari doang?"
"Ya nggak lah ... minimal dua minggu, namanya ke luar negri."
"Apalagi dua minggu, no way! Cari aja temen kamu buat keluar negri, jangan bawa mama."
Azki dan mama Sarah hanya tersenyum mendengar perdebatan Kana dengan papanya. Sudah biasa.
"Mas Azki kan nggak sampe setahun lagi selesai koas, bisa juga jalan - jalannya nanti pas liburan mas Kana semester selanjutnya aja, kita mungkin bisa ikut ya mas?"
"Hmm.."
"Jangan hmm aja mas," protes mama Sarah.
"Iya sayang ... nanti kita atur kalo mau liburan bareng," jawab papa Nino yang membuat Azki dan Kana memutar mata malas mendengarnya.
Sementara itu di Grand Indonesia...
"De, kamu mau dibeliin apa?" tanya Rezi ketika mereka mau nonton film jam tujuh malam.
"Air mineral aja mas."
"Popcorn?"
"Nggak, masih kenyang," jawab Dea. Mereka memang baru saja selesai makan jam enam tadi.
"Yaudah kamu tunggu disini aja dulu." Rezi meninggalkan Dea yang duduk sofa tanpa sandaran di depan cafe Bioskop.
Dea melihat lagi ke hapenya, tidak ada lagi misscall dari Azki, hanya sekali tapi tidak diangkat Dea tadi karena didepan Rezi. Selain alasan tidak enak ngobrol di depan Rezi, Dea juga tidak tahu harus bagaimana menanggapi Azki. Bisa - bisa dia salah menjawab.
"Yuk masuk," ajak Rezi sambil membawa air mineral buat Dea dan minuman ringan untuknya.
"Eh iya," jawab Dea sambil memasukkan hapenya ke dalam tas dan memasuki ruang theater bersama Rezi.
Pukul sembilan malam Rezi dan Dea sudah dalam perjalanan pulang.
Dea tadi sore diantar supir ke GI untuk janjian dengan Rezi, mereka tidak janjian dirumah karena Rezi kerja sampai pukul setengah lima, kalau mereka mau nonton jam setengah tujuh, tidak akan sempat kalau pakai acara jemput menjemput dulu. Tadi Dea hanya pamit dengan mami Ayu, kalo sama daddy alot ! Mana boleh Dea pergi dengan cara seperti itu, harus jelas di jemput dan diantar pulang, padahal cara itu tidak bisa dipakai sekarang, untung daddy lagi ada acara jadi cukup sibuk dan Dea akan pulang sebelum daddy sampai di rumah. Kata mami Ayu, daddy pulang jam sepuluh malam.
"Bagaimana tanggapan orangtua mas Rezi kemarin?" tanya Dea ketika mereka masih dalam perjalanan pulang.
"Biasa aja sih, nggak ada komentar."
"Owh. Apakah itu artinya aman?"
"Ya harusnya. Kenapa?"
"Pengen tau aja, apa sama kayak daddy."
"O nggak segitunya sih. Abi malah sempat nanya kamu anak siapa, tinggal dimana, kuliah atau kerja, atau dokter juga...pertanyaan standar kok."
"Beda ya sama daddy."
Rezi tertawa.
"Orangtua kan beda - beda."
"Daddy itu kayak diesel, lama panasnya. Makanya sama mas Rezi juga lama akrabnya. Tapi daddy itu baik kok sebenarnya. Mas Rezi sabar aja."
"Sabar kok De. Hmm... kalo aku berencana menikah, kamu mau nggak De?"
"Berencana - rencana boleh aja, tapi aku belum berpikir dalam waktu dekat."
"Kamu kan udah mau selesai juga kuliahnya."
"Masih setahun, tapi aku mau lanjut S2 langsung."
"Nggak mau nikah dulu De?"
Dea menggeleng.
"Nggak, aku lulus S1 target tahun depan, umur ku baru dua puluh satu on the way dua puluh dua. Rencana aku ambil S2 di dalam negri aja, paling satu setengah tahun kelar...itu aja belum dua puluh lima tahun, aku kerja dulu setahun.. setelah itu pas buat menikah."
"Masih lama dong De?"
"Kok lama sih, umur ku dua uluh lima pas dong."
"Kalo dari berarti masih lima tahun lagi dong?"
"Ya kurang lebih."
"Nggak bisa nego.lagi De?"
"Nggak, kalo mas Rezi mau buru - buru menikah, bukan sama aku berarti."
"Nggak lah, aku maunya nikah sama kamu De."
"Asal mas mau nunggu aja."
"Aku nunggu kok," jawab Rezi mantab. Dia pasrah, biarlah menunggu...sudah resiko menjalin hubungan dengan pacar yang lebih muda.
Setelah mengantarkan Dea pulang, Rezi langsung pulang menuju rumahnya di area Mampang.
Sudah malam, jalanan masih ramai. Rezi yang mengemudikan mobil sambil mengingat pembicaraan dengan Dea tadi, Apa mungkin orang tuanya tidak merongrong memintanya untuk cepat menikah? Apalagi satu persatu teman - temannya sudah mulai menikah dan punya anak.
Sesampai dirumahnya waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam, ternyata masih ada tamu, itu terlihat dari pagar masih terbuka, ada mobil Mercy yang terparkir didepannya dan lampu ruang tamu yang masih menyala. Mobil Rezi masih bisa masuk ke halaman rumahnya dan memarkirkan kendaraannya itu di samping mobil Abinya.
"Assalamualaikum," sapa Rezi.
"Waalaikumsalam," jawab Abinya.
"Rez... sini, ini ada abah Fuad datang dari Tasik. Ini sahabat Abi dulu di pesantren, dan itu anak abah paling tua namanya Ridwan."
Rezi menyalami tamu abinya itu.
"Rezi bah," Rezi memperkenalkan diri, lalu menyalami Ridwan juga.
"Ganteng anakmu Lif," ucap abah Fuad yang datang di temani oleh Ridwan anaknya.
"Abahnya juga ganteng kan?"
Mereka berdua tertawa sementara Rezi hanya senyum - senyum saja. Dia cuma lagi berpikir,'Bisa nggak kalo pamit masuk kamar duluan ya? Capek banget rasanya.'
"Ini Rez, abah Fuad dan Abi barusan aja bicara soal kamu dan anaknya abah Fuad," jelas Abinya, Rezi langsung melirik anak abah Fuad yang bernama Ridwan.
Abinya yang menyadari tatapan Rezi, langsung menyambung kalimatnya.
"Bukan Ridwan tapi Fitria."