Bangkok, Love and Rain

1900 Kata
“Ayo pergi dari sini sebelum yang lain lihat kamu menangis.” Rain merengkuh bahu Tia. “Maafin aku, ya, Bang. Belum banyak yang abang tahu tentang aku. Abang jangan salah sangka melihat kejadian tadi,” pinta Tia. “Aku janji akan cerita semuanya supaya Abang faham.” “Tak apa, jangan paksakan jika kamu belum siap,” cegah Rain, lelaki itu tersenyum kemudian membimbing istrinya menuju kamar pengantin mereka. Sesungguhnya, Rain teramat sangat penasaran. Dia hanya belum siap kecewa. Perkenalan yang singkat membuat dirinya tidak mengetahui perihal Tia. Yang dia tahu, Tia adalah gadis baik-baik. Itu saja. Malam selalu menyimpan cerita. Mengumpulkan kisah-kisah yang berserak sejak matahari terbit hingga kembali ke peraduan. Seperti malam ini, untuk pertama kalinya Rain berbaring dengan perempuan asing di sampingnya. Yang tidak lain adalah istrinya sendiri. Sisa-sisa kelopak mawar yang ditabur di atas tempat tidur sudah dibersihkan Tia. Dengan wajah yang selalu menunduk karena gentar, gugup dan malu. Perempuan yang baru saja melepas masa lajang itu memindahkan ‘sampah-sampah’ pada tempatnya. Jika ditanya bagaimana perasaan Rain saat ini, jawabannya adalah campur aduk. Antara bahagia, kesal, penasaran dan tidak sabar ingin segera merengkuh dan memetik bunga yang beraroma sangat manis. Pendengarannya mendadak lebih sensitif, di sela desahan napas Tia yang terdengar teratur, lelaki itu menangkap gerakan yang menimbulkan suara gesekan antara kain sprei dan piyama. Jelas, perempuan berusia dua puluh empat tahun itu gelisah. “Tiara,” sapa Rain. “Apa sebab yang awak mau menerima lamaran Abang?” Rain bertanya menggunakan bahasa Melayu. “Apa, Bang, aku gak ngerti,” jawab Tia, matanya membulat. Gugupnya menguap seperti embun pagi yang terkena terik matahari. Rasanya dia seperti mendengar percakapan dalam serial kartun yang dulu sering dia tonton bersama Kania. Rain gemas melihat Tia dengan wajahnya yang jenaka. Hingga tawa keduanya berderai, berbarengan dengan hangat yang menjalar lantaran tangan kokoh Rain menyentuh jemari Tia. Seperti arus listrik yang dihubungkan, kation bergerak menuju katode dan anion bergerak menuju anode. Arus listrik mengalir dalam sistem tubuh keduanya. Entah bagaimana mulanya jarak di antara sepasang pengantin baru itu kini tidak berjarak. Sepasang mata berselimut gelora nampak berkabut, sementara sepasang lainnya dibalut kalut. Ditingkahi dengan detak jantung yang bersahutan dan berbahana serupa derap langkah Andalusia Horse dari semenanjung Iberia. Rain menghidu aroma manis dari bibir yang merekah dan ranum, mencoba mencicipi dengan penuh kesabaran bersilir-silir laksana angin, yang menggerakan dedaunan di puncak bukit yang sejuk. Lelaki dewasa itu melantan gairah dengan hati-hati, bola matanya bergerak mencari dan menghiba anggukan, pertanda kesiapan dan persetujuan. Tia menatap nanar wajah di hadapannya, menahan diri sudah tidak ada gunanya lagi. Pancaran matanya berpendar laksana gemintang pada malam tanpa gegana yang kelabu. Seolah mengerti apa yang suaminya inginkan, Tia anggukkan kepalanya. Meleburkan diri tanpa sekat, bersama mendayung sampan berahi menuju puncak yang terletak di tengah lautan peluh. *** “Bang,” bisik Tia. “Bangun, yuk, air panasnya sudah siap.” Rain menggeliat, lelaki itu semakin merapatkan tubuhnya dibalik selimut tebal. Ingin rasanya meraih remote dan menaikkan suhu AC. Lalu tiba-tiba dia teringat, tidak ada AC di kamar ini, udara kota ini memang sangat dingin. “Bang.” Tia mengguncang lengan suaminya perlahan-lahan. “Keburu Dio bangun, aku malas nanti dia ledekin kita lagi, terus airnya keburu dingin, Abang, ih.” Dari balik selimut, rain mengintip Tia. Rambutnya setengah basah, wajahnya sangat lucu dan menggemaskan. Tiba-tiba lelaki itu mengingat semuanya, saat dia mereguk manis sembayan laksana madukara yang dimabuk asmara. “Cepat,” ketus Tia semakin membuat Rain goyah, sekejap saja gairahnya yang membisu terbius dinginnya malam kembali terjaga. Berulang laksana film lama yang diputar kembali. Tanpa peringatan Rain meraih tangan Tia, hingga membuat perempuan bertubuh mungil itu terpelanting dan terempas di atas permukaan tempat tidur yang empuk. Rona merah menjalari pipi Tia, rasa hangat merayap melalui bagian-bagian tubuhnya. Kepakkan kupu-kupu kembali berpesta dalam perut Tia. Sayangnya kesadaran Tia sudah sepenuhnya pulih, tubuhnya mengemis mengharapkan datangnya rasa asing yang memabukkan seperti tadi malam. Namun akal sehatnya berkata lain, jika mereka terus-terusan bergulat di atas tempat tidur, air panas yang baru saja dia masak akan menjadi dingin. Parahnya, Dio akan segera bangun dan siap melontarkan godaan demi godaan. “Jangan lagi, Bang. Sebaiknya mandi, airnya nanti dingin. Rumah ini tidak memiliki water heather,” terang Tia. Rain bangkit bersungut-sungut memilih segera mandi daripada harus mandi dengan air dingin yang memagutnya sampai ke tulang. *** “Tia,” panggil Dio. Tia mengatur napas, dia sudah siap jika sang adik harus menggodanya. Sayangnya tidak terjadi, gurat-gurat wajah Dio sangat serius. Perempuan yang mengenakan bergo berwarna biru dongker itu menangkap sesuatu yang tidak beres. Tiba-tiba gelisah menyerang, Dio yang menyadari hal itu segera memeluk Tia. “Ada apa, Di?” tanya Tia, Dio semakin mengeratkan pelukan. Entah kapan dia akan leluasa memeluk sang kakak seperti ini. Adik kesayangan Tia itu menghapus air matanya sebelum Tia melihat bahwa dia menangis. “Di, jawab aku,” desak Tia. Terpaksa Dio mengurai pelukan lalu menelusuri wajah Tia yang semakin cantik. Dio merapikan jilbab Tia yang miring, lalu kembali memeluknya sekilas. “Kamu jangan marah ya, Ti. Aku sekarang sudah tidak harus menjagamu lagi, sudah ada abang,” ucap Dio. “Loh, Dio kok ngomongnya gitu.” “Dengarkan aku dulu. Aku memang sempat mau menerima tawaran abi untuk melanjutkan study di Thailand. Aku senang, aku bahagia, bahkan aku rela ninggalin kamu di Indonesia seorang diri. Ingat?” Tia mengangguk, berusaha memahami apa yang dimaksud oleh sang adik. “Rupanya Allah punya rencana lain, anak umi yang akan melanjutkan hidup dekat dengan umi itu bukan aku tapi kamu. Keputusanku sudah bulat, aku gak akan melanjutkan study di sana. Bang Reyhan ngajak aku kerja di sini, tepatnya di Bandung.” Udara di sekitar mereka tiba-tiba menjadi sangat sesak. Genangan air mata yang Tia bendung luruh begitu saja. Baru saja bertemu setelah beberapa saat berpisah kini mereka harus berpisah lagi. “Kamu gak mau kumpul bareng aku, bareng umi di Thailand?” “Ti, kamu jangan marah, ya, kemarin aku ngobrol sama Dirga. Ayah terlalu keras bekerja, ayah sering sakit, dan hanya Dirga, bocah SMP yang jaga Ayah. Memangnya Tia tega melihat keadaan ayah seperti itu? Sejahatnya dia, setega-teganya dia, apa kita lebih tega membiarkan masa tua nya penuh dengan penderitaan?” “Jadi kamu gak kembali ke Thailand karena ayah?” “Salah satunya itu, Alasan utamanya, pekerjaan yang bang Rey tawarkan menjanjikan. Sesekali aku bisa jenguk ayah, mengingat jarak Garut Bandung masih bisa ditempuh menggunakan sepeda motor. Gak seperti Thailand Indonesia yang jelas-jelas makan biaya banyak jika hendak pulang. Aku percaya Abi bisa jaga umi. Aku juga percaya Abang bisa jaga Tia dengan baik, iya kan Bang?” Tia berbalik, tidak menyangka suaminya mendengarkan pembicaraannya dengan Dio. “Aku akan menjaga Tiara dengan baik,” janji Rain. Lalu mengecup kening Tia membuat Dio yang kalem kembali melontarkan berbagai godaan yang membuat Tia tersipu malu. *** Dinding bercat abu-abu adalah hal pertama yang Tia lihat kala membuka mata pada suatu siang. Kesadarannya belum seratus persen terkumpul. Dia mengingat-ngingat berada di mana saat ini. Aroma asing berbaur dengan aroma gurih dadar telur. Dia menggeliat nyaman di atas tempat tidur besar berselimut sehelai kain lembut yang membuat dirinya terbuai. Ingin rasanya melanjutkan tidur, tetapi perutnya lagi-lagi protes. Dia lapar. Ah, ini kamar Abang Rain. Tia membuka sebuah pintu yang dia duga adalah kamar mandi. Di kampungnya, hanya rumah mewah saja yang memiliki kamar mandi di setiap kamar. Pantulan dirinya terlihat jelas di cermin ketika pintu terbuka. Tia membuka keran air, membasuh mukanya. Berharap rasa tidak nyaman karena melakukan penerbangan dari Indonesia kembali ke Thailand juga perjalanan darat dari bandara menuju tempat ini hilang. Lupa membaca facial foam memaksa Tia untuk melihat-lihat toiletries milik Rain. Hanya beberapa sabun mandi, sikat gigi dan facial foam khusus pria. Tentu saja, mana mungkin lelaki yang sudah menjadi suaminya itu menyimpan sabun khusus wanita. Ketika urusannya di kamar mandi selesai, ia melihat Rain sedang melipat selimut bekas pakai Tia. Sontak perempuan itu berjalan cepat dan merebut selimutnya, tidak enak. Masa harus Rain yang merapikan. "Biar aku aja, Bang." Rain tersenyum, dia mendekatkan wajah ke arah wajah Tia. Wanita itu tersipu, lalu buru-buru melipat dan merapikan tempat tidur. "Abang bikin omelet, kita makan dulu terus jalan-jalan. Kamu lelah gak?" "Enggak," sahut Tia antusias. Tidur selama beberapa jam membuat Tia semakin segar. "kebetulan aku perlu beberapa skincare. Tas kuning yang ketinggalan di Indonesia isinya skincare sama perlengkapan salat." "Apa perlu aku minta Dio untuk kirim tas itu ke sini?" "Ribet kayaknya, isinya cuma sunscreen Gel, facial foam, lotion sama mukena. Aku beli lagi aja yang baru di sini." "Okhe, khrap. Thiirak, kinpa?" Rain mengajak sang istri makan. Sejak beberapa hari yang lalu setelah sah menjadi suami istri, Rain mulai mengenalkan Tia beberapa percakapan dasar menggunakan bahasa Thailand. "Chai, kha," jawab Tia ragu-ragu. Rain tersenyum dan menggamit lengan sang istri. "Kalau mau, Tiara bisa ikut kelas bahasa Thailand." "Aku belajar sama abang aja gak apa-apa." "Naarak maak." Rain mengusap rambut lembut Tia, lalu sepasang pengantin baru itu menikmati siang hari dengan hidangan sederhana yang Tia sebut dadar telur. Tia harus meralat ucapannya waktu pertama kali menginjakkan kaki di Bangkok. Saat itu dia hanya belum tahu betapa kerennya kota yang merupakan ibu kota dengan nama terpanjang itu. Yang dia tahu dari pelajaran Geografi masa sekolah dulu, ibu kota Thailand ya, Bangkok. Rain menjelaskan, kota Bangkok adalah salah satu surga belanja favorit wisatawan Indonesia. Tidak kaget jika Tia mendapati beberapa pedagang yang berasal dari Indonesia bahkan penduduk asli Thailand yang mengerti bahasa Indonesia. Rain tidak membawa kendaraan pribadi, dia membawa Tia menuju stasiun BTS terdekat menuju stasiun Saphan Taksin. Ini adalah pengalam Tia yang kedua kalinya. Pertama kali naik BTS wanita berparas jelita itu ditemani sang adik. "Kita mau kemana, Bang?" tanya Tia sesaat setelah kereta yang mereka tumpangi tiba di tempat tujuan. "Asiatique, kita kan gak sempat pacaran. This is the right time to spend a whole time as a couple." Keduanya menuruni tangga menuju dermaga, dengan patuh Rain membimbing Tia menuju sebuah perahu Shuttle yang akan menyebarangi sungai Chao Praya menuju Asiatique. Angin yang kencang membuat air sungai yang deras terlihat beriak-riak seperti ombak kecil. Perahu melaju membelah sungai Chao Praya, hati Tia ketar ketir, khawatir akan tercebur. Rain yang melihat keresahan sang istri segera menghiburnya. Memberikan kekuatan dengan menggenggam jemari Tia. Dari atas perahu Tia dapat melihat sebuah bianglala Asiatique Sky yang tinggi menjulang. Antusias dia melihat ke arah Rain hingga netra keduanya bersirobok. Rain mengangguk seakan mengerti apa yang Tia katakan melalui tatapan saja. Asiatique dulunya adalah gudang pelabuhan sungai yang direnovasi menjadi tempat perbelanjaan. Arsitektur gudang tetap dipertahankan dan menjadi keunikan Asiatique. Kawasan belanja ini dibagi menjadi 4 distrik yaitu Waterfront dengan neon lampu Asiatique yang menjadi ikon. Ada juga Town Square, Charoenkrung dan Factory. Rain mengikuti kemana Tia melangkah. Sesekali berhenti untuk mengambil foto selfie. Hingga akhirnya Tia menggerutu karena lapar. "Kamu emang selalu lapar, ya?" goda Rain. Tia bersungut-sungut dia pergi menjauh dari Rain. Tingkahnya menggemaskan, Rain hanya tertawa dan bersyukur mendapatkan istri cantik seperti Tia. Wanita itu mengingat-ngingat kios penjual yang menjual daging panggang mirip sosis. Matanya berbinar saat melihat tempat yang dia tuju. Namun langkahnya terhenti. Rain mencegahnya. "Itu tidak halal, Sayang. Ayo, dekat sini ada resto halal. Pad Thainya enak, kamu pasti suka." Hampir saja. Tia benar-benar harus mengucapkan terima kasih pada Rain. Sepasang sejoli itu berjalan bersisian. Di depannya ada pasangan lain yang berjalan dengan mesra. Sesekali yang perempuan mengecup pipi lelakinya. Tia tersipu malu. Apalagi ketika Rain berbisik menggoda, "Kamu tidak mau seperti mereka?" Pad Thai makanan yang sangat merakyat di Thailand. Makanan ini banyak dijumpai baik di pinggir jalan bahkan hingga resto mewah. Untuk pertama kalinya Tia mencicipi hidangan sejenis kwetiau goreng khas Thailand yg rasanya asam, manis, gurih. Toge yang panjang-panjang dan gemuk adalah salah satu hal yang membuat Tia langsung suka dengan Pad Thai. Di tambah taburan kacang tanah yang gurih. "Kamu tidak belanja?" tanya Rain. "Belanja apa? Belum ada barang yang aku butuhkan selain beberapa skincare," jawabnya, tanpa mengalihkan tatapan dari sepiring pad thai yang lezat. "Baju, tas, sepatu, biasanya perempuan suka hal-hal yang seperti itu." "Belum butuh, Bang. Aku hanya ingin menjelajah Thailand lebih dalam lagi. Boleh?" "Dengan senang hati, lagi pula kita masih honeymoon kan? Besok kita ke Khao Yai. Berangkat pagi-pagi," papar Rain. Tia kembali berbinar dia bahagia. "Ada live teater, mau lihat?" ajak Rain. Tia menggeleng. Dia bukan tipe orang yang menyukai sebuah pertunjukan. "Naik Asiatique sky?" Dia menggeleng lagi. Rain tidak bisa memaksa. Dia akhirnya menuruti kemana Tia melangkah. Di kawasan Waterfront, Tia lebih betah. Dia berfoto ria mengabadikan pemandangan temaram Bangkok di tepi dermaga bersama hembusan angin malam nan sejuk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN