Tia dan Rain
Namanya Tia, Di KTP tertulis Tiara Dea. Walau sebenarnya dia ingin sekali memindahkan letak spasi pada namanya. Menjadi Tia Radea. Gadis yang selalu riang dan ceriwis itu bahkan pernah protes pada Uminya.
"Umi cari nama itu berminggu-minggu lho, sejak tahu kalau jenis kelamin kamu perempuan," seloroh Salamah ketika putri sulungnya berkali-kali minta ganti nama.
"Tiara itu artinya mahkota, perhiasan cantik yang selalu digunakan oleh putri raja."
"Tau dari mana kalau Umi mengandung anak perempuan? Memangnya dua puluh empat tahun lalu sudah ada USG?" tanya Tia penasaran, gadis itu tidak pernah suka ketika seseorang memanggilnya dengan nama Tiara. Terlalu terkesan lemah lembut. Sedangkan Tia, dia adalah gadis kuat, setidaknya setelah ayahnya pergi meninggalkan Tia, Umi, dan Dio bertiga di tengah sesaknya himpitan hidup.
"Ada, lah, tapi Umi mana ada duit buat USG."
"Terus bisa tahu kalau Umi mengandung anak perempuan dari mana?" Tia terus mencecar Salamah.
"Dari rujak sama dewegan yang dibelah saat syukuran tujuh bulanan." Salamah tersenyum bangga, Tia tergelak.
Tiara, nama itu seharusnya disematkan pada gadis manis, dengan rok atau gamis kembang-kembang dan jilbab berwarna merah muda, atau warna pastel.
Dia selalu berkilah bahwa Tia adalah nama yang keren, berani dan tangguh. Seperti saat ini Tia berani meninggalkan tanah kelahirannya seorang diri. Menyusul sang ibu juga adiknya yang sudah lebih dulu meninggalkan Indonesia menuju Bangkok, ibu kota negara gajah putih, Thailand.
Tiga bulan yang lalu, Salamah minta restu dari Tia, setelah sekian lama menjadi ibu tunggal baru kali ini dia berkeinginan untuk menerima pinangan seorang laki-laki.
Padahal Tia dan Dio selalu berusaha menjodohkan Salamah dengan banyak Pria. Salah satunya mantan lurah yang sekarang banting setir menjadi juragan lele sangkuriang.
Salamah menolak, Tia dan Dio yakin dia belum sepenuhnya move on dari mantan suaminya yang tak lain adalah ayah mereka.
Namun, malam itu, Tia senang bukan kepalang saat Salamah berkata seorang dosen telah melamarnya. Jika Tia dan Dio setuju akad nikah akan dilaksanakan secepatnya.
"Coba Umi nikahnya dari dulu, mungkin Tia udah punya adek lucu-lucu, Mi." Kalimat itu mewakili sebuah persetujuan dari Tia dan Dio.
Maka di sinilah dia sekarang di Bandar Udara Internasional Suvarnabhumi, Thailand. Bandara baru yang menggantikan Bandara internasional Don Muang. Letaknya di Racha Thewa, tepat di distrik Bang Phli, Provinsi Samut Prakan sekitar 25 kilometer sebelah timur Bangkok.
Perjalanan yang memakan waktu lebih dari tiga jam dari Jakarta membuat penampilannya berantakan, jilbabnya lusuh, tuniknya lecek, wajahnya mengkilat karena berminyak. Dalam sebuah Shuttle bus menuju ke ruang kedatangan di lantai dasar Bandara, Tia melihat sebuah pemandangan manis. Sepasang sejoli yang tengah bercengkrama. Sepertinya mereka sepasang kekasih.
Tia terpaku, dia menyimak keduanya yang sedang berbincang dengan bahasa Thailand. Tidak ada satu pun yang dia mengerti, hal itu membuat dia meringis, bagaimana nanti komunikasinya di negara ini. Kenapa pula ayah tirinya memilih Thailand. Sekalian gitu, Paris, New Zeland atau Belanda juga boleh. Ini sih luar negeri tapi nanggung, kurang keren.
Gadis ini hanya belum tahu seluk beluk negara itu dan sedikit ilang feeling gara-gara mendengar cerita temannya kalau di Thailand banyak lady boy.
Namun, saat melihat laki-laki dengan pahatan wajah bagai dewa yunani sedang berbincang dengan perempuan cantik dia berubah pikiran. Tidak apa-apa tinggal di Thailand juga, toh cowoknya mirip-mirip Oppa Korea. Sama-sama sipit dan berkulit putih. Barangkali nanti Allah akan menghadiahkan pria seperti itu padanya. Siapa yang tahu?
Tia menggaruk pelipisnya, tidak gatal hanya saja dia membayangkan betapa sulitnya beradaptasi di negara tersebut.
Setelah selesai dengan urusan imigrasi Tia menuju level satu area tersebut untuk menunggu mobil yang akan menjemputnya.
Dari sekian banyak orang di Bandara ini, Tia kembali bertemu dengan pria tadi. Kali ini dia sendiri tidak ada perempuan yang kecantikannya hampir sama dengan boneka barbie. Gadis itu menatap punggung pria yang mengenakan kaos longgar warna putih dengan celana biru pudar ngepas di kaki serta sepatu yang ujungnya agak runcing. Jika di gunakan menendang bola mungkin sepatunya akan menancap pada bola. Tia nyaris terkikik membayangkan hal itu. Bahunya, hmm lumayan bidang, sepertinya nyaman menyandarkan kepala di sana. Gadis itu mesem-mesem hingga dering telepon menyadarkan dia dari khayalannya yang absurd.
"Lama amat, Yo!" hardik Tia saat adik laki-laki yang terpaut usia satu tahun dengannya menelpon.
"Ini, bentar lagi nyampe situ. Kamu siap-siap."
"Jangan lama-lama, takut pingsan, ada cowok ganteng di depanku." Tia terbahak-bahak. Kemudian memasukkan ponsel pintarnya kedalam tas. Dia tidak tahu, pria di depannya mengangkat sudut bibir. Pria itu tersenyum, dia mengerti apa yang Tia bicarakan.
"Tia!" Dio melambaikan tangan.
"Abi mana?" tanya Tia saat melihat Dio hanya di antar sopir.
"Ada tamu!" Dio mengangkat koper Tia kemudian melenggang pergi menuju mobil yang akan mereka tumpangi.
Tia melirik pria yang dia sebut cowok ganteng itu sekilas, tatapannya bersirobok kemudian pria itu tersenyum.
"Om ganteng, Tia duluan ya, mariiii. Dadah Om ganteng, hati-hati di jalan."
Gadis itu berjalan santai, kemudian dia melambai sok akrab pada lekaki yang dia panggil Om ganteng itu.
"Cowok itu yang kamu bilang ganteng?" selidik Tio ketika kakak kandungnya mengempaskan badan di kursi penumpang. Tia mengangguk gadis itu tidak malu-malu merentangkan lengannya kemudian menguap dengan lebar.
"Iya, iris matanya hitam pekat, tatapannya tajam tapi teduh, terus itu bahunya ... Hmmm nyaman kali ya nyender sama doi."
"Istighfar, bukan muhrim kamu."
"Astagfirullah. Doain dong biar dapat jodoh yang kayak gitu," pinta Tia, Dio tidak menggubris kakaknya dia tenggelam dalam sebuah permainan yang terpasang dalam gawainya.
Tepat hari ini, ketika kakinya menjejak kota Bangkok Tia sebenarnya sedang membuang banyak hal pahit yang terjadi di Indonesia. Satu hal yang ingin sekali dia lupakan dalam hidupnya. Irman, lelaki yang pernah singgah di hatinya. Namun, tega menghianatinya dengan ngegombalin perempuan lain.
Tidak ada yang tahu jika menangis ketika dia mengingat Irman. Mengingat cintanya yang begitu besar pada sang mantan. Namun, tidak lama, karena bukan Tia namanya jika dia terus menangisi Irman si penghianat.
Dia adalah gadis yang selalu ingin terlihat kuat padahal di dalamnya rapuh. Tidak jarang dia menangis malam-malam ketika melihat Umi tertidur. Perempuan itu berjuang seorang diri membesarkan Tia dan Dio. Dia tidak pernah tahu bagaimana rasanya di sayang oleh ayah. Dia tidak pernah merasakan di antar dan di jemput sekolah oleh ayah. Ayahnya sudah direnggut oleh kejamnya seorang pelakor.
Mobil berhenti di depan lobi apartement. Tia mengikuti adiknya yang lebih dulu memasuki gedung, Dio menyeret koper berwarna pink milik sang kakak.
"Aku kira kita tinggal di sebuah rumah, Yo," seloroh Tia bersamaan dengan terbukanya pintu lift.
"Umi sama Abi tinggal di rumah yang disediakan oleh pihak Universitas. Kita simpan dulu barang-barang kamu terus ke rumah Abi."
"Ini apartement siapa? Abi?"
"Ya siapa lagi?"
"Tetangga kita, ada cogan gak?" Tia bertanya acuh.
"Hah?"
"Cogan, alias cowok ganteng."
"Ya Salam, Tia. Jelalatan banget sih."
"Namanya juga usaha." Gadis itu mematut diri di pantulan dinding lift.
"Ayo, ingat-ingat Lantai 6 kamar 619." Dio hapal betul sifat kakaknya yang ceroboh, pelupa, dan selalu nyasar.
Selamat datang Thailand, selamat datang kehidupan baru.
***
Namanya Rain Cheewagaroon, biasa dipanggil Rain. Dia baru saja kembali dari perjalanan bisnis di Jakarta. Dia mengedarkan pandangan. Ramai, seperti biasanya. Tidak heran jika Bandara Suvarnabhumi menjadi peringkat kedua bandara terbaik tingkat Asia Tenggara.
Pria bermata kelam itu, baru saja kecewa, pasalnya perempuan yang menarik perhatiannya sejak pertama kali naik pesawat di Indonesia ternyata sudah berkeluarga. Tingginya hampir sama dengan Rain, rambut ikalnya bergoyang ke kiri dan ke kanan ketika dia berjalan. Bibirnya ranum, sempurna dengan gincu berwarna merah darah.
Senyumnya bagai semilir angin ditengah keringnya gurun Sahara. Sebagai seorang pria, naluri menuntunnya untuk berkenalan lebih dekat dengan perempuan itu. Obrolan keduanya mengalir begitu saja. Rain terhanyut dengan pesona wanita itu, ah sungguh dia ingin membawanya pulang dan mengumumkan pada seluruh dunia bahwa dia akan menjadikan perempuan ini miliknya.
"Sorry, boleh minta nomor teleponmu?" Rain tidak tahan lagi. Pertanyaan itu lolos begitu saja.
"Maaf, untuk yang satu itu."
"Why?" Rain penasaran.
"Suamiku bisa ngamuk kalau ada nomor lelaki lain di ponselku." Rain mematung, sesaat kemudian dia menggaruk tengkuknya. Salah tingkah, tentu saja.
"Pasti dia pria beruntung punya istri secantik dirimu." Gombal.
"Aku yang beruntung memiliki dia."
Mereka berpisah di tempat pengambilan bagasi. Rain tersenyum miris. Dia hanya bisa menatap punggung wanita itu yang berjalan menjauh. Tanpa bisa mencegahnya untuk tidak pergi. Bagaimana bisa, dia milik orang lain, meskipun Rain tertarik melihat kecantikannya.
Kenapa susah susah sekali menggaet seorang perempuan. Dia sudah beberapa kali mencoba, tetapi gagal. Padahal dulu cukup kedipkan saja mata, dan mereka akan datang dengan sendirinya. Sejak dia bertekad meninggalkan masa lalunya dan memulai hidup baru sebagai seorang muslim yang taat beribadah.
"Ini ujian, sabar saja, itu tandanya Allah menyayangi kamu," nasihat guru ngajinya saat dia curhat tentang sulitnya hidup.
Menjadi orang baik itu sulit, tetapi Rain terus mencoba. Dia sudah meninggalkan berbagai kebiasaan buruk salah satunya adalah meninggalkan minuman keras dan ingar bingar kehidupan malam.
Menghabiskan waktu di mesjid belajar membaca Alquran bertahap adalah hal lain yang dia lakukan selepas kerja. Apa yang dia dapat? Banyak, salah satunya adalah ketenangan lahir dan batinnya.
Satu lagi tugas yang harus dia lakukan, yakni mencari pendamping untuk melengkapi hidupnya. Namun, hal itu ternyata tidak mudah. Bahkan semesta seakan tidak mendukung karena wanita-wanita yang dia dekati tidak berhasil dia dapatkan. Beberapa di antaranya ternyata sudah dimiliki oleh pria lain. Seperti wanita barusan yang ternyata punya suami.
Apakah dia harus turuti permintaan ibunya untuk dikenalkan dengan putri dari rekan sang ayah? Pemahamannya belum sampai pada tahap itu, dia sangat tidak siap jika harus menikah dengan wanita yang tidak dia kenal.
Pria yang berusia mendekati 30 tahun itu memijat pelipisnya. Perjalanan dari Indonesia membuatnya mengalami sedikit jet lag ditambah dengan berbagai macam pikiran yang berkecamuk dalam kepalanya.
Ketika menunggu mobil perusahaan yang akan menjemputnya Rain tidak sengaja mendengar percakapan seorang perempuan yang sedang menelpon.
"Jangan lama-lama, takut pingsan, ada cowok ganteng di depanku." Dia melirik sekilas kemudian tersenyum. Rain mengerti, tentu saja. Dia berasal dari Narathiwat provinsi selatan Thailand. Dengan kebanyakan penduduknya adalah Muslim dengan entnis Melayu.
Ditambah dia sering sekali bolak balik Thailand-Jakarta untuk kepentingan pekerjaan.
Gadis yang sedang berbicara ditelepon itu tertawa renyah. Ringan tanpa beban. Tidak ada yang ditutupi, dia begitu natural.
Namun, dia begitu berantakan.
Tidak lama kemudian sebuah mobil berhenti, lelaki muda turun dengan semringah, senyumnya membuat Rain terusik. Seperti senyum kerinduan kepada kedua orang tuanya. Rain menduga pria itu akan menjemput sepasang manula yang berdiri hampir sejajar dengan Rain. Akan tetapi ....
"Tia!" Dia memanggil seseorang. Tepatnya perempuan cerewet yang penampilannya acak-acakan dan berkata kalau Rain adalah pria ganteng. Lucu memang, semua hal di dunia ini nampak begitu lucu. Bahkan perempuan seperti dia bisa punya pasangan setampan itu, dia terlihat begitu sayang kepada wanitanya.
Lagi-lagi Rain menarik napas berat. Untuk urusan asmara sepertinya semesta enggan mendukungnya. Semoga ini bukan hukuman dari dosa-dosa masa lalunya.
Ketika sopir yang menjemputnya tiba, dia memutuskan satu hal yang sebelumnya enggan dia ikuti. Menikah dengan perempuan pilihan sang Ibu. Fix, kali ini dia harus menemui kedua orangtuanya. Segera!