Kejadian Luar Biasa

1591 Kata
 Kata ‘Sah’ menggema setelah Rain mengucapkan ijab di hadapan penghulu, Ayah Tia dan saksi dari kedua belah pihak. Rain terkesima dan mengagumi Tia yang dibalut kebaya putih dan kain batik tradisional. Pria itu gemetar bukan main, kala kali pertama dia mendaratkan bibirnya di atas kening sang istri. Dia mengecupnya lembut, hingga Tia salah tingkah dibuatnya.   Rain berbisik, “sudah jadi istriku, nanti kalau kamu ketemu orang ganteng di bandara jangan dadah-dadah, ya.”   Sontak pengantin wanitanya itu mendaratkan cubitan di pinggang, pipinya memerah, bibirnya mengulum senyum. Melihat reaksi Tia, Rain yakin perempuan yang dia nikahi adalah perempuan tepat yang dikirim olah Allah.   “Abang, ih,” rajuk Tia. Dia cemberut, tetapi tidak dapat dipungkiri ada rasa bahagia dan malu yang bercampur jadi satu.   “Aku sudah berjanji di hadapan Allah, disaksikan para malaikat, ayahmu, penghulu, orang tuaku dan semua orang itu.” Rain menunjuk orang-orang yang sedang antre mengambil hidangan di meja prasmanan. “Maka kamu harus percaya, aku akan melindungimu, membuatmu bahagia menjadikanmu ratu di kerajaan kita. Percayalah.”   Perempuan mana yang tidak meleleh kala lelakinya mengucapkan janji itu seraya menggenggam erat jemarinya juga sesekali mendaratkan kecupan hangat. Sudah pasti sengatan listrik timbul begitu saja. Hatinya meletup-letup seperti popcorn saat dimasak.   Perempuan yang selalu ceria itu tidak pernah menyangka, hidupnya akan berubah drastis. Sekitar dua minggu yang lalu dia masih bersembunyi di kamar mandi. Melihat pantulan diri dengan genangan air mata menangisi Irman. Lelaki yang tidak mudah dia hilangkan dari pikirannya. Benar apa kata Dio Allah menghadiahkan sesuatu yang manis setelah kepahitan-kepahitan dia terima di masa lalu.   Resepsi pernikahan yang sederhana ini hanya dihadiri oleh keluarga besar Tia, beberapa rekan kerja Adrian juga tetangga satu RT. Kebetulan perhelatan sakral ini digelar di kediaman Adrian. Rumah besar dengan gaya kontemporer berada di sebuah perumahan dekat pusat kota Garut.   Meski acaranya digelar sangat sederhana, Tia tetap mengenakan pakaian pengantin lengkap. Dirias dengan apik oleh penata rias berusia senja. Tangannya cekatan mengubah Tia yang polos menjadi pengantin wanita yang memancarkan aura dan bercahaya. Hal ini juga membuat Rain berkali-kali memandangnya, dia terpesona dengan kecantikan sang istri.   Suasana rumah masih riuh, padahal senja sudah berganti gulita. Dio yang selalu suka dengan anak-anak kini dikelilingi para sepupu. Entah apa yang dia lakukan hingga sepupu-sepupu dengan rentang usia 5 hingga 10 tahun itu tertawa bahagia. Tia berkhayal, suatu ketika Dio akan dikelilingi oleh keponakan yang lahir dari rahim Tia. Rasanya sangat Indah, siapa sangka kebahagiaan justru Allah berikan melalui lelaki asing dari negeri tetangga. Padahal dulu Tia yakin, akan ke pelaminan bersama Irman.   Tia berhenti melamun ketika suara seorang lelaki bertanya kepadanya. Tia menoleh, dan mendapati Rehyan bertanya kepadanya, “Kapan kalian kembali ke Thailand?” Reyhan adalah saudara tiri Tia. Putra kedua Adrian yang bekerja sebagai dosen di salah satu universitas swasta di Kabupaten Garut.   “Kakak ngusir aku, nih?” tanya Tia, disusul tawa Reyhan yang berderai. Teriakan bocah-bocah juga Dio memaksa Tia untuk melirik sekilas. Mereka sedang bermain ular tangga, yang kalah wajahnya dicoret menggunakan bedak saripohaci yang  sebelumnya diberi air.   “Enggak, kalau kalian masih lama di sini nanti aku kasih voucer nginep di hotel. Anggap aja bulan madu sambil berendam di Cipanas. Kebetulan ada voucer menginap selama tiga hari, sekalian ngajak Rain jalan-jalan lihat-lihat situasi kota Garut ini.”   Rain tersenyum, dia tidak pernah melepas jemari sang istri. Tidak peduli dengan ledekan-ledekan dari sanak saudara. Tidak peduli dengan keringat yang membasahi telapak tangan keduanya.   “Maaf, kak Rey, lusa kita sudah harus balik lagi, ya kan, Bang?” Perempuan yang baru saja melepas masa lajang itu melirik sang suami, meminta persetujuan.   “Kalau kamu mau lama di sini tak apa. Abang bisa perpanjang cuti.” Sebenarnya Rain tidak keberatan, dia juga cukup tertarik dengan pemandian air panas mengingat udara di kota Garut membuat dia kedinginan.   “Tuh, suami kamu aja setuju.”   “Tapi Tia yang gak setuju, Kak. Tia dari kecil udah sering ke Cipanas, ada kesempatan bulan madu di Luar Negeri, kenapa enggak,” ucap Tia enteng, saudaranya tersenyum. Dia maklum dengan keinginan Tia.   Sebelum pamit meninggalkan tontonan kemesraan pengantin baru, Reyhan berkata bahwa sebentar lagi akan datang Reynaldi, Kakak tertuanya yang tidak dapat menghadiri akad maupun resepsi Tia tadi dikarenakan kesibukan di tempatnya bekerja. Tia mengiyakan dengan anggukan. Masih ada waktu, dia pamit untuk beristirahat di kamar.   “Ciyee, yang udah gak sabar lepas segel,” goda Dio. Disusul dengan pelototan Tia. Mukanya merah, dia tidak berani melirik sang suami sebagai gantinya, bergegas menuju kamar. Rain semakin gemas melihat kelakuan Tia.   “Kamu capek?” tanya Rain, dia melihat sang istri merebahkan badan di atas tempat tidur yang dipenuhi dengan kelopak mawar. Tidak ada canggung lagi, pembawaan Tia membuat Rain merasa mereka sudah saling mengenal sangat lama. Dia duduk di sofa dekat jendela, melihat istrinya yang mungil berguling-guling membuat kelopak berwarna merah dan putih itu menempel pada pakaian dan hijabnya.   “Tidak, Bang. Kaki Tia pegel, kayaknya kelamaan berdiri pake sepatu hak tinggi. Nanti Tia suruh Dio buat pijit betis aja.”   “Lho, kenapa nyuruh Dio? Kan sekarang ada Abang,” protes Rain, lantas dia berdiri menghampiri dan meraih betis sang istri kontan Tia beringsut mundur, gadis itu belum siap dengan sengatan listrik yang mengundang jutaan kupu-kupu untuk menari dalam perutnya.   “Nanti aja, deh, Bang.”   Rain meraih tangan Tia, membawa gadis itu ke dalam pelukan kini menjadi kenyataan. Keduanya terdiam dalam keheningan. Hanya detak jantung keduanya yang bertalu, ditingkahi suara jam dinding serta samar-samar terdengar tawa Dio dan anak-anak.   Pria berkebangsaan Thailand itu mengecup puncak kepala Tia. Kemudian netra keduanya beradu, meningkatkan getaran yang sama seperti sebelumnya. Rain mendekatkan bibirnya ke tempat lain ketika tiba-tiba perut Tia menggerutu, mengundang tawa dari lelaki itu. Tia merasa malu, sehingga dia hanya bisa cemberut, bibirnya mengerucut.   “Istriku kelaparan rupanya, yuk, makan dulu. Abang lihat tadi makanmu cuma sikit.”   Tia mengangguk, ah, perut kurang ajar. Benar-benar merusak moment penting.   Ketika kepala tia menunduk mencari sandal, Rain meraih pinggang ramping sang istri, perbedaan tinggi badan membuat Tia harus mendongak kala menatap wajah cerah sang suami. Bibir Rain mendekat ke arah ranumnya bibir Tia, lantas keduanya bersatu. Menciptakan sengatan-sengatan yang membuat seluruh tubuhnya menjadi lemas.   Terakhir Rain mengecup kedua mata Tia bergantian. Mencubit pipi yang bersemu merah dan sekali lagi memberikan ciuman singkat di bibir manis Tia.   Tia tersenyum malu-malu kala Rain merapikan kerudungnya yang miring. Dan jutaan kupu-kupu kembali menari saat ibu jari Rain mengusap bibir Tia dengan lembut.   Ketukan pintu membuat kemesraan mereka terhenti, Tia melompat dan segera membukanya. “Belum mulai, kan?” ledek Dio.   “Apaan sih?” gerutu Tia, dia tidak dapat menyembunyikan rasa malu di depan sang adik, efeknya jadi misuh-misuh gak jelas.   “Itu, ehm.”   “Piktor, ambil Rinso, sana!” Rain tersenyum melihat intersaksi Tia dan adiknya.   “Buat apa?”   “Nyuci otak kamu, biar gak ngeres terus. Ngapain kesini?”   “Bang Reynaldi datang. Tapi kamu jangan kaget, selow aja,” ucap Dio, dia seperti ragu-ragu ketika menyampaikan sesuatu.   “Kaget kenapa? Bang Rey bawa kado gede, ya?”   “Kamu lihat sendiri, aja. Bang rain, siapkan hati, kali aja nanti abang baper.”   “Baper, apa?” tanya Rain tidak mengerti.   “Bawa perasaan,” ujar Tia dan Dio serempak.   Tia tahu, pasti ada yang salah. Berkali-kali Dio melirik Tia dan Rain bergantian. Riuh ruang makan sudah terdengar, kali ini pelakunya bukan sepupu-sepupu kecilnya. Mereka sudah pulang saat Tia dan Rain berada di kamar tadi. Nicky dan kedua orang Tua Rain sudah beristirahat di Paviliun belakang.   Melihat sekilas saja Tia tahu siapa yang duduk di meja makan membalakanginya. Dari jarak beberapa meter aroma tubuhnya yang sudah lama dia kenal sudah tercium. Perpaduan aroma floral, woody dan musk mengingatkannya pada luka. Tia bergeming, Rain menatap Dio seolah minta penjelasan sementara itu, aktivitas orang-orang yang tengah menyantap hidangan makan malam terhenti begitu saja.   “Nah, ini adik saya,” seloroh Reynaldi, dia berdiri, dan mengucapkan selamat juga minta maaf karena tidak dapat menghadiri akad serta resepsi siang tadi pada Tia.   Tia menyambut uluran tangan sang Kakak tiri, dia juga menyalami tamunya yang berjumlah tiga orang termasuk pria itu. Pria yang membuat Tia melarikan diri ke Thailand. Dia Irman, matan tunangan Tia. Kini takdir mempertemukan mereka kembali, bahkan keduanya harus duduk satu meja.   “Saya baru tahu kamu punya adik perempuan, Bro,” ujar salah seorang rekan Reynaldi.   “Ingat, kan, bapak saya baru aja nikah? Tia putri Ibu Salamah, istri Bapak.”   Mereka mengerti, dan melanjutkan makan. Tia yang semula lapar kini kehilangan selera makan. Namun, Rain menolak ajakan Tia untuk pergi dari sana, mengingat dia tahu betul istrinya kelaparan.   “Makan bareng kami aja, Dek. Maaf, nih, bukannya bawa kado kami malah numpang makan.”   “Lagian dia denger makan gratis langsung aja, gak tahu malu,” sindir lelaki berkemeja merah.   Suasananya begitu hangat, obrolan ringan antara Rain dan Reynaldi mengalir dengan akrab, sesekali teman-teman Reynaldi menimpali, kecuali Irman, dia merasa cemburu. Terlebih ketika Rain beberapa kali menambahkan makanan ke piring Tia, dibalas dengan senyuman paling manis dari perempuan itu. Senyum yang dulu hanya miliknya seorang.   “Kini, aku mengerti sakitnya kamu saat melihat aku dan Liana,” ujar Irman kala bertemu dengan Tia di teras belakang rumah.   Tia yang sedari tadi berusaha menghindar akhirnya berhadapan dengan sang mantan. Dia menatap Rain yang berada di teras Paviliun seberang rumah utama, berharap sang suami mengerti dan menghampirinya. Namun, dia hanya tersenyum dari kejauhan dan kembali fokus dengan obrolannya dengan Nicky.   “Aku pastas merasakan sakit mengingat saat itu kamu adalah tunanganku. Dan sedikit pun  kamu tidak pantas merasakan sakit karena kamu bukan siapa-siapa. Bahkan kamu sudah punya istri di rumah.”   “Tapi aku masih mencintai kamu, Tia. Aku gak nyangka kamu ....”   “Bisa move on secepat ini? Tuhan maha baik, Man. Bahkan aku bisa mendapatkan suami yang jauh lebih baik dibandingkan dengan kamu.”   “Tia, aku mohon maafkan aku, setidaknya kita masih bisa berteman, bukan?”   “Teman tidak mengungkapkan cinta, ingat aku punya suami sekarang, kamu juga sudah punya Liana.”   “Tia,” ucap Irman putus asa, dia melangkah dan meraih tangan Tia. Namun tanpa dia sadari Rain sudah berdiri di belakangnya.   “Sayang, tidak apa-apa? Maaf sebaiknya Anda tinggalkan istri saya.” Tatapan Rain begitu menusuk. Irman pergi membawa penyesalan.   Tia menangis di pelukan Rain. Lelaki itu menenangkan sang istri, walau ada resah yang tersirat di sudut hatinya. Mengapa Tia harus menangis setelah berdebat dengan pria tadi. Ingin rasanya bertanya, tetapi dia takut terluka.        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN