Insecure

1611 Kata
Sinar matahari hangat membelai tubuh Tia. Secangkir kopi yang dipesan melalui layanan kamar sudah dingin. Sementara cangkir satunya yang berisi teh Pu’erh. Teh yang berasal dari negeri Tirai Bambu tersebut kini tersisa setengahnya saja. Rasanya unik, Tia baru pertama kali mencicipi teh yang melalui proses fermentasi ini. Konon, minuman ini dianggap sebagai teh premium di daerah asalnya, Yunnan. Cita rasa teh itu sendiri berasal dari proses fermentasi yang dihasilkan dari aktivitas mikroorganisme termofil dari daun teh yang dikumpulkan. Sudah lebih dari satu jam Tia duduk menikmati tarian pepohonan yang ditiup angin pagi. Sengaja perempuan itu memesan kopi melalui layanan kamar, sang suami terlihat begitu kelelahan hingga tidur begitu nyenyak. Berkali-kali dibangunkan Rain bergeming. Lelaki itu hanya bergumam. Nicky sudah mengetuk pintu kamar mereka setengah jam yang lalu. Rencana kali ini kami akan mengunjungi Haew Narok dan Haew Suwat waterfall. Semalaman Tia menunggu Rain dengan perasaan yang tidak dapat digambarkan. Bolak balik keluar masuk kamar hotel dengan menanggung resah. Ketika pintu kamar dibuka dari luar, Tia pura-pura memejamkan mata. Tia menahan senyum kala Rain menyelimutinya serta mengecup keningnya dengan lembut. Lalu membelai rambut Tia yang berombak dan sedikit berantakan. Karena ruangan remang, Rain tidak menyadari sang istri berkali-kali membuka mata dan meliriknya penasaran. Rain membuka pakaiannya, Tia menahan napas lalu berpalis muka. Rain berbaring di sebelah Tia, perempuan itu sebisa mungkin tidak membuat banyak gerakan hingga Rain tidak menyadari kala dirinya sama sekali tidak memejamkan mata. Berbagai pikiran berkecamuk dalam kepala Tia. Tidak mungkin tidak apa-apa, tidak mungkin tidak ada sesuatu yang membebani pikiran Rain. Terlalu gelap, Tia tidak terlalu mengenal lelaki yang kini masih bergelung di bawah selimut itu. Waktu terus bergulir, matahari semakin merangkak naik. Belum ada tanda-tanda lelaki itu bangun. Tia semakin gelisah, masalahnya perutnya sudah benar-benar lapar. Hingga beberapa menit kemudian pintu kamar hotel kembali diketuk. “Sawatdii Kha,” ujar seorang perempuan nyentrik. Tia menangkupkan tangan dan mengangguk. “Tiara, apakah sudah siap?” tanya Nicky yang tiba-tiba muncul setelah Jane mengucapkan wai. Tia menjawab belum dengan menggunakan bahasa Inggris. Dalam hati dia menggerutu, apakah akan ada tambahan orang lagi dalam perjalanan bulan madu ini? Menyebalkan, perempuan bertubuh mungil itu sedikit kesal. Tia mempersilakan Nicky untuk membangunkan Rain. Sementara Jane dia tersenyum dan mulai memperkenalkan diri satu kali lagi kepada Tia. “Maaf karena mengganggu perjalanan kalian berdua,” ujarnya dengan bahasa Inggris yang terdengar aneh di telinga Tia. “Mai bpen rai.” Tia menjawab lalu masuk kamar dan mendapati Rain sedang bersiap menuju kamar mandi. Pria itu menghampirinya, lalu menghampiri Tia yang terlihat cemberut. “Kenapa merajuk, hmm,?” tanya Rain. Tia ingin menghindar karena malu pada Nicky dan Jane, tetapi terlambat, sebuah kecupan ringan mendarat di bibirnya. “Morning kiss.” Rain melesat ke kamar mandi, tanpa mempedulikan Tia yang malu dibuatnya, Nicky yang pura-pura tidak melihat apa-apa sementara Jane yang sedikit perih melihat interaksi Tia dan Rain. *** Air Terjun Haew Suwat (Nam tok Haew Suwat) merupakan air terjun paling populer di Khao Yai. Lokasinya persis dekat Nong Nam Daeng di Provinsi Nakhon Ratchasima. Tempat ini dikelola oleh Taman Nasional, Margasatwa, dan Departemen Konservasi Tumbuhan. Tia yang mengenakan celana bahan denim dipadukan dengan tunik yang panjangnya sebatas lutut terlihat sangat gembira. Sepatu keds yang baru saja dia beli ketika pertama kali menginjakkan kaki di Thailand sangat pas dan serasi dengan penampilan Tia saat ini. Untuk menuju ke lokasi air terjun Haew suwat mereka menuruni tangga yang dibatasi pagar pembatas terbuat dari besi. Cuaca cerah membuat wisatawan memadati kawasan tersebut. Tia tidak banyak bicara, dia menuruni tangga tersebut sembari menggamit tangan Rain. sedangkan Nicky dan Jane mengekor dari belakang. “Abang, ini indah, aku suka,” ucap Tia antusias. “Kita belum sampai, tunggu sampai Tiara lihat air terjunnya.” Rain berbisik, Tia selalu malu jika Rain terus-terusan memamerkan kemesraan di depan umum. Perempuan itu selalu lupa, jika ini Thailand, jangankan bermesraan dengan suami, sepasang sejoli yang belum memiliki ikatan pernikahan pun bebas bermesraan tanpa ada yang berkomentar. Bahkan berjalan di tempat umum dengan menggunakan celana super pendek seperti yang Jane kenakan pun tampaknya tidak ada yang peduli. Jane memotong jalan Tia dan Rain, hingga genggaman tangan sepasang anak manusia yang tengah dimabuk cinta itu terlepas begitu saja. “Tiara, Kha. Apakah kamu tidak kepanasan?” Jane menggamit tangan Tia, perempuan dengan kuncir ekor kuda itu hampir setiap saat mengeluh lelah, perjalanan kurang lebih satu kilometer menuju air terjun dia rasa teramat panjang. Tia menjawab Jane, kemudian perempuan itu sadar. Jane orang yang menyenangkan, mungkin dia bisa menjadi teman yang menyenangkan. Ah ... perempuan itu menyesal karena sudah berpikiran negatif terlebih dahulu. Perjalanan panjang Tia menuruni tangga berbuah hasil yang manis. Pemandangan yang Indah memanjakan matanya, dua air terjun meluncur dari bebatuan. Berhubung mereka berkunjung pada musim kemarau airnya tidak begitu banyak. Meski begitu, keindahan ciptaan Tuhan itu tidak berkurang sedikit pun. “Pernah nonton film The Beach?” tanya Rain ketika Tia sedang melakukan swafoto di atas batu besar. Tia menggeleng, Rain sedikit kecewa. Namun, dengan atusias pria itu menjelaskan pada sang istri bahwa Haew Suwat Waterfall menjadi lokasi syuting film legendaris 'The Beach' yang dibintangi Leonardo Di Caprio. “Nanti Abang temenin Tia nonton ya, Bang,” pinta Tia. “Apapun tuan Puteri.” Lantas sepasang pengantin baru itu menghabiskan waktu dengan melakukan swafoto. Kemesraan keduanya tidak luput dari pengawasan Jane. Gadis itu mengeluh, selain kakinya sakit karena salah menggunakan sepatu dia kesal lantaran cemburu melihat mantan kekasihnya pamer kemesraan. *** “Besok kemana lagi? Aku boleh ikut?” tanya Jane. “Aku tidak tahu,” jawab Nicky. Lelaki itu merasa sangat bersalah pada Tia dan Rain karena mengiyakan permintaan Jane untuk ikut. “Besok aku dan Tiara mau di hotel saja. Kasihan dia kelelahan menjelajahi dua air terjun sekaligus. Mungkin lusa kita jalan lagi, tapi belum tahu mau kemana. Nanti aku dan Tiara diskusi dulu.” Rain membiarkan Tia bersandar di bahunya. Capek membuat Tia langsung memejamkan mata begitu sampai di mobil. “Kita jalan-jalan ke PB Winery atau Gran Monte saja gimana? Kita tunjukkan pada Tiara perkebunan anggur, proses pembuatan wine, di sana kita akan mendapatkan tips bagaimana memilih wine yang baik, wine tasting dan cara meminumnya,” seloroh Jane, Antusias. “Ingat Jane, Rain tidak minum alkohol begitu juga dengan Tiara,” ungkap Nicky. Jane mendesah kecewa, dia mengintip ke jok belakang, Rain tampak sedang mengelus pelipis Tia, sesekali mendaratkan ciuman pada perempuan itu. Jane semakin kesal. Perasaan dulu waktu mereka bersama tiga tahun lamanya Jane tidak pernah mendapat perlakuan seperti itu. “Kamu harusnya mengerti prinsip Rain seperti apa,” bisik Nicky seakan dapat membaca apa yang ada dalam pikiran Jane. “Aku tahu, aku hanya iri.” Jane berbisik, ingin rasanya berteriak dan memisahkan Rain dengan Tia. Namun, apa daya? “Dia sudah menentukan pilihan.” Nicky fokus pada jalanan di depanya, dia tidak peduli dengan raut wajah Jane yang begitu menyedihkan. Tanpa keduanya ketahui Rain mendengar bisik-bisik Jane dan Nicky. Juga Tia, sayangnya dia tidak mengerti apa yang dibicarakan, hanya menebak ada sesuatu yang tidak dia ketahui. Rain bertekad, akan terus menutupi hubungannya dengan Jane demi menjaga perasaan Tia. Mereka sampai di hotel tempat Jane menginap, Nicky dengan sigap membantu Jane dan mengantarnya hingga ke dalam. Sepeninggal keduanya, Tia bertanya pada Rain. “Apa yang mereka bicarakan?” tanya Tia, berusaha mengorek jawaban dari Rain. Ada yang salah dari Jane, ada yang salah dari interaksi Jane, Rain dan Nicky. “Ngobrol biasa aja, Sayang, gak penting.” Rain berbohong. “Gak penting tapi mata Jane berkaca-kaca, aku khawatir dia kenapa-napa, atau aku ada salah dan nyinggung dia gitu,” ungkap Tia. Perasaan dan feelingnya tidak dapat dibohongi. Rain hendak menjawab, tetapi Nicky keburu datang. Lelaki asli Thailand itu kemudian memacu kendaraannya menuju hotel tempat mereka menginap. “Nicky, what happen with Jane, why is she sad?” Rain Membeku mendengar pertanyaan Tia kepada Nicky. Khawatir tentu saja, bagaimana jika Nicky mengungkapkan bahwa perempuan yang seharian ini ikut dengannya adalah masa lalu Rain. Masa lalu yang baru bisa dia lupakan saat Rain menikahi Tia. “She’s on her period now,” jawab Nicky asal, Rain mendesah lega. Sayangnya apa yang dia lakukan itu semakin membuat Tia curiga. Tia mengempaskan punggungnya pada sandaran kursi, dalam kepalanya banyak pertanyaan yang ingin segera dia ketahui. Yang paling besar membebani adalah ketika dia merasa sesuatu sedang disembunyikan oleh suami serta sahabatnya. *** “Bangun sayang,” ucap Tia. Rain menggeliat, sinar matahari mengintip dan menghangatkan. Lelaki itu buru-buru meraih pinggang sang istri hingga memekik. “Sarapan dulu,” ajak Tia. “Kamu sarapanku.” Tia tersipu, Rain terus mengendus leher Tia yang harum shampo. “Tapi aku laper,” keluh Tia, diikuti bunyi memalukan dari perutnya. Rain percaya dan mulai beranjak. “Pesan layanan kamar lagi?” Rain sepertinya malas beranjak dari tempat tidur. “Kita ke restoran saja, hari ini kan tidak kemana-mana.” Rain mengangguk, “Baik sayang.” “Makan berdua, ya. Gak usah ajak Nicky, kita belum sempat menikmati waktu berduaan.” Rain mengiyakan, dia pamit untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Dengan sabar Tia menunggu di atas tempat tidur. Ketika sedang asik menunggu, gawai Rain berdering Tia melihatnya tetapi tidak tahu siapa yang memanggil karena nama kontak disimpan dengan aksara Thai diikuti emotikon love. Dia menduga itu adalah orang spesial karena nada deringnya pun berbeda dengan nada dering yang biasa dia dengar. Rain keluar dari kamar mandi, dia melihat Tia sedang memegang gawainya yang masih berdering. Lelaki itu berjalan tergesa dan merebutnya dari tangan Tia. Kemudian berlalu menuju balkon untuk menerima panggilan tersebut. Mengapa harus direbut? Mengapa pula harus menjauh saat menerima telepon. Tia semakin insecure. Dia mengira ujian yang dialami oleh setiap pasangan yang menikah tidak akan datang secepat ini. Bahkan dia masih menikmati bulan madu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN