Sembilan

2207 Kata
Akhirnya kita pindah juga! Yeay! Rasanya aku ingin teriak di telinga Elang, saking bahagianya bisa pindah dari jangkauan Nenek Lampir Rianti. Oops! Cukup sudah tiga Minggu kemarin aku tersiksa lahir bathin tinggal dengan mertuaku. Sindiran - sindiran pedasnya, omelan tentang aku yang tidak bisa masak, bahkan sampai kegiatan wajibku ngemil kacang mede saja dicercanya. Mulut kok ya seperti tahu jeletot, pedas pisan euy. Untung aku Happy, si cantik bermental baja, bertelinga besi dan berhati emas. Aaah aku bahagia, tinggal berdua dengan Elang dan bebas dari para tetua suku. Huhuhu. Tidak ada ayah Gagah dan Papa, Mami Rianti dan Mama. Matur suwun sanget Gusti Allah. Happy akan lebih rajin shalat, janji. Eh tapi kalau ketiduran, dimaafin kan ya? Hehehe. "Aku laper, Py." Elang nongol dari kamar, masih mengenakan kacamata frameless-nya. Dia pasti habis mengecek laporan keuangan. Apakah aku sudah bilang kalau Elang ini berperut karung? Sama seperti aku sih, gampang laper. Kita cocok banget jadi pasangan gembul. Cuma bedanya, Elang enggak punya tumpukkan lemak di perut, paha dan lengan atas seperti aku. Ada yang pernah dengar bahwa Dunia itu tidak adil? Huh! "Besok kita belanja stok makanan ya, Mas. Udah tahu kita laperan berdua." "Iya, tadi aku enggak sempat. Sekarang mau makan apa? Delivery order?" "Yaudah, aku malas turun. Mau merayakan kebebasan." Sahutku jujur. Elang masuk lagi ke dalam kamarnya, tidak merespon kata - kataku dan keluar dengan ponsel di telinga. "Iya Mi...ya belum sempat beli bahan makanan, Mi. Hm. Iya. Oke Mami, don't worry. Enggak akan. Happy enggak akan bikin Elang kelaparan--" Oops! Dia baru saja mengeluh lapar tadi padaku, tapi dia membelaku pada Mami judesnya. Setelah menutup telepon, Elang menyodorkan ponselnya padaku. "Pesan pakai akunku aja." Aku langsung membuka ponselnya diiringi bunyi kriuukk kriuukk perutku yang tidak lagi bisa diajak kompromi. Elang memicingkan mata lalu tertawa, aku meringis nyengir kuda. Enggak ada rasa malu sama Elang, aku sudah tidak bisa jaim. Tidurku yang penuh akrobat saja dia sudah tahu. "Di-budget enggak, Mas?" Tanyaku, takut - takut. "Yang penting dimakan semua nanti. Jangan sampai terbuang, mubazir." Wokeeehhh, itu tanda bahwa aku bebasssss memesan apa saja. Selesai memesan, aku agak penasaran dengan isi galeri ponsel Elang. Kutengok pintu kamar yang terdengar lirih musik Chopin dari laptop-nya, tidak ada tanda - tanda ia akan keluar sebentar lagi. Kubuka galeri untuk melihat foto - foto Elang. Foto terbaru, hanya ada foto bangunan yang hampir selesai. Aku tahu, itu gedung baru Perusahaan kami. AHA GG Express. Lalu, foto - foto kami di Okinawa. Ada beberapa fotoku yang diambil secara candid. Aku bahkan tidak tahu dia mengambil gambarku saat itu. Ada fotoku sedang tidur, di kamar hotel saat kami berbulan madu. Dengan separuh rambut menutupi wajah dan apa itu basah - basah di pipi, eeww, iler. Yucks! Elang b**o. Apa dia ngambil foto ini untuk mempermalukanku suatu saat nanti? Lebih baik kuhap--eh jangan, nanti ketahuan aku kepo lihat - lihat galerinya. Tapi. Ih, itu pose paling menjijikan. Errghh dasar Elang! Aku menggulirkan layar ke bawah, ada foto pernikahan kami dan dirinya saat menjabat tangan Papa. Ijab qobul yang aku tidak sadari karena asyik perang batin di kamar. Tidak ada foto Alya? Aku terus menelusuri hingga bawah. Dan tadaaaa, foto Elang dengan Alya saat mereka liburan ke Korea Selatan masih ada di bagian agak bawah. Lupain dari Arab! Enggak bisa move on aja, pake enggak ngaku lo. Eh tunggu, di bawah masih ada beberapa foto. Itu foto kecil kami. Ada aku, Arka yang masih SD, Alya dan Keluarga Elang. Foto itu dia ambil dari sebuah album foto, sepertinya. Dan foto terakhir. Adalah fotoku yang sedang menangis. Aku ingat kejadian itu. Saat aku masih duduk di kelas tiga SMP. Raja menakut - nakutiku dengan anjing golden retriever milik tetangganya. Aku menangis sejadi - jadinya, ternyata om Gagah mengabadikan moment itu. Tapi, kenapa Elang menyimpannya di ponsel? Seneng banget lihat pose jelek gue, Lang? "Udah, Py?" Elang berdiri di pintu kamarnya. Aku segera memencet tanda back dan mengembalikan tampilan ponsel ke menu awal. "Sudah, Mas. Sabar ya." Aku meletakkan ponselnya di atas meja. Elang mendesah, dia kelaparan banget deh kayaknya. Berjalan ke arahku, Elang duduk di sampingku. Menyalakan tv dan memilih acara. Sementara aku, masih berpikir. Untuk apa Elang menyimpan foto - foto aibku? Mencurigakan saja. Pulang kantor, aku mengundang Desti dan Bowo untuk ke apartement Elang. Karena suamiku itu sedang rapat apalah - apalah gitu tentang merger Perusahaan dengan Papa dan Ayahnya. Katanya sih akan memakan waktu sampai jam sepuluh malam. "Gila! Beda ya selera Bos - Bos." Bowo memandangi takjub ke sekeliling apartement ini. "Jangan ngeces, Wo. Bersihinnya harus pake tanah nanti." "Sialan!" Bowo mengumpat, Desti tertawa. Aku memasuki kamar, mengganti bajuku dengan yang lebih santai lalu kembali ke ruang tv. Bowo sudah bersantai sambil menyalakan tv, sementara Desti menuangkan minuman untuk kami. Aku membuka dua loyang pizza yang kubeli di jalan pulang untuk mereka. Jika ada Bowo dan aku, 1 loyang tidak cukup untuk kami bertiga. "Gimana menikah? Masih ada yang ngeganjel enggak di bawah sana?" Bowo melirik ke arah pahaku, spontan aku melemparnya dengan botol Pepsi yang hampir kosong. "Masih kaku aja." Kini giliran Desti. Aku memutar mata. "Udah ada tanda - tanda perkembangbiakan setitik benih belum di rahim lo?" Bowo nyengir tak berdosa. "Baru juga sebulan, Wo." Desti mewakilkanku menjawab pertanyaan penuh mudharat Bowo. "Tapi, Pak Elang rajin kan ngajak olahraga-nya?" Desti memiringkan wajah dengan seringai usil. Aku mengingat teguran Elang kemarin, untuk tidak mengumbar urusan ranjang kami ke orang - orang. Bu Ami saja cukup. "Sialan lo berdua! Kawin makanya, biar enggak kepo sama urusan ranjang gue." Aku membawa pizza ke atas meja ruang tv yang juga berfungsi sebagai ruang tamu. Duduk di atas karpet dan menepuk paha Bowo untuk turun dan duduk di bawah sepertiku. "Kawin! Nikah, Hap. Kalau kawin sih, sering--aaaww." Desti menjewer telinga Bowo. Aku terbahak melihatnya. Bowo mengusap - usap kupingnya yang memerah, Desti ikut bergabung duduk di sebelahku. Mengangkat jemarinya, menunjukkan sebuah cincin pada kami. "Reza ngelamar kamu, Beb?" Tanyaku semangat. Desti mengangguk tak kalah sumringah, aku menjerit dan mengucapkan selamat. Memeluk dan menepuk - nepuk punggungnya. "Tinggal si bujangan karatan ini deh jomblo sendiri. Hahahaha." Aku terbahak pada Bowo, yang diledek hanya cemberut masam. Meskipun aku tahu Bowo sudah menduga kabar ini, pastilah hatinya sakit juga. Aku meremas tangan Bowo yang berada di karpet, memberinya dukungan dan hiburan. Bowo menoleh dan tersenyum tegar padaku. Sok tegar, sini sini bersandar di bahu adek, Bang. Aarrgghhh, andaikan tidak ada status antara aku dan Elang. Ingin rasanya membawa Bowo ke dalam pelukan. "Keep in touch lah, walaupun kalian sudah bersuami. Nongkrong - nongkrong kece, walaupun nanti perut kalian berdua balapan buncitnya." Bowo berbicara sambil memadatkan rokok. Aku dan Desti terkikik geli. Nada suara Bowo, ngenes banget. "Eh eh, ngerokok di balkon ya! Nanti bau asap, Elang enggak ngerokok soalnya. Dia bisa mencak - mencak." Usirku saat Bowo hendak menyalakan rokok. "Iye bawel. Sini minum gue." Desti menyodorkan gelas Bowo, "gue mau menatap Bintang - Bintang di atas sana. Barangkali, ada seorang bidadari yang akan lihat gue dan turun dari khayangan." "Jijik, Wo." Celetukku, Bowo terkekeh dan membuka pintu kaca menuju balkon di samping ruang tv. Elang pulang jam sembilan malam, agak surprise melihat Bowo dan Desti yang sedang asyik bercanda. Iya, aku memang belum bilang padanya. "Baru pulang, Bro! Sorry, Happy minta ditemenin tadi. Kesepian katanya." Celetuk Bowo sambil mengangkat tangan ke arah Elang. Suamiku yang baru saja pulang dan duduk di kursi meja makan, membuka dasinya dan tersenyum, sambil berkata 'santai' pada Bowo. Sebagai istri yang baik, aku pun menyiapkannya segelas air dingin dan teh manis hangat untuk Elang. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri akan berbakti pada Elang sebagai istri, kecuali untuk yang satu itu. Aku belum siap, terlebih, jika bayangan Alya masih berputar di kepalanya. Aku tidak mau. "Cieee sigap. Udah jadi istri sholehah tuh Happy." Desti mengedikkan matanya ke arahku. "Iya. Cepat belajar dia." Elang menanggapi. Aku rikuh dan segera mengambil tas laptop Elang dan dasinya, meletakkannya di meja kamar utama. Kamar miliknya. Pintu kamar tertutup dan kulihat Elang berjalan ke arahku, dengan dua kancing kemejanya yang sudah terbuka. Aku menelan ludah dengan sulit. Glek. Hayati enggak kuat yaa Tuhan. "Papa on the way kesini, mau ketemu kamu. Aku kasih tahu, biar kamu enggak kaget dan blingsatan kalau Papa nanya - nanya." Elang memberitahuku sambil membuka kemejanya dan meninggalkan kaos oblong putih yang sekarang melekat di badannya dengan fit to body. Eugh. "Aku Isya dulu, takut temen kamu nanyain." Elang pun berlalu ke kamar mandi, mungkin untuk mengambil wudhu. Aku menghembuskan napas dengan keras. setelah menahannya setengah mati di hadapan Elang yang, oh Tuhan, begitu menggoda. Bagaimana aku menggambarkan Elang? Dia memiliki kulit seputih melati, tinggi yang membuatku hanya sejajar dengan tulang selangkanya. Mata yang sayu, sendu dan teduh. Kalau orang baru kenal melihatnya, mereka akan langsung menebak bahwa Elang orang baik. Ya, dia memiliki roman wajah yang baik, enggak nyolot seperti Arka atau Raja. Hidungnya mancung, pokoknya kalau aku punya anak dengannya pasti anak kami cakep - cakep. Eh aku kan enggak mau ngasih cucu untuk Mami lampir Rianti. Ah itukan seandainya. Bibirnya enggak seimbang, tipis di atas, tebal di bawah dengan bagus dan belah di bagian tengahnya. Bukan belah seperti teriris pisau, tapi semacam ada garis yang membuatnya terbelah sempurna. Bowo pernah melempar statement dulu saat pertama kali melihat Elang, katanya Elang kebanyakan ciuman mungkin. Eewww. Over all, Elang ini good looking. Aku enggak bohong. Tapi terlalu putih untukku. Fyi, aku kurang suka pria berkulit putih. Maaf yaa Lee Jonghyun, Lee Dong Wook dan Babang Chris Evan. Kalian ganteng, tapi tipe idealku adalah Fedi Nuril, Rio Dewanto dan Bowo. Arrghh. Cinta enggak kesampaianku huhuhu. Elang keluar dari kamar mandi dengan wajah berbalut air wudhu. Subhanallah, yang kayak gini kok harus terpaksa menikah denganku sih. Aduh, biar pun bukan seleraku tapi lihat Elang dengan air wudhu itu, berasa lagi berenang di telaga Firdaus, adeemmmm. "Kirain kamu sudah keluar." Katanya, melewatiku yang masih mengagumi ciptaan Allah ini dengan mata terpana. "Py? Laper?" Elang berhenti sambil membawa sajadah dan sarungnya. Aku terkesiap dan segera berlari keluar, kudengar suara tawa Elang di belakangku. Bowo dan Desti pamit karena jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Lagipula Papa sebentar lagi datang. Aku mengantarkan mereka hingga ke pintu, Elang berdiri di belakangku. Mereka mengucapkan terima kasih, aku dan Elang membalas dengan ucapan 'hati - hati'. Setelah memastikan Bowo dan Desti masuk lift untuk turun, aku pun kembali masuk dan menutup pintu. "Mas Elang sudah makan?" Aku tadi sempat membeli makanan instan, seperti : mie, ramen, noodle, ramyun. Eh, itu kan mie semua. Duuh, bodoh! "Sudah kok, Py. Kamu belanja ya?" Ia menunjuk dua kantong plastik besar yang masih teronggok indah di atas minibar. "Iya, aku rapiin dulu deh." "Beli cemilan enggak?" Eh? "Beli." Aku membongkar isi belanjaan dan menyerahkan biskuit dan kraker untuknya. "Beli minuman instan juga?" Aku menatap sebal ke arahnya. "Kenapa enggak bilang?" "Kamu aja enggak bilang mau belanja. Pakai uang kamu juga?" "Iyalah, masa minta sama Pak Jokowi. Yakali dikasih, kenal aja enggak." Sahutku, sambil memasukkan persediaan perang ke dalam rak makanan yang tersedia di kitchen set. Elang menertawakanku, "besok - besok bilang. Sudah tugas aku kasih kamu jajan." Tugas, pemirsaaaaaa. "Termasuk jajan ke salon, spa, butik dan uhm Jazzy?" Tanyaku, memasang mimik centil. Kalau ada Bowo, dia pasti menyemburku pakai air garam. Bowo bilang, wajahku enggak pantas imut - imut apalagi genit manja. "Iya, kalau kamu mau liburan ke Maldives pun aku sanggup bayarin. Asal--" Kata - katanya menggantung. Aku memicingkan mata, menatapnya penuh curiga. "Asal apa?" "Jatahku sebagai suami terpenuhi." Setelah ngomong gitu, ia ngeloyor masuk kamar. Glek. "MAS ELANG IIHH!" Aku menjerit, ia terbahak di kamarnya. Wajahku memanas, dari cermin yang kutempel di kulkas, kulihat wajahku sudah berubah merah. Suara bel di pintu, membuatku segera merapikan plastik - plastik dan bergegas membuka pintu. Papa berdiri di sana, dengan sumringah. Aku memasang wajah bete. "Udah malem lho, Pa. Enggak bagus bertamu malam - malam." Aku berdiri di ambang pintu. Papa menepuk pipiku pelan dan membuatku menggeser badan, Papa masuk dengan santai. "Papa datang, bukannya disambut dengan hangat malah dihalangi dengan garang. Gimana itu coba, Lang?" Aku berbalik dan melihat Elang yang sudah keluar dari kamar sedang menyambut Papa. Cemberut, aku menghampiri mereka berdua. "Papa lagi sidak ya? Bawa tas lagi? Mau nginep? Ya ampun Papa, masih pengantin baru ini lho." Aku memutar otak, agar Papa tidak curiga. "Ganggu banget deh kalau ada orang lain disini." Lanjutku. Papa mencubit pipiku, "masa Papanya mau nginep dibilang ganggu? Lagian kan Papa tidur di kamar lain. Enggak akan ganggu kalian." Aku berpikir lagi, "tapi gimana kalau kita berisik. Kan malu, masa tahan - tahan suaranya." Cetusku. Kusadari kemudian wajah Elang memerah, menahan tawa dan mengalihkannya menjadi batuk juga deheman kecil. "Memang mau ngapain berisik? Perang?" Aku menghentakkan kaki dan berjalan ke kamar. "Ya ngapain memang kalau pengantin baru? Main catur?" Gerutuku. Oke aku salah masuk kamar. Ini kamarku tidur, pura - pura mengambil sesuatu aku keluar dan melihat Papa dan juga Elang masih menertawakanku. Aku masuk ke kamar Elang. Dan menutup pintu. Terus, terpaksa deh kami harus sekamar lagi. Setelah pemandangan yang tadi Elang sajikan di hadapanku, apakah imanku masih bertahan nanti? Aaahh, Elang tahu enggak sih kalau pertahanan diriku tuh rapuh. Kalau sampai lihat dia tidur topless lagi seperti di rumahnya kemarin - kemarin, aku rasa, aku benar - benar akan menerkamnya kali ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN